Saturday 18 March 2023
PERANAKAN x INACADE : 2 Videos from Peranakan Research Project
Tuesday 24 January 2023
Wednesday 11 January 2023
A Winter Pilgrimage Journey
Around 2015, Medina’s mom, Rossy, and I decided that we will go for umroh (little hajj, pilgrimage to Mecca and Medina), if both of us graduated from our doctoral studies, to express our gratitude to Allah without whom I feel we would lose our sanity in this academic struggle in a long and winding road.
At that time, we just moved from Norwich to Bristol (UK). Rossy just started her PhD at UWE Bristol and I kept struggling finishing my thesis atu University of East Anglia in Norwich.
Alhamdulillah, I finished my study and attended my graduation day in May 2018 and returned to Jakarta in late August 2018. Rossy submitted her thesis and returned to Jakarta in mid 2020 (the time lockdown was applied worldwide and PCR test was extremely expensive). Pandemic happened and we waited in obscurity while at the same time saved some money for the trip.
Two years have passed. And finally the three of us flew to Medina, and later Mecca, in December 31, 2022, and we started the first of January 2023 in Medina. “It’s magical!” said Medina, our lovely daughter when the first time seeing Masjid An-Nabawi with its beautiful “umbrella”. “I am now inside myself”, she added, LOL. Alhamdulillah we could visit the grave of our beloved Prophet Muhammad and entered Raudah and make prayer there.
We were in Medina for 3 days and went to Mecca on January the 3th. We did umroh three times. Medina (11 yo) did not complain at all for walking and walking while doing Thawaf (circling Ka’bah 7 times) and Sa’i (walking from Shafa and Marwa back and forth for 7 times). What a pious kid!
And not coincidentally, the third pilgrimage coincided with our 23rd wedding anniversary, 6 January.
So, Happy anniversary, my dear Bidadari Cinta.
I don’t believe “till death do us part” thingy, since we do believe the afterlife. So hopefully, Allah will grant us happiness, peaceful life in this world and in the hereafter. I wish Allah will reunite us, and our beloved ones, in Heaven.
And I hope I will become a better husband, a better
dad, and better human being.
Amien.
Bonus: after doing the farewell Thawaf, we managed to touch the Kiswah and even kissed the House of God. Alhamdulillah.
We will return for the Hajj (please make dua for us, the waiting list is unbelievable). And for praying inside Hijir Ismail, and for kissing the Hajar Aswad.
For other #umrohstories follow this hashtag and stay tuned for my blog ekkyij.blogspot.com
Wednesday 9 March 2022
Semua akan Covid pada Waktunya (?), Februari 2022
Semarang 10 Februari - Jakarta 18 Februari.
Lumayan 8 hari di Rumah Sakit.
Saat Turlap ke Semarang, hendak ke Malang, 10 Februari. Saat Antigen...eh positif. LAngsung PCR, eh positif juga. PeduliLindungi otomatis menghitam.
Padahal sudah menerapkan prokes ketat, lho. Mungkin karena Omicron? Lebih cepat menular tapi kurang mematikan.
11 Februari saya disewakan mobil untuk langsung ke IGD RS Firdaus (tempat adik saya praktik).
Sebenarnya tidak terlalu berat gejalanya. Cuma gatal-gatal tenggorokan, batuk, bindeng sedikit pilek.
Tapi karena ko-morbid (stroke gejala ringan), saya sebaiknya di RS saja, biar ada yang urus. Dan diinfus untuk beberapa hari (termasuk untuk menyuntik beberapa obat dalam bentuk cairan).
Lumayan sekitar seminggu sendirian di sana.
Alhamdullah sembuh.
