Sunday, 9 June 2013

Mitos-Mitos Seputar Film Indonesia


Industri film Indonesia senantiasa diliputi oleh aura misterius, misalnya, bagaimana membaca pasar alias mengkaji selera penonton. Tidak ada rumus bagaimana membuat film yang laris sekaligus bermutu. Misalnya, di awal 2012 The Raid menjadi film terlaris, dan kemudian perfilman Indonesia lesu sampai akhirnya 5cm dan Habibie & Ainun kembali membuat banyak penonton kembali ke bioskop. Sekarang,  keadaan kembali melesu lagi. Semua hal ini terkait dengan beredarnya mitos-mitos seputar sinema Indonesia yang menjadi pertimbangan penonton untuk memutuskan pergi atau tidak ke gedung bioskop.
Umumnya, mitos ini adalah serangkaian stereotipe atau generalisasi atas sebuah, yang diawali dengan kata “semua”. Padahal, generalisasi  alias gebyah uyah, kalau tidak hati-hati dan belum terbukti validitasnya, bisa menjadi boomerang. Karl Popper, dalam konteks ini menerapkan pembuktian negatif alias falsifikasi. Untuk membuktikan ”semua bebek adalah hitam”, misalnya, kita tidak perlu verifikasi satu persatu, cukup cari satu bebek yang tidak hitam, maka gugurlah pernyataan itu.   
Mitos adalah gejala dari prasangka dan praduga karena belajar dari pengalaman masa lalu atau referensi dan literatur yang menuntun kita berspekulasi akan mengalami hal yang sama, dan karena itu menjadi halangan dan hambatan bagi kita untuk berpikir jernih atau mengalami atau membuktikan  sendiri hal-hal yang dimitoskan.
Berikut mitos-mitos itu:
1.     1) Semua Film Indonesia Jelek
Mitos ini mungkin sudah mulai luntur, tapi masih ada. Cukup banyak penonton film di Indonesia malas untuk menonton film nasional karena, di antaranya,  trauma dengan film Indonesia terakhir yang ditontonnya. Atau, merasa tertipu dengan ulasan wartawan dan kritikus film di media, yang ternyata tidak sesuai harapan dan seleranya. Masalahnya, para penonton sejenis ini tidak lagi mengecek atau meng-update pengetahuannya, sehingga beberapa di antara mereka sudah cukup lama tidak mengikuti berita perkembangan film Indonesia.
Kenyataannya, cukup banyak juga film Indonesia yang bermutu dengan beragam variasi pilihan selera.  Sebut saja, Eliana, Eliana, Jermal, Opera Jawa, Impian Kemarau, dan film-film Edwin.  Untuk film yang lebih  popular ada, di antaranya,  Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Ketika, Catatan Akhir Sekolah, Arisan!, Catatan Harian Si Boy, dan Get Married . Semua judul di atas adalah film setelah 1998. Untuk periode sebelumnya ,mungkin bisa cek film-film karya Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjuman Djaya, Arifin Noer. Untuk yang popular bisa cek film karya Chairul Umam yang skenarionya ditulis Asrul Sani dan Njak Abbas Akkub.  Film semacam Badut-Badut Kota, dan  Raja Jin Penunggu Pintu Kereta juga patut disebut sebagai film popular yang sarat idealisme.

Permasalahannya adalah aksesibilitas. Untuk film-film di atas mungkin harus ke Sinematek Indonesia atau menunggu institusi semacam Kineforum untuk memutarnya, biasanya bulan Maret dalam rangka peringatan hari Film Nasional. Tapi untuk film-film terkini yang sedang dan akan diputar di bioskop (sebut saja Lovely Man¸Lewat Djam Malam, dan Sang Penari) , tentu tak susah untuk mengecek ulasannya di media massa, komunitas online, dan teman sebaya

2.      2) Semua Film Horor Indonesia Jelek
Karena banyaknya film-film horor yang dianggap murahan semacam pocong, kuntilanak, dan suster ngesot, kemudian diambil kesimpulan bahwa semua film horor—termasuk yang belum dan akan dibuat—jelek dan tak pantas ditonton.
Kenyataan, cukup banyak film bergenre horor dan thriller yang bagus. Sebut saja Jelangkung, Hantu, Rumah Dara, dan Keramat. Karena itu, kemudian ada pernyataan: salahkan filmmakernya, jangan salahkan genrenya.

