Saturday, 11 September 2021

Deddy Mizwar Bicara Soal Kritik Film (versi panjang kata pengantar buku "A to Z about Indonesian Film", 2006)


Deddy Mizwar Bicara Soal Kritik Film

Hasil wawancara dengan Deddy Mizwar.
Versi pendeknya menjadi kata pengantar di buku A to Z about Indonesian FIlm (Dar!Mizan, 2006)
(25 Maret 2006)

Pada awalnya adalah undangan untuk pemberitaan soal film. Lantas muncul resensi, dan ada yang kritis soal film. Pada awalnya, semua orang diundang untuk menulis sebuah film. Sekarang pun masih ada yang dikasih ongkos, baru menulis film yang dimaksud. Kalau di luar negeri, sudah tidak ada lagi undangan-undangan semacam itu.

Kritikus film harus punya daya kritis. Tugasnya menjembatani sang pembuat film dengan penonton yang awam sekali pun. Kalau bisa, jadi sebuah apresiator, bukan hanya bagi penggemar film, tapi juga bagi awam. Tujuannya agar apresiasi soal film di masyarakat meningkat.

Ini tugas yang sulit. Karena banyak kritikus film yang terjebak pada masalah teknis yang awam tidak mengerti. Ini kelemahan kritikus, menulis dengan bahasa njelimet.

Selanjutnya, selain melihat film, kritikus harus mengetahui tentang cara berpikir si pembuat. Sehingga apa yang dia tulis lebih obyektif. Ada sisi pandangan yang lain. Karena, mungkin saja kita salah menangkap artikulasi bahasa gambar film. Tidak harus kenal pembuat filmnya, tapi minimal, tahu impian, pandangan, dan obsesinya.

Kenal sang pembuatnya boleh, tapi harus tetap tajam menulis. Dekat tapi kritik jalan terus. Kenal para sineas untuk tahu cara berpikir si pembuat. Untuk mengetahui, misalnya, pola ungkap apa yang belum dikuasai, penguasaan wawasan sosiologisnya, atau cara berpikirnya yang salah.

Terkadang kita melihat kritikus film jauh lebih pandai dari pembuat film itu sendiri. Kenapa? Karena lebih banbyak film yang ditonton dari pembuat film, jadi referensinya lebih tinggi. Jadi, pembuat film selalu tertinggal. Dan memang harus demikian. Kritikus film harus selangkah lebih maju wawasannya dari pembuat film. Seharusnya kritikus harus lebih pintar, dia tentu saja tidak harus bisa tidak bikin film, tapi harus selangkah di depan sang pembuat film. Karena pembuat film dan kritikus film adalah dua profesi yang jauh berbeda. Keduanya mempunyai fungsi dan tujuan masing-masing. Kritikus film memang harus tahu tentang wawasan teknis pembuatan film, tapi tak harus bisa ketrampilan teknisnya.

Kalau pembuat film tahu fungsi kritik film, no problem, menjadi tempat belajar. Kalau tidak sadar, ia akan marah dan mutung.

Yang penting adalah fungsinya sebagai jembatan apresiasi. Ini fungsi yang urgen saat ini, di saat industri film sudah tumbuh lagi di era ini.



Jaman dulu, bukan kritik yang terjadi, tapi pembantaian. Karena yang tidak perlu ditulis, ditulis juga. Akibatnya, penonton menganggap semua film Indonesia jelek, bahkan yang bagus pun dibilang jelek. Jadi, tidak ada yang menonton. Memang, ada yang jelek, tapi tidak semuanya jelek.

Semestinya pembuat film berterima kasih pada kritikus film yang (seharusnya) pengetahuannya tentang film lebih tinggi daripada dia. Bukan soal teknis tentu, tapi wawasannya. Dan kritikus film mendorong industri film secara kualitatif, sekaligus menjembatani, mentransformasi film kepada orang awam. Sehingga muncul apresiasi yang semakin meningkat di masyarakat. Maka dari itu, dibutuhkan banyak kritikus film.

Kritikus film adalah bagian dari industri film itu sendiri. Bukan kelompok yang ekskusif. Kalau eksklusif, maka jadi musuh pembuat film.

Kalau kita mengkritik, dan pembuat film marah, tidak perlu khawatir, tidak ada masalah. Masalahnya, kalau filmmaker memusuhi kritikus film, dan kritik film tidak tumbuh, maka industri perfilman akan hancur. Karena orang awam akan berpikir bahwa orang film Cuma bisa berantem, bukan mengkaji kualitas.

Kritikus film punya banyak tempat berlatih. Tidak tergantung pada film di negerinya, dia bisa belajar dari film manca negera. Industri bisa dinamis tumbuhnya, karena banyaknya kritikus yang lahir. Dan kritikus film tidak bisa dihambat, karena film masuk dari mana dan apa saja.