Perjalanan Semarang -Jakarta |
Diinfus dulu, ya |
Hore, pulang! |
Surat Perpisahan untuk Koestraater, Belanda, 25 Aug 2008
25 Aug 2008, 01:46 | ||||
|
dear koestraaters, tak terasa setahun sudah saya di amsterdam, dan bergaul, tertawa bersama, saling membantu, gosip2, kadang sedikit konflik, dan yang pasti stress berat bersama2 kalian semua. tidak terasa ya? tadi, pukul 11 lewat banyak saya (dibantu orang tua) pindah2an dari meer en vaart yang saya huni sepanjang setahun kurang 4 hari. saya pindah ke rumah tante di den haag (alpha, firman, dan deasy sudah pernah singgah ke toko cendana yang makanannya enak ini--halah masih promosi). dan saya akan berbasis di den haag hingga jumat, sebelum pergi dari negeri belanda. saya akan naik MAS MH17 dari schiphol jam 12.00, dan mungkin sudah di sana sejak jam 9 (dan setelah, ehm, ngecharge, baru balik ke jakarta tgl 3). dan mengingat sedang menemani orang tua di sini, maka kecil kemungkinan saya akan main2 lagi ke amsterdam. besok saya ke amsterdam sebentar untuk submit tesis (akhirnya!) setelah sebelumnya ngambil kopian chapter2 itu ke kantor nisa (makasih ya nisa) yang adalah juga kantor jurusan film studies uva (dan setelah itu ke volendam, rencananya). jadi, dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, saya haturkan banyak terima kasih telah membantu, menemani,mengkritik, memuji, berdiskusi, tertawa bersama, saling curhat, dll. tanpa koestraater sepertinya saya sudah lama ditinggalkan kewarasan dan kenyamanan. dengan koestraaters sekalian, saya jadi bisa merasakan amsterdam sebagai rumah. saya juga haturkan mohon maaf lahir batin sekiranya ada kesalahan sengaja dan tidak disengaja (sekalian menjelang bulan puasa). berawal dari japri2an dengan mila dan joan (tahu dari milis ppi-a, kl g salah ya?). dari mila, yang ternyata tinggal 1 gedung, bertemulah dengan nuntje. kami merayakan pertemuan itu di osdorplein, makan di...turkiyem. sementara joan datang bbrp hari kemudian. mila dan nuntje lantas mengajak saya ke sebuah tempat bernama koestraat, katanya tempat tinggal anak2 phd yg namanya mas irwan dan mbak debby. dari sanalah saya bertemu dua tokoh kita itu. eh di sana sudah ada joan. ada juga linda yang sesama ahli hisap (bareng nuntje juga--hmmm dia lagi asoi geboy di barcelona neh). lantas ada pirman yang saat itu kita kenal dengan istilah "parmer". hmm sapa lagi ya yang dateng pas pertemuan perdana itu? nana, kali ya? (enaknya ada 3 dokter di sini, jadi aman sugestinya). pirman lantas membawa elis, sekplin, dewi, dll. deasy datang di pertemuan kedua. tapi baru setelah awal 2008 gw dan deasy jadi lebih akrab (mengingat doi winter breaknya keliling eropa, ;P, dan gw juga sibuk "bulan madu"--halah). lantas, bbrp saat sebelum MI balik, kita main ke rumah sandra. di perjalanan itulah gw ketemu alpha. tentu saja, wenty dan helmy juga tak dilupakan. belakangan, saya mengajak rachma bergabung. dan baru bbrp hr lalu bertemu gitaris handal pakar lagu jadul dan chrisye, mas najib. tentu koestraat adalah tempat terfavorit buat ngumpul. tapi newking dan moksam serta de jaren juga tak kalah menariknya. juga crea sessions. semoga persahabatan dan persaudaran kita tidak putus setelah secara fisik kita tidak bertemu. saya