Industri film Indonesia senantiasa diliputi oleh aura
misterius, misalnya, bagaimana membaca pasar alias mengkaji selera penonton.
Tidak ada rumus bagaimana membuat film yang laris sekaligus bermutu. Misalnya,
di awal 2012 The Raid menjadi film
terlaris, dan kemudian perfilman Indonesia lesu sampai akhirnya 5cm dan Habibie & Ainun kembali membuat banyak penonton kembali ke
bioskop. Sekarang, keadaan kembali
melesu lagi. Semua hal ini terkait dengan beredarnya mitos-mitos seputar sinema
Indonesia yang menjadi pertimbangan penonton untuk memutuskan pergi atau tidak
ke gedung bioskop.
Umumnya, mitos ini adalah
serangkaian stereotipe atau generalisasi atas sebuah, yang diawali dengan kata
“semua”. Padahal, generalisasi alias
gebyah uyah, kalau tidak hati-hati dan belum terbukti validitasnya, bisa
menjadi boomerang. Karl Popper, dalam konteks ini menerapkan pembuktian negatif
alias falsifikasi. Untuk membuktikan ”semua bebek adalah hitam”, misalnya, kita
tidak perlu verifikasi satu persatu, cukup cari satu bebek yang tidak hitam,
maka gugurlah pernyataan itu.
Mitos adalah gejala dari
prasangka dan praduga karena belajar dari pengalaman masa lalu atau referensi
dan literatur yang menuntun kita berspekulasi akan mengalami hal yang sama, dan
karena itu menjadi halangan dan hambatan bagi kita untuk berpikir jernih atau
mengalami atau membuktikan sendiri
hal-hal yang dimitoskan.
Berikut mitos-mitos itu:
1. 1) Semua Film Indonesia Jelek
Mitos ini
mungkin sudah mulai luntur, tapi masih ada. Cukup banyak penonton film di
Indonesia malas untuk menonton film nasional karena, di antaranya, trauma dengan film Indonesia terakhir yang
ditontonnya. Atau, merasa tertipu dengan ulasan wartawan dan kritikus film di
media, yang ternyata tidak sesuai harapan dan seleranya. Masalahnya, para penonton
sejenis ini tidak lagi mengecek atau meng-update pengetahuannya, sehingga
beberapa di antara mereka sudah cukup lama tidak mengikuti berita perkembangan
film Indonesia.
Kenyataannya,
cukup banyak juga film Indonesia yang bermutu dengan beragam variasi pilihan
selera. Sebut saja, Eliana, Eliana,
Jermal, Opera Jawa, Impian Kemarau, dan film-film Edwin. Untuk film yang lebih popular ada, di antaranya, Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Ketika,
Catatan Akhir Sekolah, Arisan!, Catatan Harian Si Boy, dan Get Married .
Semua judul di atas adalah film setelah 1998. Untuk periode sebelumnya ,mungkin
bisa cek film-film karya Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjuman Djaya, Arifin Noer.
Untuk yang popular bisa cek film karya Chairul Umam yang skenarionya ditulis
Asrul Sani dan Njak Abbas Akkub. Film
semacam Badut-Badut Kota, dan Raja
Jin Penunggu Pintu Kereta juga patut disebut sebagai film popular yang
sarat idealisme.
Permasalahannya
adalah aksesibilitas. Untuk film-film di atas mungkin harus ke Sinematek
Indonesia atau menunggu institusi semacam Kineforum untuk memutarnya, biasanya
bulan Maret dalam rangka peringatan hari Film Nasional. Tapi untuk film-film terkini
yang sedang dan akan diputar di bioskop (sebut saja Lovely Man¸Lewat
Djam Malam, dan Sang Penari) , tentu tak susah untuk mengecek
ulasannya di media massa, komunitas online, dan teman sebaya
2. 2) Semua
Film Horor Indonesia Jelek
Karena banyaknya
film-film horor yang dianggap murahan semacam pocong, kuntilanak, dan suster
ngesot, kemudian diambil kesimpulan bahwa semua film horor—termasuk yang belum
dan akan dibuat—jelek dan tak pantas ditonton.
Kenyataan, cukup
banyak film bergenre horor dan thriller yang bagus. Sebut saja Jelangkung, Hantu,
Rumah Dara, dan Keramat. Karena itu, kemudian ada pernyataan:
salahkan filmmakernya, jangan salahkan genrenya.
