Thursday 28 January 2016

Lima Alasan Mengapa Ide “Fatwa Haram Golput” adalah Kemunduran


Versi editnya dimuat di Majalah Madina Edisi Anniversary, Th II Januari-Februari 2009.

28 January 2009 at 16:22
Catatan: tulisan ini dibuat sebelum MUI membuat fatwa "Golput haram" yang kita bisa dibuat berdebat panjang soal definisi "pemimpin yang memenuhi syarat" itu.Setelah terbit fatwa Haram MUI, tulisan ini makin memperkuat dirinya untuk menjadi oposisi fatwa itu.

Alkisah, Hidayat Nurwahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gedung DPR menyatakan perlunya ada fatwa melarang golput bagi umat Islam pada Pemilu nanti. “Saya menyarankan agar dibuat fatwa antara MUI, NU dan Muhammadiyah untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ini perlu dilakukan karena banyak masyarakat yang sekarang apatis terhadap Pemilu nanti,” katanya. Mungkin sang ustadz baru mengevaluasi berbagai pilkada yang baru digelar. Untunglah, (ya, untunglah!) MUI lantas menolaknya. “Sebetulnya, fatwa mengharamkan golput tidak usah dikeluarkan. Karena kan yang golput tidak bisa dikatakan berdosa. Paling-paling, kita hanya bisa memberikan imbauan kalau masyarakat diwajibkan berpartisipasi untuk memikirkan nasib bangsa pada Pemilu nanti. Jadi, istilahnya imbauan saja, bukan fatwa,” kata Ketua MUI Amidhan.

Tiba-tiba saya teringat DR. Kuntowijoyo, pada 1998 ia pernah menulis Enam Alasan Tidak Mendirikan Parpol Islam. Secara sederhana, ke-6 alasan itu adalah:

1. Mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial vertikal ummat Islam yang selama periode a politik Ummat Islam telah menunjukkan tren menaik;

2. Disintegrasi umat yang diakibatkan fanatisme pada partai akibat diprovokasi para jurkam;

3. Umat menjadi miopis yang hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan berorientasi kekuasaan;

4. Pemiskinan perspektif dengan menuntun umat pada satu perspektif saja, yaitu perspektif partai;

5. Runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat, apabila sebelumnya kepemimpinan ummat bisa datang dari berbagai kelompok maka dengan berdirinya partai politik umat hanya akan mengakui pemimpin dari partai politiknya saja;

6. Alienasi di kalangan pemuda karena tercerabutnya mereka dari akar agama yang diakibatkan oleh berbedanya pandangannya dengan apa yang dialaminya.

Saya kira keenam poin di atas masih relevan dengan masa kiwari. Dan tentu saja, semua itu harus ditarik kembali dari pandangan-dunia Kuntowijoyo yang meracik konsep Ilmu Sosial Profetik. Berikut penjelasan a la Kuntowijoyo mengapa keinginan untuk fatwa mengharamkan golput adalah sebuah kemunduran:



1. Bertentangan dengan objektivikasi

salah satu gagasan terpenting Kunto. Objektivikasi (objectivication) berasal dari “objektif” yang berarti membuat sesuatu itu menjadi obyektif, the act of objectifying. Objektivasi artinya adalah menerjemahkan ajaran Islam (termasuk syariat) yang sudah terinternalisasi dalam diri seorang Muslim ke dalam kategori-kategori atau nilai-nilai yang objektif, sehingga ia terkesan tidak hanya milik umat Islam semata, tetapi juga milik semua orang dalam kerangka Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Suatu perbuatan disebut objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang di luar komunitas Islam sebagai sesuatu yang wajar dan bukan sebagai perbuatan keagamaan, walaupun berangkat dari semangat keislaman. Objektivikasi adalah jalan untuk membebaskan umat dari prasangka-prasangka subjektif birokrasi, umat sendiri dan juga non-umat; ia merupakan jalan tengah dari perdebatan panjang tentang negara Islam di satu pihak dan negara sekular di pihak lain. Dengan adanya ide fatwa anti-golput, maka targetnya jelas adalah calon pemilih Muslim saja, dan tentu terperosok dalam berbagai prasangka. Kalau, misalnya, PKS meminta KPU untuk kampanye anti golput, atau menganjurkan diri mereka dan partai (Islam) lain untuk menyebarkan ide anti-golput, tentu akan lain dampaknya.



2. Politik satu dimensi, agama banyak dimensi

Poin ini bagian dari “pemiskinan perspektif” dan “runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat”. Dengan konsentrasi di partai politik-- dengan upaya mempolitisir fatwa dan institusi agama semacam MUI—umat menjadi terfokus pada kepentingan politik. Akibatnya, apa pun niat baik dan perilaku mulia mereka (menolong korban bencana, bakti sosial) akan terlihat sebagai upaya politik dan bukan bagian dari syiar Islam yang murni.



3. Miopis

Akibat dari politik yang berdimensi tunggal, maka yang terjadi adalah myopic (kacamata kuda) kepentingan. Karena itu, apapun akan dilakukan untuk meraup sebanyak mungkin pemilih, termasuk fatwa. Dampaknya bisa cukup fatal, otomatis hal itu akan membatasi pemilih pada umat Islam, dan karenanya akan meruntuhkan konsep partai terbuka yang selama ini telah susah payah dibangun PKS. Kacamata kuda membuat pandangan menyempit hanya ke kepentingan politik dan parpol. Dampak lainnya adalah terbengkalainya atau dianaktirikannya dimensi lainnya, sebut saja seni budaya.



4. Dari ilmu kembali ke ideologi

Kuntowijoyo melakukan pemetaan atas sejarah umat Islam di negeri ini: mitos, ideologi, dan ilmu. Sekadar penyegaran, mitos adalah cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan keramat dan irrasional, dan terkait dengan legitimasi kekuasaan; contohnya Tjokroaminoto dari Syarikat Islam adalah Ratu Adil. Pada tahap ideologi, orang menyalurkan kepentingan secara kolektif lewat organisasi modern dan akhirnya parpol-parpol Islam. Kunto menyatakan bahwa saatnya untuk tahapan ketiga, yaitu ilmu. Caranya, dengan objektivikasi (poin pertama). Jika ideologi tertutup, maka ilmu bersikap terbuka. Sifat khas ideologi adalah subjektif dan mempunyai tujuan kolektif tertentu, da dan cenderung kaku menghadapi kenyataan. Sedangkan ilmu lebih obyektif, dan tujuannya menjadi “rahmat semesta alam”.

“Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” tulisnya. Tujuannya jelas: mencegah sekularisasi sekaligus dominasi satu kelompok agama atas kelompok lainnya, dan mencegah konflik dan debat kusir seputar idelogi dan bentuk Negara (Negara Islam, nasionalis, sekular, dll). Nah, dengan mengubah tahap “ideologi” menjadi “ilmu”, tidak perlu lagi sebuah fatwa yang sifatnya memaksa bahkan mengikat dan mengancam kelompok tertentu (jika seorang Muslim tidak dilaksanakan akan berdosa!). dengan menjadi ilmu, maka Islam (atau agama pada umumnya) tidak lagi berwujud identitas atau simbol (dengan kosakata semacam: MUI, fatwa, haram), tetapi ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif, dan konflik pun terhindarkan. Kalau pun ada parpol Islam atau agama lain, sifatnya tidak partisan karena nilai-nilai yang diperjuangkan sudah diterjemahkan (diobjektivikasi) hingga bisa dipahami dan diterima banyak orang. Dengan demikian, PKS atau parpol agama lainnya tidak terkesan egois dan hanya memperjuangkan kelompok Islam tertentu, tetapi juga seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan usulan fatwa haram golput, maka mereka tentu tak membidik pemilih yang berideologi selain Islam, karena fatwa macam itu tidak mempan bagi nasionalis atau sosialis (walau pun di KTP tertulis Islam).



5. Terkesan Mempolitisir Agama

Miopik tadi berakibat (dalam kesan orang luar, wallahua’lam niat sesungguhnya) anggapan PKS mempolitisir agama hanya untuk kepentingan sesaat. Hal-hal yang sifatnya mubah (memilih adalah hak warga negara) menjadi haram (memilih adalah kewajiban warga negara). Hal yang profan (mualamah; semuanya boleh kecuali yang diharamkan) menjadi sakral (ibadah dan diberi muatan “dosa jika tak dilakukan”; semua diharamkan kecuali yang diperintahkan). Hal ini tentu tidak menarik simpati bagi pemilih Muslim non-PKS apalagi yang jelas-jelas non-Muslim atau tidak berideologi Islam. Dalam al-Qur’an ditegaskan:” Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah: 87)



Golput adalah hal biasa. Robert P Clark, peneliti asal University George Mason, Amerika Serikat dalam penelitiannya menyampaikan bahwa di negara-negara berkembang yang telah mengembangkan demokrasi melalui pemilu seperti India, Tanzania, Nigeria, Meksiko, dan Brazil, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 64,5 persen. Bahkan di negara yang demokrasinya sudah maju seperti Amerika Serikat, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 40-50 persen saja (hupelita.com). Yang menarik, Direktur Center for Electoral Reform (Cetro) Jakarta, Haidar N Gumay, menyatakan, dari hasil survei yang dilakukan bulan September lalu 80% responden pemilih menyatakan akan ikut memilih Pemilu legislatif mendatang. ”Jadi gerakan Golput di Indonesia belum merupakan ancaman serius pada Pemilu legislatif 2009,” katanya pada Seminar Nasional Ancaman Golput Pemilu 2009 yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Pemprov Jateng di Vina House Semarang, Rabu (10/12) (Solopos.net). Nah!