sudah merasakan kehilangan dan kerinduan dengan koestraaat dan amsterdam. mungkin kita bisa reunian di depok (MI? mbak DJ?) atau Jogja (the nunings? secara mau ambil paket juga--alasan!), atau Jakarta, atau mana pun. apalagi ya? segitu dulu deh? ini aja baru nemu bocoran wifi di rumah tante. btw, mungkin pada mau sharing momen paling tak terlupakan bersama de koestraat? crea? malam tahun baruan? goyangan maut alpha? bbq? acara perpisahan MI dan jeng DJ? ym conference setelah tengah malam? atau? :) sekali lagi, terima kasih dan maaf lahir batin. untuk yang telah dan sebentar lagi akan submit chapters. selamat! bagi yang masih berjuang! semoga dimudahkan segala urusan oleh-NYA. bagi yang baru dateng, persiapkan mental dan kewarasan dengan cara (duh bahasanya orba banget) bergaullah dengan orang2 seperti kami2 ini. halah, garing kriuk kriuk. maaf kalau cerita singkatnya kurang mengena, atau ada yg gak kesenggol. maklum, udah uzur.hehehe. selamat tinggal! salam kangen dan kompak selalu, ekky, den haag. ps: alamat jakarta saya: jln. paus dalam no. 47 Jakarta 13220. (belakang Arion Mal, gak jauh dari Terminal Rawamangun, ada jalur busway lho, halah). 0812 955 744 3 021-4715939 ps lagi: selamat menunaikan puasa bagi yang menjalankannya. |
Tuesday 11 January 2022
Stroke Gejala Ringan, Desember 2021
“Tidak ada Stroke ringan! Stroke ya Stroke! Yang ada hanyalah stroke gejala ringan!”
(Dr Dewi, dokter syaraf di RS Firdaus)
Peristiwa paling tak terlupakan tahun 2021 bagi saya tidak
berhubungan dengan film atau kehidupan akademis. Tapi pada Kesehatan. Saya
terkena stroke gejala ringan. berikut rinciannya. Saya tulis untuk catatan saya,
dan mungkin pelajaran bagi orang lain.
Kamis-Jumat, 16-17 Desember
Bermula saat saya dan keluarga besar berlibur ke Puncak,
Kamis-Jumat 16-17 Desember. saat itu
dingin, dan bibir saya kok kayak kebas gitu. Saya pikir karena cuaca dingin.
Keesokan harinya, sesaat setelah Jumatan, saat mau pulang ke Jakarta, saya
nyetir. Dan baru terasa kalau tangan kanan kok kesemutan—walau masih bisa
digerakkan. Saya tetap nyetir hingga Jakarta, mampir sebentar di Cimory Land.
Sabtu 18 Desember
Penasaran dengan kesemutan di lengan kanan yang tak kunjung
reda, saya ngecek ke IGD RS Graha Medika, dekat rumah. Saya mau pakai BPJS,
ditanya: “Tapi kalau tidak dianggap darurat, tidak dicover BPJS, ya”. Yang dianggap darurat adalah, sepenangkapan
saya, diobservasi selama lebih dari 6 jam. Akhirnya saya pakai asuransi
Kesehatan kantor saja.
Saya pun di-CT Scan. Tidak ada hal yang patut dicurigai.
Tidak terlihat penyumbatan. Saya dikasih vitamin saja, seingat saya.
Senin 20 Desember,
Saya ke dokter syaraf di RS Siloam. Disarankan untuk MRI.
Tapi saya pikir, coba pakai obat dulu, karena saya dibilang kemungkinan karena tidur
tidak nyenyak, jadi dikasih vitamin syaraf supaya tidurnya lebih lelap.
Disarankan untuk olahraga 3 kali seminggu dengan olahraga
ringan, seperti jalan kaki.
Di rumah, saya merasa tangan kanan masih kesemuatan. Kaki
kanan juga, tapi tidak seberapa. Tidak ada yang mengganggu aktivitas,
sebenarnya. Dan lidah seperti ada rambut atau benangnya. Saya baru sadar bahwa separuh
badan saya, sebelah kanan, kebas, walau tidak “tebal”.
Rabu 22 Desember.
