Thursday, 25 November 2021

Indorock sebagai Subkultur Budaya Indisch

Dalam rangka peluncuran buku Membaca Indorock, Mendengarkan Nostalgia ( Donny Anggoro, 2021) dan 10 tahun wafatnya Andy Tielman (10 November 2011-2021), saya merilis ulang tulisan ini. Ini kata pengantar di bukunya Donny.


Indorock sebagai Subkultur Budaya Indisch

Oleh: Ekky Imanjaya (sutradara dokumenter The Tielmans)

 

Berbicara soal indorock, mengingatkan saya pada era 2007-2008, saat saya studi master di Universiteit van Amsterdam.  Saya  termasuk yang beruntung, dalam waktu setahun itu, saya  berhasil mengeksplorasi genre musik Indorock, dan budaya Indo/Indisch secara umum. Saat itu, saat itu  majalah Rolling Stone membuat artikel tentang Andy Tielman dan The Tielman Brothers, dan  saya yang berada di Belanda merasa wajib untuk  mengejar Andy Tielman, satu dari dua orang yang tersisa dari band legendaris The Tielman Brothers.

Tapi justru kejadian tak terduga yang mengantarkan saya pada pertemuan pertama itu. Di    Bintang Theater di Pasar Malam Besar, 31 Mei  2008, Den Haag,  saya memisahkan diri dengan rombongan teman-teman, karena tertarik dengan poster Tjendol Sunrise. Ini adalah band kekinian saat itu, kumpulan anak muda yang punya semangat menghidupkan kembali Indorock. Mereka baru merilis album (sayangnya rilisnya hanya berselang beberapa hari sebelumnya), berkolaborasi dengan Andy Tielman.

Saya hanya kebagian menonton beberapa lagu terakhir. Tapi setelah itu saya tetap bertahan. Karena setelah itu ada pentas yang saya tunggu-tunggu, yang tak sengaja saya lihat posternya saat menuju ke panggung itu: Andy Tielman!

Saya pun menonton hingga habis, dari pembukaan, si mungil Lorraine Jane memberikan bunga kepada ayahnya, hingga lagu penutup Rasa Sajange/Glory Halelujah yang membuat seluruh ruangan bernyanyi Bersama. Semuanya saya abadikan dalam tulisan yang dimuat di Koran Tempo. Dan dengan pede saya tembak beliau: saya ingin membuat film dokumenter! Dan saya pun mengikutinya hingga ke kota kecil Bernama Steinweijk.

Seperti saya sebut di atas, Indorock adalah bagian dari budaya besar, budayaIndisch/Indo. Indorock di sini adalah aliran rock kaum Indisch/Indo. Ada tiga kategori untuk menyebut “indisch”. Pertama, orang Belanda murni atau ‘totok’ yang lahir di tanah jajahannya yaitu Indonesia. Kedua, adalah campuran antara Indonesia dengan Belanda seperti Alex –Eddie Van Halen bersaudara. Ketiga, adalah orang-orang murni Indonesia tapi bekerja untuk KNIL atau untuk pemerintah Belanda pada umumnya, seperti keluarga Tielman. Nah, ketiganya disebut “indisch” yang di Indonesia mereka juga dianggap sebagai “pengkhianat”, sedangkan  di Belanda mereka dianggap warga negara kelas dua—tak heran banyak yang hijrah, misalnya ke Los Angeles dan Australia.

Ketika mereka terpaksa harus berimigrasi secara besar-besaran pada 1957,  saat Presiden Sukarno memberi ultimatum kepada “warga indisch” ini untuk memilih kewarganegaraan,  maka di Belanda pun mereka mempunyai semacam sub kulturnya sendiri. Mereka ingin diakui sederajat. Karena itulah, menurut pentolan Tjendol Sunrise, Andy Tielman sangat penting karena bukan hanya pahlawan musik, tapi juga pahlawan kaum Indo.

Kaum indisch ini kemudian membuat Pasar Malam, yang menjadi Gerakan budaya untuk menunjukkan identitas dan mengukuhkan kesejarahan mereka dengan tanah air keduanya, Indonesia. Saya beruntung mengalami langsung subkultur itu di Belanda. Pasar Malam ini adalah ajang terbesar di sana selain North Sea Jazz dan Rotterdam Film Festival. Di Pasar Malam ini, atau juga acap disebut Festival Tong Tong, berkumpul subkultur kaum Indo lainnya: Bahasa Petjok, Indorock, Keroncong, dan tentunya berbagai makanan khas nusantara era colonial.

Andy Tielman, dengan Indorock-nya, dianggap sebagai pahlawan kaum Indisch. Pada 2008, sesaat sebelum pulang ke tanah air, saya berada di tengah persiapan acara Nederpop, yang rencananya saat itu digelar  Oktober 2008,  di mana di situ diperdengarkan pula lagu “Little Baby Rock of  Mine” (1959) yang dianggap sebagai pelopor “NederPop” alias musik pop Belanda. Dan tentu pengaruh band sekeluarga itu terhadap skena musik, termasuk kekaguman Jan Akkerman (salah satu gitar terbaik dunia) dan Golden Earring terhadap mereka.

Akhirnya, dengan lagu debut mereka itu, The Tielman Brothers diterima publik Negeri Kincir, setelah sebelumnya mereka pergi keliling Eropa,salah satunya ke Belgia, mengumandangkan irama “rock n roll”, yang kala itu masih asing dan dianggap pengaruh buruk. Mereka juga lalu berpetualang ke Hamburg. Masalahnya, yang sering dibahas jika membicarakan Indorock adalah mitos-mitos seperti The Beatles terinspirasi dari mereka ketika ke Hamburg. Padahal tidak cukup bukti soal hal ini, mengingat semua band era itu di Hamburg rata-rata memang punya aksi panggung gila-gilaan. Dan di Museum the Beatles di Liverpool, khususnya di bagian Hamburg, tidak ada nama The Tielman Brothers sedikitpun di antara daftar nama yang berjasa pada The Fab Four di era itu.

Tentu saja berbicara soal subkultur budaya Indisch, khususnya Indorock, tidak hanya terhenti pada Andy Tielman dan The Tielman Brothers. Buku ini menarik karena, selain  masih sedikit yang membahas Indorock, juga membahas tentang band-bang Indorock lainnya. Dengan begitu, buku ini memperkaya wawasan kita tentang genre rock yang nyaris terlupakan ini. Dan uniknya, ada pembahasan tentang band Indonesia yang juga turut melestarikan music aliran ini.

 

Selamat kepada Bung Donny Anggoro atas terbitnya buku ini.

Kepada pembaca, selamat menikmati dan berselancar di semesta Indorock!

 Jakarta, 28 Juli 2021,

 

Ekky Imanjaya

 

 

Catatan:

Kata Pengantar untuk buku Membaca Indorock, Mendengarkan Nostalgia (Penerbit Pelangi Sastra, 2021) karya Donny Anggoro.