Wallahua’lam bisshawab.

Friday 22 January 2016

Pekerjaan Paruh Waktu Paling Asyik!

Bagi mahasiswa di luar negeri, bekerja paruh waktu adalah sebuah pilihan menarik. Bagi  yang hidupnya pas-pasan dan banyak tergantung pada beasiswa, tentu part time job ini bisa untuk menambah uang saku. Bagi yang sudah berkecukupan, bisa untuk memperkaya pengalaman, CV, dan tabungan buat-jalan-jalan.
Apakah the best part-time job ever, khususnya buat anak jurusan film? Saya berusaha menjawabnya berdasarkan pengalaman saya tiga tahun tinggal di Inggris.
Pertama-tama,  yang “termudah”, tentu adalah pekerjaan fisik yang memang banyak dibutuhkan khususnya saat liburan panjang, khususnya natal dan musim panas. Saat liburan musim dingin dan panas, banyak orang sibuk bersenang-senang dan bertamasya. Saat itulah, banyak toko dan institusi yang membuka lowongan paruh waktu, misalnya sebagai kasir, tukang sortir surat, tukang cuci piring, pelayan, cleaning service dll. 
Sebagai mahasiswa jurusan film yang suka nonton, pilihan pertama saya adalah bekerja di gedung bioskop, atau minimal di sebuah tempat yang berkaitan dengan seni, budaya, dan media. Tapi saya, entah kenapa  selalu gagal.
Pekerjaan “kasar” lainnya, saya pernah coba lamar, tapi selalu tidak lolos seleksi awal, karena ada ujian online seputar studi kasus. Misalnya, “kalau anda tugas di kasir, dan ada pembeli yang kesulitan mencari uang receh hingga bermenit-menit, dan antrian sudah menumpuk dan ada yang mulai mengeluh, apa yang anda lakukan?”. Contoh lainnya: “kalau anda disuruh manajer mengambil barang segera, tapi ada calon pembeli yang minta dilayani dan banyak pertanyaan, sementara tak jauh dari sana banyak barang-barang berserakan dan tidak ada pegawai lain karena toko baru buka, apa yang anda lakukan?”. Hal-hal semacam itulah.
Pernah saya bekerja sebagai tukang cuci mobil, dari jam 9 hingga 5 sore di hari jumat dan sabtu, dan hanya boleh istirahat makan siang selama 10 menit saja. Ini sebuah pekerjaan yang superberat karena mobil-mobil (yang sangat kotor dan acap penuh dengan lumpur yang lengket dengan ban) tak pernah berhenti berdatangan. Dan setiap ritme kerja agak santai, selalu ada teguran “quick! Quick! Quick!”.   Masalah lain, saya tidak boleh shalat Jumat, walau masjidnya dekat dari mal itu. (saya ditegur karena rehat lebih dari sepuluh menit, karena saya jumatan. Saya pikir waktu rehat sejam). Padahal, Ini adalah jaringan imigran Eropa Timur, yang, sebenarnya, berlatarbelakang Muslim. Karena kondisi-kondisi ini, saya hanya tahan 2 hari saja.
Ada juga sih tawaran menjadi “kelinci percobaan” , misalnya studi perubahan perilaku yang berkaitan dengan ekonomi, seperti yang dilakukan oleh CBBES (the Centre for Behaviouraland Experimental Social Science). Kita seperti ikut kasus real life, dan  honornya tergantung jawaban kita (dan tetap dapat uang kehadiran juga, sekitar 2-3 pounds).  Pernah saya dapat 15 pounds untuk tes satu jam, tapi pernah juga hanya dapat kurang dari satu pounds. Atau  ikut focus group discussion, memberi masukan buat tim marketing kampus. Tapi ini kecil juga insentifnya, paling voucher beli buku 10-15 pounds. Dan keduanya tidak rutin, tergantung permintaan.

Sebenarnya, sebagai penulis, saya ingin  menjadi penulis lepas di media berbahasa Inggris. Tapi sepertinya saya tahu diri dengan keterbatasan. Yang belum saya coba, tapi pernah saya lakukan saat kuliah di Amsterdam dulu, adalah menjadi koresponden majalah atau suratkabar Indonesia. Mungkin, perlu dijajagi lagi nih, misalnya liputan drama Harry Potter and the Cursed Child atau konser Coldplay?
Banyak orang berpikir kalau menjadi research assistant, atau teaching assistant itu sangat keren. Dan memang keren, sih.  Tapi ini susah, perlu PD tingkat tinggi dalam urusan Bahasa, cara mengajar, dan penguasaan materi, dan juga lolos seleksi yang ketat. Biasanya, pihak jurusan akan memberikan pengumuman kepada para mahasiswa S3, siapa yang mau jadi asisten dosen. Atau, bisa juga dibuka lowongan secara terbuka. Bisa juga, sang dosen, yang biasanya adalah pembimbingnya, menawarinya pekerjaan ini. Honornya juga cukup besar.
Saya juga berupaya melamar posisi asdos ini, tapi gagal. Pembimbing kedua saya menawarkan untuk menjadi asistennya mengajar mata kuliah Sinema Asia semester berikutnya, tapi saya sudah keburu pindah ke Bristol. Di kampus saya, syarat asdos adalah sudah lulus transfer panel (di Inggris, tahun pertama adalah MPhil, kemudian di antara bulan ke 12 dan 18 ada upgrade panel. Setelah lulus baru layak disebut PhD Candidate), dan lulus kursus mengajar yang diadakan kampus atau institusi lain di lingkungan kampus.
Tapi, rupanya ada efek sampingnya juga. Beberapa teman saya menyatakan bahwa, jika uang yang kita cari, maka itu tidak sebanding dengan beban kerja.  Umumnya, dalam satu modul, akan ada kuliah umum yang melibatkan semua mahasiswa (kelas besar) yang diisi oleh dosen utama. Setelah itu, pertemuan berikutnya adalah pemutaran film. Dan, lanjut dengan kelas seminar, yang isinya Cuma belasan mahasiswa saja, pendalaman kuliah umum tadi. Asdos tugasnya ada di seminar ini, tapi dia juga wajib hadir dalam kuliah umum setiap minggu. Juga menyiapkan materi (karena, umumnya, asdos mendapatkan tugas mengajar yang acap tak sesuai dengan topik risetnya, atau sesuatu yang belum ia kuasai sama sekali). Jangan lupa, asdos harus memberikan feedback di setiap tugas, dan, yang paling memakan waktu, adalah memberikan nilai pada masing-masing mahasiswanya untuk tugas akhir. Mengapa ini berat? Kalau tugas asdos adalah hanya menjadi asdos, tentu ini pekerjaan sehari-hari. Tapi kalau asdosnya tugas utamanya adalah menulis tesis doktoralnya, tentu ia akan kewalahan dalam membagi waktu. Semua teman saya yang S3 yang menjadi asdos, menyatakan tak sempat menulis bab dalam tesisnya.  Jadi, kata mereka, kalau uang yang dicari, kurang cocok. Tapi kalau untuk mencari pengalaman mengajar, mendalami bagaimana kurikulum dan silabus diaplikasi, atau tercantum dalam curriculum vitae, kata mereka, baru itu alasan yang lebih tepat.
Untuk research assistant, saya belum mengeksplorasinya lebih lanjut. Lebih ke persoalan kesempatan dan lowongan kerja saja, sih.
Jadi, apa dong pekerjaan paruh waktu paling oke untuk mahasiswa S3, khususnya jurusan film? Begini. Di atas sudah saya singgung kalau ada sesi pemutaran film, untuk setiap module (atau mata kuliah). Nah,  mereka membutuhkan screener atau screening boy. Dan biasanya, semua lowongan kerja untuk mahasiswa diumumkan secara terbuka. Khusus untuk pekerjaan yang satu ini, tugasnya sangat mudah: ambil DVD ke dosen (atau, dalam kasus tertentu, ke perpustakaan), putar, ikut menonton untuk memastikan DVD tidak bermasalah (sekitar 3 jam, biasanya jauh lebih cepat kelarnya), dan kembalikan DVD ke dosen (atau perpustakaan).  Kita suka menonton, dan dibayar, bagaimana itu tidak menyenangkan? Yang paling sial adalah kalau kita tidak suka dengan filmnya, maka akan mati gaya dan mati kutu, tapi itu hal yang jarang terjadi.
Dan, lebih dari itu, saya juga belajar bagaimana sebuah kurikulum dan silabus disusun dan dijalankan. Karena, saya selalu diberikan daftar film, dan sekaligus silabusnya, dan pertanyaannya tiap pemutaran film. Dan saya boleh memilih modul apa   yang mau saya bantu! Juga, memilih  hari dan jam yang saya bisa.
Premier "Jazz Singer"
Pengalaman pertama saya adalah menjadi associate tutor Peter Kramer, September 2013-Januari 2014. Dia ini adalah legenda UEA yang sangat terkenal, dan pakar Kubrick dan sejarah film khususnya film bisu.  Modulenya berjudul “what is film history?”, yang fokus utamanya adalah awal pertumbuhan film dan perfilman hingga ditemukannya suara, kebanyakan di Amerika Serikat (dan sedikit Eropa).  Peter selalu hadir hampir di setiap pemutaran, dan memberikan penjelasan tiap jeda, karena filmnya biasanya pendek-pendek. Dari sini saya tahu bagaimana Peter membingkai para mahasiswa (yang adalah anak semester satu yang baru lulus SMA) dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka pahami sebelum pemutaran dan harus dijawab sepanjang pemutaran, untuk kemudian diserahkan padanya (atau pada saya) langsung setelah film habis. Dan, sebelumnya, Peter selalu memberikan materi-materi untuk dibaca (yang sebenarnya sudah tersedia online juga). Dan, keasyikan paling utama adalah menonton film-film era awal tahun yang langka, ditambah penjelasan langsung dari perpektif Peter Kramer. Saya menonton (dan juga menonton lagi) film-film yang arusutama (misalnya, film-film Buster Keaton,  Metropolis dan Jazz Singer)   atau yang cuma bisa saya baca di buku sejarah karena keterbatasan akses (misalnya film-film dari Brighton Film School). Nah, UEA memang terkenal dengan penelitian arsip dan consumption/reception studies, maka di module ini saya belajar bagaimana Peter selalu menyertakan “sumber utama”, yaitu resensi-resensi atau berita lainnya seputar film tersebut  di era film itu beredar. Misalnya, bagaimana The Birth of Nation itu tidak dianggap rasis di era itu, karena memang jaman itu praktik-praktik rasisme  semacam itu wajar dilakukan. Yang menarik, Peter memutar dokumenter pendek tentnag Coney Island di kota New York untuk menggarisbawahi mengapa ia penting terkait dengan industri film Amerika.
episode perdana Doctor Who (1963): An Unearthly Child)
Pengalaman berikutnya adalah menjadi screening boy di 3 module sekaligus, Januari-Mei  2015. Mungkin, jurusan saya gak enak sehabis menolak saya menjadi asdos. Yang pertama adalah Sci-Fi Film and Television dari Christine Cornea, yang memang pakar di bidang ini. Kebetulan saya memang sedang mendalami sci-fi dan akan menjadikannya sebagai proyek penelitian berikutnya. Film-filmnya banyak yang sudah saya tonton, tapi kali ini dengan perspektif berbeda (Misalnya Terminator 2, Robocop,  dan  Matrix, dan serial TV seperti the Six Million Dollar Man)  karena saya juga baca silabus dan pertanyaan-pertanyaan untuk mahasiswa S2. Dan juga mengeksplorasi film dan TV (favorit saya: Forbidden Planet, serial televisi Planet of the Apes, Survivors,  dan…tentu saja Doctor Who episode perdana).