Janjian dengan Udin, teman lama dari London. Dan ada Hikmat
juga, di Plaza Senayan. Saya naik ojol, karena kendaraan dipakai keluarga—tapi
mereka nyusul belakangan. Malam itu kok saya agak-agak pegal sekitar tengkuk dan lengan kiri (padahal yang
kesemutan itu di sebelah kanan).
Kamis 23 Desember
Takut kenapa-kenapa, saya ke IGD RS Siloam, juga dekat
rumah. Ternyata saya demam, mungkin itu sumber dari pegal-pegal semalam.
Setelah serangkaian tes, termasuk MRI, barulah ditemukan bahwa saya ada
penyumbatan, alias “stroke ringan”. saya langsung masuk rawat inap, karena
demam. PCR negatif, sedang dicari akar masalah. Kemungkinan demam berdarah,
karena trombosit ada kecenderungan menurun. Diinfus bergantian antara
parasetamol, neorobion, dan multivitamin.
Nutrician menganjurkan saya untuk menghindari gorengan, yang
berpotensi membuat darah mengental. Dan hindari lemak, termasuk kulit ayam.
Di Siloam saya memakai asuransi Kesehatan kantor, dan 2 hari
saya khawatirkan membengkak dan melewati plafon, karena rupanya banyak yang diobservasi.
Sabtu 25 Desember
Di hari libur itu, demam sudah menurun. dokter syaraf
membolehkan saya pulang. Tapi saya masih gak enak badan, pegal-pegal. Tapi mau
pindah BPJS saja. Tapi takut BPJS tidak
lewat rujukan puskesmas dulu dan belum pernah, dan tidak dianggap darurat oleh
IGD (sehingga tidak bisa ditanggung).
Adik saya, yang dokter anak dan praktik di RS Firdaus,
menyarankan agar ke Firdaus aja (itu di Cilincing, tidak jauh dari Mal Kelapa
Gading), supaya memastkan kalau saya ditangani dengan baik dan bisa pakai BPJS.
Saya ikuti.
Dicek ulang lagi dari awal, termasuk PCR untuk mengecek
COVID. Negatif semua. Langsung diinfus juga.
Di sini saya diinfokan Dokter syaraf: “Bapak kena stroke
gejala ringan. tidak ada yang Namanya stroke ringan yang ada hanyalah stroke
gejala ringan!”. katanya ada penyumbatan, dan ini karena kekurangan oksigen.
Dokter penyakit dalam juga mengobservasi. Katanya, ada 3 hal
yang perlu diperhatikan: obesitas (artinya: saya wajib menurunkan berat badan,
dan juga olahraga rutin), hipertensi (yang selama ini in denial, tapi ya memang
harus minum amlodipine rutin nih), dan juga diabetes (alhamdulillah belum, tapi
mesti waspada karena ada keturunan gula).
(Alhamdulillah saya punya istri yang peduli dengan Kesehatan
dan suaminya. Tiap hari disajikan buah-buahan. Dan rice cooker juga yang bisa
menurunkan kadar gula hingga 50%).
Untungnya di sini, saya bisa dikunjungi adik saya, Dr. Mira.
Dan juga orang tua yang rumahnya dekat. Kalau normalnya, umumnya semua pasien
tidak boleh dibezoek selama pandemi.
Senin 27 Desember
Secara klinis, saya dinyatakan oke. Boleh pulang.
Alhamdulillah.
Soal kesemutan di tangan kanan, mulut dan hidung, akan
dilakukan dengan dengan rawat jalan.
Yang saya rasakan hingga sekarang, selain kebas tadi, adalah
saya masih cepat capek. Sudah tidak bisa seaktif dulu, tidak bisa diforsir. Setidaknya
selama masa pemulihan. Mungkin karena
masa pemulihan, mungkin karena obat-obatannya.
Saya dikasih pengencer darah, amlodipine (untuk hipertensi,
ini wajib setiap hari), obat kolesterol,
suplemen syaraf dll.
Saya masih merasa di bagian kiri pegal-pegal atau kesemutan
(kalau tidur). Biasanya cukup dengan neurobion yang pink cukup. Dan juga kadang
nyeri di kepala belakang atau migren, saya kasih parasetamol biasa.