Horor bukanlah
genre picisan. Banyak sutradara besar menggarap film horor. Di luar negeri, misalnya, ada Martin (Scorsese Cape Fear, 1991; Shutter Island, 2010) dan Francis Ford Coppola (Bram Stoker’s Dracula, 1992), dan Werner
Herzog (Nosferatu, 1979). Bahkan sutradara dari gerakan Ekspresionisme
Jerman banyak mengangkat tema horror, di samping tema fantasi dan legenda,
seperti Cabinet of Dr. Caligari dan Nosferatu. Di Indonesia, sebagai contoh, ada Rudi
Soedjarwo (Pocong 2) dan Hanung
Bramantyo (Legenda Sundel Bolong). Juga Riri Riza yang film pendeknya, Titisan
Naya, ada di omnibus Takut.
Memang, ada film
horor yang tujuan satu-satunya adalah menakut-nakuti penonton yang hobi
ditakut-takuti. Tapi banyak kajian dan kajian yang mendalam untuk memaknai film
itu dalam kaitannya dengan kritik dan komentar sosial (bahkan politik) pembuatnya
terhadap berbagai isu-isu yang terjadi di masyarakat.
3. 3) Film
Horor Picisan Paling Laku di Pasaran, Film Idealis Tidak Laku
Pernyataan ini
sering ditanyakan kepada
saya oleh wartawan atau mahasiswa yang sedang membuat skripsi. Tentu saja untuk
membuktikannya, harus ada data-data. Untunglah kita sudah punya www.filmindonesia.or.id yang melaporkan jumlah penonton per pekan, bulan, bahkan per
dekade. Dari situ bisa dilihat bahwa, kecuali hanya beberapa judul, film-film
horor yang dianggap murahan itu
perolehan penontonnya tidak bisa beranjak dari angka 300-400 ribu. Bahkan, walau pun mereka memasukkan unsur seks
lebih dominan dari unsur horor, atau mengimpor
pemain film porno profesional mancanegara.
Uniknya, film-film terobosan (breakthrough),
dalam artian menjadi peretas di genre/ tema tertentu atau menghidupkan lagi
genre/tema yang sudah lama menghilang dari arena industri Indonesia malah
mendapatkan sambutan. Kita bisa lihat film seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika
Cinta Bertasbih (film bertema Islami),
Petualangan Sherina (musikal, anak-anak), Laskar Pelangi (anak-anak, drama non-Jakarta, pendidikan),
Get Married (komedi romantis), dan Garuda Di
Dadaku (anak-anak, olahraga) di antara film terlaris 2007-2013, dan tak ada
satu pun film horor di sana. Tahun lalu Habibie
& Ainun (film biografi), 5cm (persahabatan, naik gunung), dan The
Raid (film laga) adalah contoh yang
meraih lebih dari 2 juta penonton, di susul Negeri 5 Menara, Perahu
Kertas, dan Soegija yang melewati lebih dari 500 ribu penonton. Di bawahnya, baru ada film horor semacam Nenek
Gayung, Rumah Kentang, dan Rumah Bekas Kuburan.
Sayangnya, di Indonesia, hingga saat
ini, info yang diterima masih perolehan jumlah penonton, bukan jumlah
pendapatan. Namun, setidaknya kita punya pegangan data yang bisa dijadikan
rujukan, diolah dan dianalisa
4.
4) Film
Idealis Pasti Film Susah, dan Bukan Film Komersil
Ini adalah sambungan dari mitos
sebelumnya. Selalu ada dikotomi antara
film seni, atau film festival, dengan film popular atau komersial. Padahal tidak
sepenuhnya benar.
Festival film ada banyak ragamnya,
ada yang berdasarkan genre (misalnya Puchon Fantastic International Film
Festival, Sitges, festival khusus animasi), topik (Human Right Film Festival,
Enviromental International Film Festival), segmen pasar (festival film khusus anak-anak),
format (festival film pendek, festival film documenter) dan sebagainya. Film-film semacam Kala, Rumah Dara, Fiksi. hingga Belenggu
adalah contoh film-film horror dan thriller yang diputar di berbagai festival kelas
dunia. Dan tak jarang, festival film kelas A, seperti Toronto dan Sundance,
juga mempersilahkan film seperti The Raid untuk berlaga. Dan jangan lupa festival seperti Rotterdam
juga mempersilahkan film seperti Kado Hari Jadi dan Pintu Terlarang
diputar.
Dan, seperti dibahas di atas, justru
dikotomi film seni vs film komersial (atau, film idealis yang laku? Atau film
seni yang komersil?) semakin tipis. Makin banyak film dengan pendekatan
auteurship yang berbeda dengan arusutama laku di pasaran. Laskar Pelangi dan The Raid adalah
contohnya.
No comments:
Post a Comment