Di semester yang sama, saya juga pegang 2 module dari pembimbing kedua saya, Rayna Denison. Dia pakar anime dan film jepang. Saya bertugas mengurusi putar film “Asian Cinema” dan “Japanese Cinema”.  Film-filmnya? Dari Rashomon, Hard Boiled, Akira, hingga Crouching Tiger. Saya menonton lagi film semacam    Tokyo Story, In the Mood for Love,  Ringu, OldBoy, dengan perspektif baru. Film yang baru saya tonton: Pater Pancali, Godzilla (yang asli), The Hidden Fortress, The Life of Oharu.  Sejauh ini, hanya Tokyo Drifter yang membosankan, walau ada embel-embel cult movies.
Kalau ditilik, film-film yang disajikan itu tidak hanya yang “film festival” atau “film seni”, tapi macam-macam. Tergantung dari tema yang sedang dibahas. Kalau bahasnya adalah genre dan film Bollywood, yang diputar Ghajini. Ringu diputar sebagai bahan untuk international branding.  Untuk sci-fi, memang filmnya popular rata2 (kecuali Altered States atau A Scanner Darkly yang mungkin dianggap agak nge-art ). Tapi temanya keren-keren. Misalnya, Robocop dan The Six Million Dollar
Man, dipakai sebagai contoh dari topik Techno-Fusion and the Masculine Subject in US Science Fiction Film and Television. sementara itu  Alien Others: Representation and Race in US Science Fiction Film and Television memakai kasus serial  TV Planet of the Apes dan Matrix  Revolution. Hmmm, saya jadi belajar menyusun silabus dan kurikulum keren, nih.
Begitulah, di semester itu, persis setahun silam, dalam sepekan saya menonton 3 film. Tidak perlu persiapan secara serius (kecuali beberapa kasus ketika sang dosen tak punya filmnya dan saya diminta cari di perpustakaan, tapi bukan hal besar), dan dapat uang saku. Tidak sebanyak honor mengajar, memang, tapi lebih dari lumayanlah. Dan, banyak bonusnya. Termasuk, memaksakan diri untuk menonton film, dan istirahat dari memikiran tesis.

Sunday 3 January 2016

Saya dan Yasmin Ahmad

Saya dan Yasmin Ahmad
Oleh Ekky Imanjaya


Catatan: Tulisan lama, 2009. beberapa saat setelah ia wafat.