Awal 2022, semuanya berjalan lebih lambat dari biasanya.
Saya sementara ini tidak bisa lagi seaktif dulu. Paling
tidak selama masa pemulihan ini. Sudah menolak undangan premiere film,
wawancara, atau mengisi acara. Focus pada pekerjaan utama dulu (Binus, Dewan
Kesenian Jakarta, dan tugas-tugas/komitmen sebelumnya). Mohon maaf.
Alhamdulillah tidak terlalu parah.
Hidup lebih sehat, jasmani dan rohani, fisik dan spiritual, adalah menjadi salah satu prioritas utama saya tahun ini.
Bismillah.
Thursday 25 November 2021
Indorock sebagai Subkultur Budaya Indisch
Dalam rangka peluncuran buku Membaca Indorock, Mendengarkan Nostalgia ( Donny Anggoro, 2021) dan 10 tahun wafatnya Andy Tielman (10 November 2011-2021), saya merilis ulang tulisan ini. Ini kata pengantar di bukunya Donny.
Indorock sebagai Subkultur
Budaya Indisch
Oleh:
Ekky Imanjaya (sutradara dokumenter The Tielmans)
Berbicara
soal indorock, mengingatkan saya pada era 2007-2008, saat saya studi master di
Universiteit van Amsterdam. Saya termasuk yang beruntung, dalam waktu setahun
itu, saya berhasil mengeksplorasi genre
musik Indorock, dan budaya Indo/Indisch secara umum. Saat itu, saat itu majalah Rolling Stone membuat artikel tentang
Andy Tielman dan The Tielman Brothers, dan saya yang berada di Belanda merasa wajib untuk
mengejar Andy Tielman, satu dari dua
orang yang tersisa dari band legendaris The Tielman Brothers.
Tapi
justru kejadian tak terduga yang mengantarkan saya pada pertemuan pertama itu.
Di Bintang Theater di Pasar Malam Besar, 31 Mei 2008, Den Haag, saya memisahkan diri dengan rombongan
teman-teman, karena tertarik dengan poster Tjendol Sunrise. Ini adalah band
kekinian saat itu, kumpulan anak muda yang punya semangat menghidupkan kembali
Indorock. Mereka baru merilis album (sayangnya rilisnya hanya berselang
beberapa hari sebelumnya), berkolaborasi dengan Andy Tielman.
Saya hanya kebagian menonton beberapa lagu
terakhir. Tapi setelah itu saya tetap bertahan. Karena setelah itu ada pentas
yang saya tunggu-tunggu, yang tak sengaja saya lihat posternya saat menuju ke
panggung itu: Andy Tielman!
Saya
pun menonton hingga habis, dari pembukaan, si mungil Lorraine Jane memberikan
bunga kepada ayahnya, hingga lagu penutup Rasa Sajange/Glory Halelujah
yang membuat seluruh ruangan bernyanyi Bersama. Semuanya saya abadikan dalam
tulisan yang dimuat di Koran Tempo. Dan dengan pede saya tembak beliau: saya
ingin membuat film dokumenter! Dan saya pun mengikutinya hingga ke kota kecil
Bernama Steinweijk.
Seperti
saya sebut di atas, Indorock adalah bagian dari budaya besar, budayaIndisch/Indo. Indorock di sini adalah aliran rock kaum Indisch/Indo. Ada tiga
kategori untuk menyebut “indisch”. Pertama, orang Belanda murni atau ‘totok’
yang lahir di tanah jajahannya yaitu Indonesia. Kedua, adalah campuran antara
Indonesia dengan Belanda seperti Alex –Eddie Van Halen bersaudara. Ketiga,
adalah orang-orang murni Indonesia tapi bekerja untuk KNIL atau untuk
pemerintah Belanda pada umumnya, seperti keluarga Tielman. Nah, ketiganya
disebut “indisch” yang di Indonesia mereka juga dianggap sebagai “pengkhianat”,
sedangkan di Belanda mereka dianggap
warga negara kelas dua—tak heran banyak yang hijrah, misalnya ke Los Angeles
dan Australia.