Kritikus bisa membunuh industri film jika:

  • Gaya komunikasi kritikus film. Karena tulisannya dimuat di media masaa. Dia akan membunuh dunia film, kalau tidak mengenal komunikannya. Karena kritikus menulis tidak untuk orang film saja, tapi untuk orang awam.
  • Sikap orang film itu sendiri. Para pembuat film bisa bunuh diri jika tidak menanggapi kritikus dengan kritis. Karena kritikus adalah tangga untuk pencapaian yang lebih baik untuk masa akan datang. Bukan siapa sang kritikusnya, tapi apa isi tulisannya. Walau pun harus diakui, tidak semua kritikus baik wawasannya.
  • Wawasan kritikusnya harus selangkah lebih depan dari pembuat film. Setiap orang bisa mengkritik, tanpa wawasan. Siapa pun punya hak untuk mengkritisi. Tapi tidak semua bisa menulis kritik film. Kualitas kritikusnya juga menentukan bisa membunuh atau tidak. Kritikus harus punya imajinasi tinggi dalam mengapresiasi film. Misalnya, ada pemikiran: “seandainya dibeginikan…”, atau “kenapa terjebak hal ini, padahal kalau itu jauh lebih menarik”.

Kritikus film bisa berlatih kapan dan dimana saja. Kritikus bisa tumbuh subur karena fenomena open sky, di mailing list dan blog pun jadi.

Kalau betul, kritikus punya komitmen sebagai kritikus yang baik, dia bisa menjadi bagian positif dari industri film. Komitmen itu adalah kesadaran. Kesadaran kritikus yang benar, adalah kesadaran untuk tidak menghancurkan, atau semangat mencela. Tapi semangat mengkritisi.

Jadi, fungsi kritikus sangat penting dalam pertumbuhan industri film, selama memiliki kesadaran mengkritisi, bukan mencela.

Kritikus film akan dalam saat melihat sebuah film. Intinya adalah menangkap sebuah gagasan. Bukan bagaimana jalan cerita. Tapi substansi apa yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Tidak harus wawancara sang pembuat film, tapi mampu menangkap apa yang dia lihat.

Karena dalam mengapresiasi, akan ada tiga kemungkinan:

  1. Kritikus menangkap pesan dengan benar dan baik
  2. Kritikus kurang wawasan, dan untuk maju selangkah ,mesti banyak film yg harus dilihat, dan wawasan yang harus didalami.
  3. Sutradara kurang bisa mengungkapkan apa yg dipikirkan.

Kritikus harus punya sikap. Kalau ada yg berharga untuk ditulis, ya ditulis. Kalau tidak perlu ditulis, untuk apa? Kalau filmnya jelek, tidak perlu ditulis. Ngapain ditulis? Karena yang dikritisi adalah sesuatu yang baik. Sesuatu yang kau tulis harus sesuatu yang tberharga. Kalau filmnya tidak ditulis, otomatif filmnya jelek.

Mengenai buku ini, yang terpenting bahasanya tidak njelimet. Itu penting. Karena fungsi “jembatan apresiasi” tadi, tentu dengan gaya kritis. Buku ini tidak saja mendorong orang menonton film, tapi juga mendorong para pembuat film memahami komunikannya. Karena Ekky adalah wakil dari komunikannya.

Apalagi di Indonesia, karena berapa banyak orang yang secara sosio-ekonomi–dalam pengertian pendidikan, bukan dari financial–yang mau menonton film Indonesia? Dengan tulisan-tulisan Ekky, kita harapkan mereka mau menoleh film Indonesia dan menjadi bagian dari dialog antara film dengan diri mereka sendiri.

Semakin produktif kritikus film menulis, makin banyak kritikus, makin banyak apresiasi di kalangan awam, terutama di kalangan sosio-ekonomi dan pendidikan yang baik, untuk melihat film Indonesia.

Yang terpenting adalah: bagaimana caranya agar orang film tahu kelemahannya tapi tidak marah. Dan masyarakat mengerti oleh tulisanmu dan membuat apresiasinya lebih baik. Maka, kalau sudah demikian, hidupmu akan berarti, karena kau sudah menjadi sebaik-baiknya manusia, karena bermanfaat bagi sesama.

Yang Ekky ini lakukan penting. dan dibukukannya tulisan-tulisan ini malah lebih bagus. Semoga bisa meningkatkan apresiasi, apalagi bagi orang awam. (eimanjaya@yahoo.com)


Hasil wawancara yang menjadi kata pengantar untuk buku A to Z about Indonesian Film karya Ekky Imanjaya yang diterbitkan Dar!Mizan pada 30 Maret mendatang.

(25 Maret 2006)

No comments:

Post a Comment