Malaysia terasa berbeda tanpa Yasmin Ahmad. Tentu banyak orang berpikir saya lebai alias berlebihan. Tapi tidak bagi saya. Terakhir kali saya ke Kuala Lumpur, pertengahan 2009, seharusnya saya bertemu dengan Kak Min, panggilan akrabnya, untuk menjajagi kemungkinan film-filmnya (khususnya Muallaf  dan Talentime) diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFEST) dan/atau Festival Film Madani. Tetapi, apa daya, pada 25 Juli, Yasmin telah berpulang, dan pertemuan itu tak pernah terjadi.
Mengapa saya merasakan perbedaan ini? Saya ke Malaysia sudah empat kali, dan semuanya ada hubungannya dengan Kak Min. Kali pertama, 2006, adalah untuk tugas peliputan. Secara tak sengaja, saya berjalan ke sebuah bioskop di belakang hotel tempat saya menginap, Palace of Golden Horses, dan menemukan namanya di bawah judul film Gubra (Cemas). Nama itu pernah saya dengar samar-samar sewaktu Layarperak.com membuat Kine28, dipimpin Farishad “Echa” Latjuba, dan memutar Sepet, 21 Mei 2005—tapi saya tak sempat menontonnya. Menonton Gubra, saya langsung jatuh hati pada cerita yang kuat dan cara bertutur yang mengesankan.  Tidak hanya bicara soal kisah perselingkuhan, tetapi—sebagaimana film Yasmin lainnya—tentang memaafkan. Juga ada dialog tentang lagu berbahasa Melayu dan Mandarin: “Kalau lagu di negeri ini Cuma berbahasa Malaysia, lebih baik saya pindah sajalah…”. Walau tak ada terjemahan bahasa Inggris, saya tetap bisa mengikuti dan secara emosional larut ke dalam cerita.
Esoknya, langsung saya cari DVD Sepet.  Begitu tiba di Jakarta, sebagaimana layaknya seorang fans, saya cari tahu tentang Yasmin, dan saya menemukan blognya http://yasminthestoryteller.blogspot.com .  lantas, saya coba untuk mengontaknya. Ajaib, dia merespons dan bahkan kami bertukar nomor telepon.
Kali kedua, Agustus 2007, sewaktu transit menuju Amsterdam dan menyambangi istri.  Saya sms dia, dengan harapan akan bertemu dengannya untuk sesi wawancara RumahFilm  . Awalnya, di hari-hari pertama, tidak ada jawaban. Begitu beberapa hari pesawat saya mau lepas landas, ada sms masuk:
“Mau nonton wayang?”. Ah, dari Yasmin!
Saya bingung? Maksudnya menonton di bioskop? Film apa?
“Film gue!” terlihat sms masuk. Ah, yang dimaksud adalah Muallaf!
Merasa perlu mengisi “amunisi”, saya pun menonton DVD Mukhsin, film yang sudah lama saya simpan namun tak sempat tertonton. Di sebuah hotel, di Bukit Bintang, saya meneteskan air mata haru, walau hanya menonton di laptop dengan teknologi seadanya itu. (Kelak, saya beberapa kali menontonnya, dan selalu merasakan keharuan, khususnya saat momen Ne Me Quitte Pas http://old.rumahfilm.org/esai/esai_orked.htm). Setelah itu, saya dan istri pun bergegas menuju ke kantornya,Leo Burnett.Di sana, hanya ada beberapa orang yang hadir. Dan, saya pun menikmati Muallaf yang mengharukan dan iklan Percintaan Tan Ho Ming yang jenaka dan menang berbagai penghargaan itu. Dan saya pun mewawancarainya, cukup panjang—plus minta tanda tangan.
Pertemuan berikutnya: Berlinale 2008. Yasmin hadir sebagai juri  sesi film anak. Saya hadir meliput. Saya pun kontak dan kami sepakat untuk minum kopi di Zoopalast.  Dialah yang mengambil inisiatif bertemu, di  tengah padatnya waktu penjurian. Saya tak menyangka, itulah perjumpaan saya terakhir secara fisik dengannya.
Pada akhir Agustus 2008, saya pulang dari negeri Belanda, dan mampir sebentar ke Kuala Lumpur. Karena miskomunikasi, saya tidak bisa bertemu dengan kak Min.  saya menyangka restoran tempat pertemuannya ada di Bukit Bintang, ternyata ada di luar kota. Awal September itu, beberapa saat sebelum saya pulang ke Jakarta, tak disangka, Yasmin menyempatkan diri menelpon saya. Saat itulah saya menawarkan untuk membawa Muallaf, film yang saya tonton setahun sebelumnya  dan belum juga diputar di bioskop komersil Malaysia, ke Festival Film Madani (http://old.rumahfilm.org/kabar/kabar_madani2009.htm) . Selebihnya, hanya lewat email untuk “merayu” Kak Min membawa film-filmnya ke Jakarta.  “Saya harap kamu bisa menonton Talentime. It is culturally colorful!” ungkapnya penuh kebanggaan. Saya pun meminta film itu untuk diboyong ke Jakarta, tapi waktu itu belum ada kesepakatan.
Kali terakhir saya hadir di Kuala Lumpur adalah pertengahan Agustus 2009, saat menghadiri konvokesyen alias wisuda istri saya. Kali itu tak ada Yasmin. Saya berhasil mengontak Amir Muhammad untuk menemani ke Chow Kit, mencari dua film Usmar Ismail produksi negeri jiran, Korban Fitnah dan Bajangan di Waktu Fajar. Sepanjang perjalanan, Amir bercerita banyak hal, termasuk tentang hari-hari terakhir Yasmin. “Waktu dia meninggal, saya tidak di sampingnya, karena sebelumnya sudah membesuk. Yuhang yang ada di sana…” terangnya. Ah, banyak sekali orang yang saying pada Kak Min, rupanya. Tak lupa, Amir mengajak saya menyusuri sungai, melihat seni grafis jalanan tentang Yasmin dengan tulisan: “We, Anak-Anak Malaysia, will miss you dearly”. Tapi saat itu, kami belum berhasil menemukannya.
Dan, ah, ternyata Talentime diputar lagi, atas permintaan banyak orang. Di televisi, ada iklan soal ini. Duka masih menyelimuti Malaysia walau sebulan sudah Kak Min wafat.  Dikompori Amir—yang berjanji akan mengantar saya pulang--saya nekad menonton Talentime menjelang tengah malam, padahal besok subuh harus bangun untuk wisuda istri—tujuan utama saya ke negeri ini. Untunglah saya bisa bangun pagi dan semuanya berjalan sesuai rencana.
Talentime, film terakhirnya itu, makin mempertegas representasi keluarga yang dianggap disfungsi, tapi justru menjadi keluarga yang paling normal di lingkungannya. Lihat saja, sang nenek adalah “orang putih” alias bule seratus persen!
Dan tibalah tanggal itu: 25 Juli. Beberapa hari sebelumnya, saya  membaca berita bahwa dirinya tak sadarkan diri saat rapat di TV3. Dan belakangan, dirinya sudah membaik. Tapi, tiba-tiba, hari itu, Joko Anwar menelpon dengan suara lirih: “Yasmin Ahmad meninggal, ky…”. Saya seperti kesambar petir di siang bolong. “Gue tahu dari Jajang C Noer yang di-sms keluarganya…” imbuh Joko. Saya tak kuasa menahan titik-titik air mata.
Mengapa kepergiannya adalah sebuah kehilangan? Karena saya sangat sadar bahwa dia tidak akan membuat film lagi, dan saya akan kehilangan semangat optimistik dan idealistik seorang sutradara yang tidak terjebak dikotomi dunia “film seni” dan “film komersil”. Sepet adalah film terlaris berbujet rendah, mengalahkan Putri Gunung Ledang yang ongkosnya termegah se-Asia Tenggara. Mukhsin laris manis. Tetapi tidak mengurangi bobot mutu keindahan dan kecerdasan sinematisnya. Dan Malaysia pun berbeda tanpanya.
Saya teringat Yockie Suryoprajogo yang membuat album : Musik Saya adalah Saya. Dan itu pulalah Kak Min:  Filmnya adalah Dirinya. Yasmin pernah bilang ke saya bahwa sosok Orked pada trilogi Sepet-Gubra-Mukhsin adalah gabungan kisah dirinya, sang ibu (Mak Inom), dan adiknya yang memang bernama Orked. Adalah Orked Ahmad, sang adik, yang menyatakan bahwa film Yasmin seluruhnya adalah adaptasi hidupnya. Misalnya, Gubra, itu berkisah tentang perceraiannya dengan suami pertama yang beretnis India. Pada Muallaf, ada adegan sang kakak mengajarkan adiknya  sebuah  ritual memaafkan orang lain sebelum tidur, lantas  al-Fatihah dan Ayat Kursi. “Saya diajarkan Kak Min. Itu wajib dilakukan tiap malam!” ungkap Orked.
Akhlak, alias perilaku mulai terpancar pada kesehariannya. Kepada siapapun ia tampak ramah dan supel, walau tetap mempertahankan prinsip. Spiritualitasnya begitu tinggi. Saya bisa merasakan kejujuran dalam setiap karyanya. Dan semua filmnya diawali dengan kalimat “Dengan Nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang”, termasuk dalam bahasa Arab (Basmalah), Cina, dan Tamil. “Siapa saja merasa dekat dengan Yasmin,” ungkap Amir Muhammad saat peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films. Dan saya pun mengamininya.
Desember 2009, adalah hari yang berbahagia. Di ajang JIFFEST, termasuk sesi Madani Film Festival, semua film Yasmin diputar. Muallaf dan Talentime dijadikan premiere. Rabun, film pertamanya, pun diputar. Di peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films, saya menjadi moderator, mendampingi Amir sang penulisnya.
Mbak Yasmin, begitu saya menyebutnya. Begitu banyak penghargaan internasional yang ia dapatkan. Bagaimana kah ia ingin dikenang (http://old.rumahfilm.org/wawancara/wawancara_sharifah.htm)? Berikut pernyataannya:  “Tidak begitu penting bagi saya untuk diingat. Ego dan arogansi adalah hal-hal yang tidak disetujui Tuhan. Saya suka orang mengenang cinta dan kasih sayang yang begitu lazim di film-film saya. Beberapa orang memilih untuk tidak melihatnya. Mereka melihat hal lain”.
Terakhir, mengikuti tradisi rekan-rekan dari Malaysia: Al-Fatihah!


Refleksi Akhir Tahun 2012: Membaca (Sinema) Indonesia dari Banda Aceh- .::Rumah Film::.


Tentu saja berbagai opini di tulisan ini tidak imbang, karena hanya menggelontorkan ide-ide dari satu pihak saja. Mereka mungkin hanya minoritas. Saya hanya sekadar memberikan ruang untuk berdialog bagi mereka.

Inilah refleksi akhir tahun saya.

1. Aceh, Arab, Islam, Indonesia


Ini jaman boeroek boeat pikeran dan imajinasi. Siapa bilang Arab itoe Atjeh –Kata Dokarim (tulisan di belakang kaos resmi Festival Film Arab 2011, Banda Aceh)

Di Banda Aceh, bagi banyak orang, Arab dan Islam nampaknya tak terpisahkan. Arab adalah Islam, dan Islam adalah Arab, dan mengadopsi segala yang datang dari Arab tampaknya adalah sebuah keharusan.  Tengoklah sebuah pertanyaan sesaat setelah pemutaran film pembuka FFA, Captain Abu Raid:  “Saya kira, film tadi tidak menggambarkan Arab, malah lebih dekat dengan gaya Prancis. Dan mengapa masih dibahas soal Arab dan Islam? Arab itu ya Islam, karena Islam datang dari sana”.  Ketika saya hendak menjawab, si penanya sudah ngeloyor pergi, seolah tak membuka jalan dialog.

Sebelum pertanyaan itu, saya melakukan presentasi singkat tentang teori representasi. Pada kesempatan itu, saya menyatakan bahwa festival film semacam ini penting untuk melihat representasi berbagai budaya Arab yang tak tunggal (tidak satu agama, tidak satu madzhab, tidak satu ideologi, dan sebagainya) lewat film. Teori representasi membuat orang kritis bertanya: “realitas yang mana? Realitas apa? Realitas menurut siapa?”. Dan, karena film adalah produk budaya, maka menggambarkan dinamika kultural bagaimana kondisi sebuah bangsa diproyeksikan dalam film. Dan tentu saja,setting Captain Abu Raid, kota Amman, jauh lebih moderat dan memperlihatkan seorang wanita tanpa jilbab menjadi pilot sangat berbeda dari Arab Saudi yang, misalnya, melarang perempuan menyetir mobil.

Tapi, rupanya, penjelasan saya tidak mempan. Buktinya: pertanyaan seperti di atas. Dan juga, ada pertanyaan dari seorang intelektual lokal yang menjadi pembicara di sebelah saya. Katanya, kurang lebih, film tidak bisa dijadikan pijakan untuk menjadi sebuah referensi dalam kebudayaan, karena tidak bisa memotret realitas. Buktinya, film The Corruptordibuat di Hong Kong, sebuah tempat yang terkenal dengan komisi antikorupsi yang tegas dan sukses. Pun dengan film-film Arab di festival ini, tidak bisa dijadikan patokan bahwa itulah patokan budaya arab “yang sebenarnya”. Tentu saja, pernyataan ini benar, tapi juga sekaligus naïf.  Karena pengkajian dengan pendekatan representasi (atau teori kajian kebudayaan lainnya) , tentu menjadi alat analisa untuk mengkaji sebuah budaya dan situasi sosial sebuah produk budaya seperti sinema. Dan satu lagi, apakah itu, Arab “yang sebenarnya”, karena ada Mesir, Jordania, Suriah, Qatar, dan Uni Emirat Arab, yang jelas semuanya mempunya karakteristik kultural yang berbeda-beda (di samping ideologi yang tak hanya satu jenis Islam, tapi juga berbagai madzhab Islam, disamping, sosialisme, sekularisme, dan sebagainya).