Ketika
mereka terpaksa harus berimigrasi secara besar-besaran pada 1957, saat Presiden Sukarno memberi ultimatum kepada
“warga indisch” ini untuk memilih kewarganegaraan, maka di Belanda pun mereka mempunyai semacam
sub kulturnya sendiri. Mereka ingin diakui sederajat. Karena itulah, menurut
pentolan Tjendol Sunrise, Andy Tielman sangat penting karena bukan hanya
pahlawan musik, tapi juga pahlawan kaum Indo.
Kaum
indisch ini kemudian membuat Pasar Malam, yang menjadi Gerakan budaya untuk
menunjukkan identitas dan mengukuhkan kesejarahan mereka dengan tanah air
keduanya, Indonesia. Saya beruntung mengalami langsung subkultur itu di Belanda.
Pasar Malam ini adalah ajang terbesar di sana selain North Sea Jazz dan
Rotterdam Film Festival. Di Pasar Malam ini, atau juga acap disebut Festival
Tong Tong, berkumpul subkultur kaum Indo lainnya: Bahasa Petjok, Indorock,
Keroncong, dan tentunya berbagai makanan khas nusantara era colonial.
Andy
Tielman, dengan Indorock-nya, dianggap sebagai pahlawan kaum Indisch. Pada
2008, sesaat sebelum pulang ke tanah air, saya berada di tengah persiapan acara
Nederpop, yang rencananya saat itu digelar
Oktober 2008, di mana di situ diperdengarkan
pula lagu “Little Baby Rock of Mine”
(1959) yang dianggap sebagai pelopor “NederPop” alias musik pop Belanda. Dan
tentu pengaruh band sekeluarga itu terhadap skena musik, termasuk kekaguman Jan
Akkerman (salah satu gitar terbaik dunia) dan Golden Earring terhadap mereka.
Akhirnya,
dengan lagu debut mereka itu, The Tielman Brothers diterima publik Negeri
Kincir, setelah sebelumnya mereka pergi keliling Eropa,salah satunya ke Belgia,
mengumandangkan irama “rock n roll”, yang kala itu masih asing dan dianggap
pengaruh buruk. Mereka juga lalu berpetualang ke Hamburg. Masalahnya, yang
sering dibahas jika membicarakan Indorock adalah mitos-mitos seperti The
Beatles terinspirasi dari mereka ketika ke Hamburg. Padahal tidak cukup bukti
soal hal ini, mengingat semua band era itu di Hamburg rata-rata memang punya
aksi panggung gila-gilaan. Dan di Museum the Beatles di Liverpool, khususnya di
bagian Hamburg, tidak ada nama The Tielman Brothers sedikitpun di antara daftar
nama yang berjasa pada The Fab Four di era itu.
Tentu
saja berbicara soal subkultur budaya Indisch, khususnya Indorock, tidak hanya
terhenti pada Andy Tielman dan The Tielman Brothers. Buku ini menarik karena,
selain masih sedikit yang membahas
Indorock, juga membahas tentang band-bang Indorock lainnya. Dengan begitu, buku
ini memperkaya wawasan kita tentang genre rock yang nyaris terlupakan ini. Dan
uniknya, ada pembahasan tentang band Indonesia yang juga turut melestarikan
music aliran ini.
Selamat
kepada Bung Donny Anggoro atas terbitnya buku ini.
Kepada
pembaca, selamat menikmati dan berselancar di semesta Indorock!
Jakarta, 28 Juli 2021,
Ekky
Imanjaya
Catatan:
Kata
Pengantar untuk buku Membaca Indorock, Mendengarkan Nostalgia (Penerbit
Pelangi Sastra, 2021) karya Donny Anggoro.