Horor bukanlah genre picisan. Banyak sutradara besar menggarap film horor. Di luar negeri,  misalnya, ada Martin (Scorsese Cape Fear, 1991; Shutter Island, 2010) dan Francis Ford Coppola (Bram Stoker’s Dracula, 1992), dan Werner Herzog (Nosferatu, 1979). Bahkan sutradara dari gerakan Ekspresionisme Jerman banyak mengangkat tema horror, di samping tema fantasi dan legenda, seperti Cabinet of Dr. Caligari dan Nosferatu.  Di Indonesia, sebagai contoh, ada Rudi Soedjarwo  (Pocong 2) dan Hanung Bramantyo (Legenda Sundel Bolong). Juga Riri Riza yang film pendeknya, Titisan Naya,  ada di omnibus Takut.
Memang, ada film horor yang tujuan satu-satunya adalah menakut-nakuti penonton yang hobi ditakut-takuti. Tapi banyak kajian dan kajian yang mendalam untuk memaknai film itu dalam kaitannya dengan kritik dan komentar sosial (bahkan politik) pembuatnya terhadap berbagai isu-isu yang terjadi di masyarakat.

3.      3) Film Horor Picisan Paling Laku di Pasaran, Film Idealis Tidak Laku
Pernyataan ini sering ditanyakan kepada saya oleh wartawan atau mahasiswa yang sedang membuat skripsi. Tentu saja untuk membuktikannya, harus ada data-data. Untunglah kita sudah punya www.filmindonesia.or.id yang melaporkan jumlah penonton per pekan, bulan, bahkan per dekade. Dari situ bisa dilihat bahwa, kecuali hanya beberapa judul, film-film horor yang dianggap murahan itu  perolehan penontonnya tidak bisa beranjak dari angka 300-400 ribu.  Bahkan, walau pun mereka memasukkan unsur seks lebih dominan dari unsur horor, atau mengimpor  pemain film porno profesional mancanegara.

Uniknya, film-film terobosan (breakthrough), dalam artian menjadi peretas di genre/ tema tertentu atau menghidupkan lagi genre/tema yang sudah lama menghilang dari arena industri Indonesia malah mendapatkan sambutan. Kita bisa lihat film seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih (film bertema Islami),  Petualangan Sherina (musikal, anak-anak), Laskar Pelangi (anak-anak, drama non-Jakarta, pendidikan),  Get Married (komedi romantis), dan Garuda Di Dadaku (anak-anak, olahraga) di antara film terlaris 2007-2013, dan tak ada satu pun film horor di sana.  Tahun lalu Habibie & Ainun (film biografi), 5cm (persahabatan, naik gunung), dan The Raid (film laga)  adalah contoh yang meraih lebih dari 2 juta penonton, di susul Negeri 5 Menara, Perahu Kertas, dan Soegija yang melewati lebih dari 500 ribu penonton.  Di bawahnya, baru ada film horor semacam Nenek Gayung, Rumah Kentang, dan Rumah Bekas Kuburan.
Sayangnya, di Indonesia, hingga saat ini, info yang diterima masih perolehan jumlah penonton, bukan jumlah pendapatan. Namun, setidaknya kita punya pegangan data yang bisa dijadikan rujukan, diolah dan dianalisa

4.      4) Film Idealis Pasti Film Susah, dan Bukan Film Komersil
Ini adalah sambungan dari mitos sebelumnya.  Selalu ada dikotomi antara film seni, atau film festival, dengan film popular atau komersial. Padahal tidak sepenuhnya benar.
Festival film ada banyak ragamnya, ada yang berdasarkan genre (misalnya Puchon Fantastic International Film Festival, Sitges, festival khusus animasi), topik (Human Right Film Festival, Enviromental International Film Festival),  segmen pasar (festival film khusus anak-anak), format (festival film pendek, festival film documenter) dan sebagainya.  Film-film semacam  Kala, Rumah Dara, Fiksi. hingga Belenggu adalah contoh film-film horror dan thriller yang diputar di berbagai festival kelas dunia. Dan tak jarang, festival film kelas A, seperti Toronto dan Sundance, juga mempersilahkan film seperti The Raid untuk berlaga.  Dan jangan lupa festival seperti Rotterdam juga mempersilahkan film seperti Kado Hari Jadi dan Pintu Terlarang diputar.

Dan, seperti dibahas di atas, justru dikotomi film seni vs film komersial (atau, film idealis yang laku? Atau film seni yang komersil?) semakin tipis. Makin banyak film dengan pendekatan auteurship yang berbeda dengan arusutama laku di pasaran.  Laskar Pelangi dan The Raid adalah contohnya.

No comments:

Post a Comment