Tapi itulah yang terjadi. Arab itu Islam dan Islam itu Arab, dan, segala dari Arab (Saudi) harus diadaptasi, termasuk di antaranya: syariat Islam dengan penafsiran tertentu.  Juga misalnya penanaman pohon korma di depan Masjid Raya. Inilah yang menjadi kekhawatiran sebagian kelompok di Banda Aceh: kecenderungan Arabisasi dengan tanpa dialog. Karena itulah, kaos penyelenggara festival ini punya pernyataan yang keras, yang dikutip dari Do Karim, tokoh budayawan Aceh, yang menjadi nama sekolah mereka. Dan karena itu pula, slogan festival mereka adalah “sinoe Acehsideh Arab, sinoe sideh hana rab” (di sini Aceh di sana Arab, disini-di sana tidak dekat).  Bagi penyelenggara acara festival film ini, Arab mungkin lebih tua dari Islam, tapi Islam jauh lebih luas dan lebih universal daripada Arab. Dan film adalah sarana yang efektif untuk menunjukkan hal itu. Di satu sisi, ada teori yang memang masih terbuka untuk didebat, Arab adalah salah satu budaya saja yang mewakili huruf A, padahal masih ACEH – sebagaimana secara populer dipercaya oleh orang Aceh – terdiri dari A, C(ina), E(ropa), dan H(industan).

Fauzan Santa, rektor Sekolah Menulis Dokarim menyatakan bahwa “…Arabisasi  dalam hal ini cuma proses penetrasi simbolik sebuah budaya tua sekaligus cermin galau kita saat hendak menemukan model dan bentuk kebudayaan Islam kontemporer”. Penanaman pohon kurma—yang kemudian tak berbuah dan melayu sebelum menghijau–adalah sebuah contoh menarik, betapa sia-sia usaha adopsi kebudayaan tanpa tahu konteks (tanah, cuaca, dan kadar air) di Aceh.  Pun dengan urusan kebudayaan, politik, dan hukum.

Reza Idria, salah seorang fasilitator institusi ini, menyatakan bahwa FAA adalah medium memperkenalkan situasi sehari-hari di Timur Tengah, persoalan-persoalan rumah tangga, politik, agama dan sebagainya menjadi lebih ringkas lewat visualisasi sebuah film. “Ini memang dilakukan sebagai upaya untuk menangkis bayangan ideal tentang Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab sebagai tempat suci dan teladan bagi pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Karena ternyata melalui film orang dapat melihat problem-problem yang terjadi di Aceh juga dialami dalam keseharian masyarakat Arab. Jadi tidak benar dengan membungkus tubuh orang, melarang orang berkumpul antara laki-laki dan perempuan, mencambuk, bersorban, dan lain-lain bisa menyelesaikan kebutuhan riil masyarakat,” jelas Reza yang baru saja menyelesaikan S2 di Universitas Leiden.

Di balik festival film itu, ada problema yang lebih besar di hadapan, yang kurang lebih berkaitan dengan isu “Arab-adalah-Islam” di atas: bagaimana hukum Islam diterapkan dengan—menurut beberapa kalangan–cara legalistis, formalistis, birokratis, dan simbolis. Sejauh ini, sudah diterapkan Syariat Islam yang berkaitan dengan moralitas, misalnya hukuman bagi pemabuk, penjudi, orang yang ber-khalwat (berduaan dengan bukan mahram) – di antaranya hukum cambuk[1]yang terselenggara sejak 2001—misalnya, Qanun atau peraturan daerah Syariat Islam No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat bidang aqidah dan ibadah, No. 12 tahun 2003 tentang khamar (minuman keras), No. 13 tahun 2003 tentang maisir (judi), dan No. 14 tahun 2003 tentang khalwat. Sejak 2009, RUU baru–Qanun (Peraturan Daerah) tentang Jinayat (Pidana Islam) dan Hukum Acara Jinayat – diserahkan oleh DPR Aceh, namun tak kunjung ditandatangani Gubernur, sebuah hukum yang di dalamnya ada hukuman potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina yang telah menikah.

Fozan menyatakan bahwa sejauh ini, penerapan syariat Islam kurang efektif. “Kalau cambuk atau penjara sejauh ini tidak juga membebaskan manusia dari perilaku buruk, apa lantas hukum Islam atau hukum (negara) modern gagal membawa kemaslahatan umat? Jadi apa makna slogan-slogan “Islam adalah solusi”, “Syariat Islam akan membawa kedamaian”?

Menurut Fozan, penegakan hukum semacam itu adalah proses pengerdilan universalitas nilai Islam. “Semua hal harus punya cap stempel formal syariat: dari makanan sampai wisata. Dari bank sampai jurnalisme. Sementara ini kalau kita bicara syariat Islam kita cenderung memahami fiqih/hukum Islam.  Maka Islam jadi sempit. Cuma urusan ini boleh itu tidak.  Kalau sudah hukum cambuk dijalankan, seolah sah kita merasa beragam islam walaupun si terhukum sudah lebih dulu masuk penjara dalam tempo lama sebelum dicambuk. Rentan konflik horizontal. Jadi seolah-olah siapa saja ingin beraktifitas dan berusaha di Aceh hari ini mesti pakai emblem syariat. Siapa tahu nanti ada Salon Syariat, warkop syariat, Wisata syariat, marathon Syariah, Ayam tangkap syariat, dan sebagainya (ayam tangkap adalah menu makanan populer di Aceh-red.)”

Jika kita mendengar adanya peristiwa penangkapan dan penggundulan anak-anak punk karena dianggap tidak berpakaian dan berpikiran Islami—bahkan harus diceburkan ke sungai Reza dan Azhari menyatakan bahwa para anak punk itu sebenarnya melawan balik, dan kelompok mereka sekarang sudah 10 gang. Ternyata, tidak hanya punker yang “membangkang”, tapi juga telah terjadi semacam civil disobedient dengan cara tidak benar-benar menjalankan aturan, bahkan mengakalinya[2]. Misalnya, Reza dan Azhari memberi contoh tentang konser God Bless yang mewajibkan penontonnya harus terpisah pria dan wanita. “Ketika sudah masuk, mereka berbaur lagi di dalam.” Atau, ketika  penjual hamburger dilarang untuk berjualan di atas pukul 12 malam, karena mengundang muda mudi untuk datang dan “mojok berduaan”[3]. “Mereka akan pergi, tapi dua tiga hari lagi akan kembali ke tempat semula”. Namun para warga itu tidak bermaksud untuk membangkang terhadap syariat Islam. Menurut Reza, “…yang membangkang dan menolak adalah terhadap formulasi dan interpretasi hukum lokal yang diberi label syariat oleh otoritas namun dalam kenyataan juga berlaku sangat parsial, politis, dan tidak sesuai dengan prinsip maqashid syari’ah (tujuan syariat-EIJ) itu sendiri.”

Lantas, bagaimana jalan keluar atau titik temunya? Fozan Santa meyatakan: “ Kita amat sangat perlu belajar kembali pada sejarah (interaksi) sosial-politik Nabi Muhammad periode Mekkah, bukan semata mahir menjiplak formalitas personal dan legalistik yang sudah mapan pada periode Madinah”. Sedangkan Reza menyatakan sebaiknya syariat dikembalikan pada pada makna harfiahnya: jalan menuju tuhan. “Jalan menuju tuhan ditempuh dengan pendidikan dan etika. Etika yang mengatur hubungan dengan tuhan, hubungan dengan manusia, hubungan dengan alam, semua ada dalam syariat agama. Hukuman adalah pilihan akhir yang harus diterapkan setelah pendidikan dan etika diperkenalkan” jelasnya.

Bagi penyelenggara FFA, hukuman adalah sarana, bukan tujuan, dari penegakan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam.  Sehingga yang sebaiknya dilakukan  adalah gerakan penyadaran dan pemahaman, bukan sesuatu yang menakutkan dan dipaksakan.  Jalannya adalah pendidikan, sejarah, dan etika, yang merupakan bagian dari kebudayaan.Gerakan  kultural itulah, agaknya, yang tengah mereka perjuangkan. Salah satunya lewat Festival Film Arab. Jika tidak, maka yang terjadi akan seperti simbol FFA, sebuah pohon kurma di Masjid Raya, yang pada akhirnya hanya menjadi  hiasan artifisial belaka.

2. Merayakan Film di Negeri Tanpa BioskopDalam setahun ini, tidak banyak saya ke luar kota. Beberapa di antaranya adalah ke Banda Aceh dan Serang. Keduanya mempunyai, setidaknya, satu persamaan: tidak ada bioskop. Dan ada banyak sekali kota-kota, baik di Jawa atau di luar Jawa, yang tidak memiliki bioskop.[4] Mungkin itu salah satu alasan mengapa film terlaris kita, Laskar Pelangi, meraup lebih dari 5 juta penonton, yang sebenarnya adalah sekitar 2,5 % total penduduk  Indonesia. Kita berhadapan dengan persoalan distribusi dan eksibisi.

