Saya kira, perpolitikan kita belum sampai dalam tahap perang ideologis, perang antara yang Haq dengan yang Batil. yang ada hanyalah bagaimana kesepakatan atau kontrak politik berhasil diteken dan disetujui pihak-pihak terkait.
Tapi mengapa, isu -isu seputar agama begitu gencar. seolah-olah yang bela Jokowi adalah anti Islam, bahkan sekarang dibilang komunis karena penggunaan istilah "revolusi mental". Seolah-olah orang-orang yang futur (jatuh di jalan dakwah) dan masih bisa direkrut, diajak untuk "kembali ke jalan yang benar". Seolah-olah ini ghazwul fikrie (perang pemikiran).
Ada dua teman saya yang sudah lama tidak kontak-kontakan, meyakin-yakinkan saya agar memilih Prabowo dengan pernyataan, misalnya: "apakah agama menjadi pertimbangan dalam memilih?".
Lho, waktu PKS atau kubu manapun di Prabowo, mesra dengan lawan politiknya, atau mencoba untuk membuat kesepakatan politik, apakah isu-isu itu akan keluar?
Kalau misalnya PKS, atau PAN, bergabung ke Jokowi, apakah isu-isu agama ke Jokowi akan dikeluarkan? Tentu saja tidak. Dan ada kemungkinan justru Prabowo yang diserang karena banyak hal.
Misalnya, bagaimana PKS pernah mesra dengan Jokowi waktu pilkada Walikota Solo. Atau saat Amien Rais ingin menjodohkan Hatta Rajasa dengan Jokowi tahun ini.
Kalau ini adalaah isu ideologis, isu teologis, dan bahkan yuridis ("haram hukumnya memilih Jokowi", menurut Forum Ulama Umat Islam, misanya), lho kenapa PKS pernah bermesraan dengan Jokowi? Mengapa Amien Rais pernah ada ide buat memasangkan Hatta sebagai cawapres Jokowi?
Sebelumnya, AS Laksana menyinggung hal ini dalam tulisannya: Surat Terbuka untuk Pak Amien Rais.
Saya setuju dengan tulisannya. Buat apa kita bilang "perang badar"? Bukankah lawan politiknya adalah saudara sebangsa? Kenapa harus provokatif?
Jadi, sudahlah, tidak usahlah disebut anti-Islam, tempat berkumpulnya Syiah-JIL-LGBT, atau bahkan komunis. Karena itu justru akan memperlihatkan kualitas akhlak yang sebenarnya.
Berita:
No comments:
Post a Comment