Bioskop penting tidak saja sebagai sebuah tempat untuk menonton film dengan fasilitas khusus, tapi juga untuk membuka ruang publik tempat masyarakat bertemu dan berapresiasi dan interaksi sosial.

Festival Film Arab yang dicetuskan Sekolah Menulis Dokarim adalah salah satu upaya untuk membuka bioskop.  Mereka menyulap kantor mereka, Episentrum Ulee Kareng, menjadi ruang publik yang nyaman untuk para penonton.

Menurut Fozan Santa, sang kepala sekolah, setelah bioskop-bioskop resmi lenyap di Aceh, konsentrasi penonton kritis serta pengamat kebudayaan kita hari ini berpindah ruang ke meja-meja di kedai minum untuk merayakan keramaian dan keragaman pemikiran. “Tidak mudah memang menyelenggarakan kembali sebuah bioskop resmi saat ini, untuk aktifitas menonton dan menemukan inspirasi kebudayaan dari balik sorot proyektor film,” ujarnya.

Fozan menjelaskan, adanya pergeseran pemahaman pasca konflik dan tsunami terhadap “ruang gelap komunal” menjadi “ruang sunyi personal”.  Itu pula yang membikin orang kini lebih senang dan nyaman menonton televisi atau bioskop-keluarga (home-theater) karena di sana gelap-terang bukan lagi soal yang berarti untuk simbol baik dan buruk.

Bisnis bioskop di Banda Aceh menurun sejak 1989. Sejak konflik meningkat, sekitar tahun 2000an, makin banyak yang jarang keluar malam, sedangkan warung kopi  yang buka siang-malam pun banyak tutup. Saat Tsunami, Desember 2004, bioskop terakhir pun tutup.

Walhasil, rakyat Aceh yang budayanya kental dengan audio visual dan tradisi lisan, tidak hanya sekadar haus tontonan, namun juga  rindu ‘perayaan sosial’. Sebab, menurut Fozan, selama ini, mereka hanya bisa menonton VCD sendiri atau bersama keluarga di rumah.  Padahal, umumnya, masyarakat Aceh suka keramaian dan hiburan, suka berkumpul meski tak melulu menonton bioskop.   Karena itulah, banyak warung kopi yang memasang layar besar untuk menonton pertandingan sepak bola beramai-ramai. Dan karena itulah FFA dibanjiri penonton dari berbagai penjuru.

Bagaimana kemungkinan membuka bisnis bioskop? Menurut Reza Idria, setelah tsunami, ada banyak sektor modal yang bangkit, namun tidak ada lagi orang yang mau investasi di bidang ini karena ada larangan bercampur laki-laki dan perempuan di tempat gelap.  Namun, jika ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang aturan bagi penyelenggara dan penonton bioskop maka saya kira peluang keuntungan bagi yang mau investasi sangatlah besar.

Tetapi, rupanya absennya gedung bioskop tidak lantas membuat mereka berdiam diri untuk melakukan perayaan sosial dan kultural. Ada beberapa geliat di bidang distribusi dan eksibisi. Beberapa di antaranya adalah serial film Eumpang Breuh, dan acara TV Eng Ong.



Eumpang Breuh (yang bermakna karung beras) adalah sebuah  drama komedi yang digagas oleh grup lawak setempat Aceh, Tuha Ban Lahee. Mereka memproduksi filmnya sendiri dan mengedarkannya sendiri dalam bentuk kepingan VCD. Episode pertama (Preman Gampong) dirilis Agustus 2006 dan laris hingga 25 ribu keping. Seri kedua (Yusniar Dara Gampong) laku  40 ribu. Dan yang ketiga (Cinta Bang Kapluk) melonjak hingga 70 ribu[5]. Ratusan orang antri panjang hanya untuk membelinya, dan para “distributor” biasanya membayar lunas di muka, dengan uang tunai berkarung-karung. Serial keempat (Raket bak Pisang), lima (Kaoy Haji Uma), dan seterusnya hingga nomor sembilan masih juga diproduksi. Eumpang breuh adalah simbol keberuntungan bagi Joni Kapluk yang berjuang demi mendapatkan kekasih sekaya dan secantik Yusniar, anak tunggal Haji Uma yang galak. Intinya sebenarnya adalah perjuangan mendapatkan jodoh dan mendapatkan halangan dari calon mertua, dan disajikan dengan slapstick, misalnya dengan berlari-lari dikejar-kejar golok.[6] Film seri ini disturadarai oleh Imran Abdoe alias Ayah Doe dan diproduseri oleh Din Keramik sebagai Produser.

TV Eng Ong agak berbeda. Kegiatan yang  digagas oleh Episentrum Ulee Kareng  bekerja sama dengan beberapa institusi itu sebenarnya adalah semacam ajang kampanye sosial ke rakyat Aceh, misalnya tentang peran perempuan, dan isu sosial lainnya.

Umumnya, acara ini disutradarai oleh Akmal M Roem dengan berbagai penutur dengan pendekatan komedi[7]. Panggungnya berbentuk televisi raksasa bermerek Episentrum, dan dua orang berperan sebagai reporter televisi[8], dan lebih mengandalkan improvisasi akting. Ribuan orang menghadiri dan tertawa bersama[9]. Yang paling menarik adalah segmen roadshow ke pemirsa, eh, penonton, mengingat mereka merasa benar-benar masuk televisi.

Misalnya, pada pertengahan September 2011, mereka pentas  dengan tema Perempuan dan Perdamaian, di Kabupaten Aceh Besar, di antaranya di Kantho, Lampuuk, Indrapuri, dan Siem.  Untuk kali ini, mereka bekerja sama dengan Koalisi Perempuan dan UN Women.

Sebelum dan, umumnya, setelah suksesnya Eumpang Breuh ini, bermunculannya produksi lokal bertema komedi, dengan jaringan distribusi dan eksibisi lokal pula.

Di kesempatan lain, Desember 2009, mereka melawat Aceh Selatan (Kecamatan Sawang, Tapaktuan, Bakongan dan Kluet Timur) dengan tema perdamaian, kesehatan reproduksi dan kampanye anti HIV/Aids, khususnya soal penyembuhan trauma.

Acara yang diprakarsai Komunitas Tikar Pandan ini merupakan bagian dari kampanye trauma healing dan kesehatan. Dalam pertunjukannya di negeri naga tersebut, TV Eng Ong mengangkat isu-isu tentang perdamaian, kesehatan reproduksi dan kampanye anti HIV/Aids di Aceh.

Alternatif  ruang publik lainnya adalah Gerobak Bioskop, sebuah perangkat layar tancap yang dihibahkan Komunitas Ruang Rupa kepada Episentrum Ulee Kareng pada 28 November 2011. Perangkat tersebut terdiri dari Media Player, Sound System, Komputer Operator (Laptop), dan Proyektor beserta layarnya.

Di negeri tanpa gedung bioskop, rakyat Aceh tak kehilangan kreativitasnya untuk menciptakan system distribusi dan eksibisi baru, untuk menciptakan ruang publik yang menampung rakyatnya untuk perayaan sosial dan mengapresiasi budaya lisan dan audio visual yang sudah lama ada dalam tradisi mereka. Dan komedi adalah pilihan mereka, yang sudah lama didera konflik dan bencana.

Moda produksi dan distribusi ini juga diterapkan di Nias dengan serial Ono Sitefuyu. Di tempat yang juga nir-bioskop ini, VCD Ono Sitefuyu beredar 11 episode. Hingga Juli 2011, Ono Sitefuyu telah terjual hingga 220.000 kopi hanya di Pulau Nias saja.[10] Seperti disebutkan dalam buku Menjegal Film Indonesia:


Suksesnya Eumpang Breuh dan Ono Sitefuyu mencerminkan kekuatan komunitas dan akar yang kuat dalam pembuatan karya film. Patut diakui, bahwa faktor terisolasinya komunitas ini dari ekspos produk budaya pop global (dalam hal ini: Hollywood) semestinya cukup berperan dalam membangun minat masyarakat. Jika masyarakat kedua daerah itu sejak awal terekspos kepada Hollywood, apakah film-film daerah ini akan sesukses sekarang? Sulit diketahui jawabannya.

Dan tiba-tiba saya teringat dengan masyarakat menengah ke atas yang mengeluh karena tak bisa menonton Harry Potter dan Transformers di pertengahan tahun ini, bahkan ada yang berinisiatif nobar ke Singapura.







[1] Misalnya, silahkan periksa: http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-aceh-dicabut

[2] Silahkan cek: http://aceh.tribunnews.com/2011/11/28/apa-kabar-syariat-islam

[3] Kasus serupa, cek: http://beritasore.com/2010/12/06/nasib-syariat-islam-di-negeri-serambi-mekah/

[4] Untuk data bioskop, silahkan cek http://filmindonesia.or.id/movie/viewers

[5] http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailartikel/586/Eumpang-Breuh/

[6] http://acehdalamsejarah.blogspot.com/2011/08/eumpang-breuh-grup-lawak-kawakan-dan_15.html

[7] Contoh scenario bisa dibaca di: http://aamovi.wordpress.com/2009/04/01/naskah-tv-eng-ong/



[10] Kompas Online, Film Berbahasa Daerah Diminati, 4 Juli 2011, dan Harian Batak Pos, Masyarakat Batak di Jambi Sulit Dapatkan Film VCD “Anak Sasada”, 14 Juli 2011

Iman dan Faktor Dalaman

Iman dan Faktor Dalaman Februari 1, 2007

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky
Sumber: https://ummahonline.wordpress.com/2007/02/01/im/
Al-kisah, seorang sahabat nabi berjalan di tengah keramaian, seraya berteriak-teriak: “Saya munafik! Saya munafik! Saya munafik!.” Tentu saja tingkahnya itu membuat hairan sekelilingnya. Dan Umar ibn Khattab pun menghampirinya.
“Mengapa engkau berbuat seperti ini,” tanya Umar. “Duhai Umar, aku munafik. Umar, tolong aku,” seru sang sahabat. Maka ia pun bercerita betapa dirinya begitu merasakan iman yang kuat menancap di kalbunya saat bersama Rasulullah, tapi sepertinya seketika menurun drastik saat ia jauh dari Sang Rasul. Seolah segala semangat spiritual yang menggebu itu lenyap, seiring dengan keseharian yang dijalaninya.
“Wah, kalau begitu saya juga merasakan hal yang sama,” ujar Umar. “Bagaimana kalau kita tanya Rasulullah,” ajaknya. Dan mereka pun menghadap Nabi. Dan keluarlah sebuah hadits terkenal: Iman itu naik dan turun, al-Imaanu yazid wa yankus.
Mengapa iman boleh naik dan turun? Ada faktor dalaman, dan ada faktor luaran. Asy-Syahid Sayyid Quthb pernah menulis seputar surat Al-Falaq danan-Nas. Katanya, untuk melindungi diri dari hal-hal yang bersifat luaran, hanya ada satu ayat, Qul A’uzu bi Robbil-Falaq�. Sementara, untuk faktor dalaman, kita harus mengucapkan tiga ayat: Qul a’uzu bi Robbin-naas, Malikinnaas, Ilaahinnas. Ertinya, faktor yang ada di dalam jiwa manusia ini tiga kali lebih dasyat daripada yang di luar diri kita.
Apa saja ketiga hal itu? Izinkan saya memakai ilmu falsafah. Dalam khazanah falsafah Barat ada tiga tokoh yang disebut Masters of Prejudice. Mereka adalah Frederich Nietzsche, Karl Marx, dan Sigmund Freud. Secara sederhana, Nietzsche menyatakan bahawa tujuan hidup manusia adalah kehendak untuk berkuasa (Will to Power), Marx untuk ekonomi (Perut), dan Freud untuk Libido seksual (di bawah perut). Hemat saya, ketiganya, dengan segala keluasan dan kedalaman pemaknaannya, adalah faktor dalaman yang harus kita tekan. Ketiganya adalah adalah potensi dalam diri kita yang kemudian dibisikkan (min syarril waswasil khonnaas), oleh jenis jin (syaitan) dan manusia�seperti yang termaktub dalam surat an-Naas. Kita berlindung dengan Robb Manusia. Kita berlindung dengan al-Malik dari keinginan nafsu berkuasa sewenang-wenang, dan kita berlindung dengan satu-satunya Ilah Manusia dari kerakusan materialistik. Dan dengan cerdas, entah berawal dari mana, dalam budaya kita ketiga serangkai ini acap disebut 3 TA: harta, tahta, wanita.
Saat Ramadhan, kita diwajibkan menahan diri dari ketiga nafsu itu dengan berpuasa. Dan haji, puncak ritual ibadah dalam Islam, menyatakan tentang persamaan hak manusia nan universal dengan simbol baju ihram, dengan meniadakan perbezaan status yang terangkum dalam 3 TA itu selama prosesi berlangsung. Wallahua’lam.

Manusia Sempurna Menurut Iqbal

Manusia Sempurna Menurut Iqbal Februari 13, 2007

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky
sumber: https://ummahonline.wordpress.com/2007/02/13/manusia-sempurna-menurut-iqbal/
Terbit pertama kali di majalah Nebula.

Iqbal, banyak orang bilang, terpengaruh oleh Friedric Nietzsche. Bahkan, dia ingin membuat buku, The Book of a Lost Prophet, yang bergaya Nietzschean seperti Thus Spoke Zarathustra—tetapi kematian lekas memanggilnya. Banyak orang melihat bahawa “Insan Kamil” Iqbal terpengaruh oleh konsepUbermensche.
Walau bagaimanapun, sesungguhnya Iqbal lebih dari itu, dia menggali kembali konsep tentang Khalifah dalam ajaran Islam, khususnya Jami dan Rumi. Sedang dari Bergson, Iqbal terpengaruh dengan konsep “waktu”.
Khusus untuk Insan Kamil (Manusia Sempurna), konsep ini adalah salah satu fikiran inti Iqbal, di samping Khudi (Selfness, Ego). Memang, filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan semua kepercayaannya pada Manusia yang dilihatnya memegang kemungkinan tak terbatas, kemahuan untuk mengubah dunia, dan dirinya sendiri. Untuk Manusia Sempurna ini, Iqbal menulis:
Isilah telinga kami dengan musikmu
Bangkitlah dan bunyikan kecapi persaudaraan
Berilah kami kembali cawan anggur cinta
Berilah kami lagi hari-hari damai pada dunia
Kirimkan pesan perdamaian pada si gila perang
Insan kamil muncul dari suatu pencarian yang penuh semangat, suatu peneguhan kemuliaan yang berhasil. Untuk mencapai tataran ini, Ego harus melaluinya dengan tahapan-tahapan: (1) ketaatan kepada hukum, (2) penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk tertinggi kesedaran diri tentang peribadi, dan (3) kekhalifahan Ilahi.
Muhammad Iqbal, menerjemahkan Insan Kamil alias khalifatullah sebagai co-creator; dengan Allah sebagai Creator-nya. Seperti dalam salah satu sajaknya dalam Payam-i Masyriq (Pesan untuk Bangsa Timur), iaitu sebuah puisi sebagai jawapan dari West-östlicher Diwan dari Johann Wolfgang von Goethe.
Engkau telah ciptakan malam dan aku membuat lampu
Engkau telah ciptakan lempung dan aku membuat cangkir
—(Ekky Malaky)

Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir

Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir Mac 5, 2007

Posted by ummahonline in Catatan Kaki
trackback

Oleh: Ekky Malaky
Catatan: Dimuat pertama kali di majalah Nebula. Diterbitkanulang oleh Ummahonline.
https://ummahonline.wordpress.com/2007/03/05/allamah-sir-muhammad-iqbal-penyair-yang-pemikir/#more-550

Muhammad Iqbal adalah sosok besar dalam khazanah kebudayaan Islam. Pemikirannya dikemasnya dalam bentuk puisi, dan itu membuatnya abadi. Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877. Dia adalah seorang filsuf, pemikir, cendekiawan, ahli perundangan, reformis, politikus, dan yang terutama: penyair. Dia berjuang untuk kemahuan umat Islam dan menjadi “bapa spiritual” Pakistan.

Iqbal adalah saksi dari zamannya yang saat itu sedang dalam titik terendah kesuraman. Negerinya, sebagaimana negeri Islam lainnya saat itu, sedang dalam keadaan terjajah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Dan Iqbal, dengan kecerdasan intelektual, emosional,dan spiritual yang dianugerahi Tuhan, bergerak dan melesat, khususnya dalam hal penulisan dan pemikiran, bahkan tenaga dan waktu. Dia menulis dan terus menulis, dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggeris. Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.
Iqbal berjuang di All-India Muslim Leage di awal 1930an. Bersama Muhammad Ali Jinnah, dia merumuskan konsep Negara bagi Muslim India, dan tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 kerana sudah wafat pada 1938. Iqbal juga dijuluki Muffakir-e-Pakistan (Pemikir dari Pakistan) dan Shair-i-Mashriq(Penyair dari Timur), dan hari lahirnya dirayakan sebagai hari cuti umum dan dinamai �Iqbal Day� di Pakistan.
Iqbal lahir di Sialkot. Ayahnya, Shaikh Nur Muhammad adalah seorang penjahit yang taat beragama, dan mendalami tasawuf. Ibunya, Imam Bibi, pun seorang muslimah yang taat.
Iqbal menyelesaikan sekolah rendahnya di Sialkot. Bakatnya sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan mulai dirasakan gurunya, Syed Mir Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School pada 1892 dan melanjutkan ke jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) dan lulus ujian pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke Governtment College, Lahore dan mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899. Iqbal turut menerima pingat emas kerana menjadi satu-satunya calon yang sukses di bidang filsafat. Setelah itu, Iqbal mendalami bahasa Arab di Oriental College, Lahore, sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran Filsafat dan Sastera Inggris di Government College, Lahore, pada 1903.
Saat mendapatkan gelaran Master inilah, Iqbal bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk melanjutkan pendidikan di Eropah.
Pada 1905, Iqbal pergi ke Inggeris untuk belajar di Trinity College, Cambridge University, dan juga belajar ilmu hukum di Lincoln Inn. Dia meraih gelar Bachelor of Arts dari Cambridge University tahun 1907, dan meraih gelaran Ph.D. di bidang filsafat dari Fakulti Filsafat di Ludwig-Maximilians University di Munich di tahun yang sama. Gelaran doktoralnya ini diraihnya dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persian dengan bimbingan Prof Dr Friedrich Hommel.
Saat di Eropah inilah, Iqbal mulai menulis puisi dalam bahasa Parsi, kerana boleh dimengerti lebih banyak orang, seperti di Iran dan Afghanistan. Dan, saat di Inggeris, untuk pertama kalinya, Iqbal terjun ke politik. Tahun 1908, ia terpilih menjadi ahli jawatankuasa eksekutif The Muslim League cawangan Inggeris. Bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali, dia ikut membuat konsep perlembagaan Muslim League.
Iqbal memang sedang ingin berjuang untuk martabat bangsa dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada dalam kemunduran dan penjajahan Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu, salah satunya dengan pembaharuan pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa zaman saat itu. “Sesungguhnya sudah masanya bagi kita saat ini untuk memelihara asas-asas Islam,” serunya. Dengarlah semangatnya:
Bangunlah, hai Muslim, hembuskan hidup yang baru Pada segenap jiwa yang hidup Bangkitlah dan nyalakan semangat Orang yang bernyawa Bangkitlah dan letakkan kakimu di jalan lain
Pada 1908, Iqbal pulang, dan sejak itu dia meniti karier di bidang akademik, perundangan, dan, yang paling didalaminya: puisi. Dia bekerja sebagai penolong profesor di Government College, Lahore, yang kemudian dilepaskannya pada 1909 kerana niatnya untuk memberi tumpuan penuh sebagai peguam. Tapi, dalam perjalanannya, Iqbal tidak dapat memberikan fokus sebagai seorang peguam, tetapi membahagi waktunya untuk perundangan dan perkembangan intelektual serta spiritualnya.
Tahun 1911, Iqbal membacakan pusinya Shikvah (Keluhan) pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman Himayat-e-Islam, Lahore. Dan, pada 1913 puisinya Javab-e-Shikyah (Jawaban dari Keluhan) dibacakan di Mochi Gate, Lahore.
Asrar-i-Khudi (Rahsia Diri) terbit pada 1915. Inilah antologi puisi pertama Iqbal, dan ditulis dalam bahasa Parsi. Bukan sekadar puisi, tapi terkandung filsafat agama. Isinya berisi tentang pentingnya Ego. Bagi Iqbal, jawapan atas pertanyaan-pertanyaan esensial berkenaan dengan Ego sangatlah penting untuk persoalan moral, baik untuk individual ataupun masyarakat.
Rumuz-i-Bekhudi (Rahsia Kedirian), dibuat dalam bahasa Parsi tahun 1918. Tema utamanya berisi tentang masyarakat ideal, etika dan prinsip sosial dalam Islam, dan hubungan antara individu dan masyarakat. Di sini, Iqbal juga menjelaskan aspek-aspek penting dari agama lain. Iqbal melihat bahawa individu dan masyarakatnya sebenarnya saling mencerminkan satu dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa yang kuat sebelum bersatu dengan masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya,Ego belajar menerima batas-batasan kebebasannya dan makna cinta.
Pada 1919, dia terpilih sebagai Setiausaha Agung Anjuman Himayat-e-Islam. Dan tahun 1923, sebagai penyair terkenal, Iqbal menerima gelar bangsawan dari Kerajaan Hindia-Belanda kerana antologi puisi Asrar-i-Khudi.
Pada 1931, Mohammad Ali (Jauhar) wafat, dan Muhammad Ali Jinnah hijrah ke London untuk memimpin organisasi di sana, maka secara automatik Iqbal memimpin umatnya, setidaknya sampai kepulangan Ali Jinnah pada 1935. Tak berlama-lama, pada 1931 dan 1932, Iqbal mengadakan diskusi dalam bentuk Persidangan Meja Bulat di Inggeris untuk membincangkan nasib India.
Bahkan, pada 1930, Iqbal sebenarnya sudah memperkenalkan konsep sebuah negara Muslim yang terpisah dari India, yang menjadi asas kepada pembentukan Pakistan. Tepatnya, pada 29 Disember 1930, pada sebuah acara All-India Muslim League, di Allahabad. Hal serupa, khususnya soal nasionalisme Muslim di India, dipertegas lagi saat pertemuan tahunan pada 21 Mac 1932.
Selama di Inggeris itu, Iqbal merenung dan menulis. Javid Nama adalah salah satu karyanya yang terkenal yang dibuat tahun 1932, dan dianggap sebagaiDivine Comedia dari Timur. Iqbal terpengaruh Ibnu Arabi, Marri, dan Dante. Iqbal, dipandu oleh Rumi sang guru, berjalan menembus langit menuju Sang Maha Tinggi. Ada berbagai permasalahan hidup yang dibahas, dan dijawab. Pada karya ini, si “aku” melakukan perjalanan ke langit, melewati langit demi langit sampai ke tangga tertinggi. Pada masing-masing langit, Iqbal menempatkan sejumlah tokoh (Barat dan Timur) yang menpengaruhi pemikirannya, mereka “ditempatkan” sesuai pencapaian pemikirannya dalam ehwal manusia bereksistensi penuh.
Tokoh-tokoh itu tak sekadar dihadirkan dan ditempatkan, melainkan juga dikritik dan dipelajari tingkat “kesalahannya” dalam menempuh jalan kemanusiaan. Nietzsche, misalnya, sebagai manusia Barat yang hanya sampai pada “penolakan”, namun disayangkan tak sempat mengenyam “penemuan”. Nietzsche hanya menyatakan kematian Tuhan, tanpa merumuskan gagasan baru mengenai Tuhan. Terakhir, dia berbicara untuk kaum muda dan semacam membimbing generasi baru.
Semaklah puisinya:
Apakah kau sekadar debu?
Kencangkan simpul pribadimu
Pegang selalu wujudmu yang alit
Betapa keagungan memulas pribadi seseorang 

Dan menguji cahayanya di kehadiran suria
Lalu pahatkan kembali rangka lama kepunyaanmu
Dan bangunlah wujud yang baru Wujud yang bukan semu
Atau pribadimu cuma lingkaran asap
Dia juga bertemu dengan filsuf Perancis, Henri Louis Bergson dan diktator Itali, Benito Mussolini. Dan, kedatangannya ke Sepanyol membuatnya menulis tiga puisi indah, yang terkumpul dalam Bal-i-Jibril (Sayap Jibril) terbitan 1935.
The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah karya bukan-fiksinya yang ketiga setelah Ilm Al-Iqtisad (Ilmu Ekonomi, 1903) dan disertasinya. Buku kumpulan ceramahnya dari Madras, Hyderabad, dan Aligargh ini adalahMagnum Opus-nya di bidang filsafat dan menjadi pegangan bagi pemikir Islam hingga saat ini. Isinya adalah “Pengetahuan dan Pengalaman Keagamaan”, “Konsep Tuhan dan Makna Doa”, “Manusia-Ego”, “Pradestinasi dan Kehendak Bebas”, “Semangat Kebudayaan Muslim”, dan “Prinsip Gerakan dalam Islam (Ijtihad)”. Iqbal meracik pengetahuan Islam tradisional dengan filsafat Barat dengan gaya dan fikirannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh bangsa Barat.
Sekembalinya dari perjalanan ke Afghanistan tahun 1933, kesihatan Iqbal menurun, namun pemikiran keagamaan dan politiknya makin cemerlang, dan popularitinya berada dalam puncaknya. Salah satunya adalah idea mendirikan Idara Dar-ul-Islam, sebuah institusi tempat pendidikan khusus Ilmu Sosial Mutakhir dan Islam Klasik. Tampaknya, Iqbal ingin sekali menjadi jambatan bagi filsafat dan pengetahuan popular dengan ajaran Islam.
Iqbal berhenti dari pengamal perundangan pada tahun 1934, kerana kesihatannya menurun. Dan, akhirnya Iqbal wafat pada 21 April 1938 di Lahore�yang kemudian menjadi bahagian dari Pakistan. Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak:
Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, Apa yang ia katakan Siapa yang ia ajak bicara Dan darimana ia datang.
Namanya diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi. Kerana, Iqbal begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan. Dan, yang patut dicatat, Iqbal anti dengan konsep “Seni untuk seni”.
Rabindranath Tagore, setelah mendengar kematiannya, berkata bahawa kematian Iqbal menimbulkan keekosongan dalam kesusasteraan, yang seperti luka parah dan memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. “India yang tempatnya di dunia begitu sempit, boleh menanggung derita akibat hilangnya seorang penyair yang sajak-sajaknya mengandung imbauan universal”, ujarnya.
Seorang kritikus sastera ternama, A.K. Brohi mengulas: “Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor bermakna kejayaan dan martabat bagi mahkota Inggeris, maka Iqbal, kalau perlu, menjadi penghias dari halaman puitis setiap negeri.”
Sementara ideolog Ali Shari’ati menyatakan bahawa: “Nasihat terbesar Iqbal kepada kemanusiaan adalah: Mempunyai hati seperti Isa, fikiran seperti Sokrates, dan tangan seperti tangan Caesar, tapi semuanya berada dalam satu diri manusia, dalam satu makhluk kemanusiaan, berdasarkan satu semangat, untuk mencapai tujuan. Itulah, menjadi seperti Iqbal.”