Meet the Tielmans
Catatan: Kenangan 8 tahun lalu saat bertemu dengan Andy Tielman sekeluarga.
Gadis berusia 12 tahun itu memeluk ibunya. Sang ibu membelai-belai rambut anaknya, di belakang panggung Pasar Malam Steenweijk , Belanda. Tiba-tiba Loraine Jane, nama gadis imut itu, menoleh ke arahku, dan menitikkan air mata. Aku yang sedang merekam kejadian itu terkejut, dan langsung mematikan handycam sederhanaku. “Apa yang tengah terjadi?” tanyaku dalam hati. Dalam hitungan detik, sang ibu menghampiriku (dan membuatku makin bertanya-tanya, “apakah ini salahku?”. Carmen, sang ibu, menjelaskan situasi itu:”Tahukah kenapa Loraine menangis? Dia melihatmu dan ingat akan orang-orang di Jakarta yang amat baik kepadanya selama 10 hari kami di sana”. Mereka sekeluarga memang baru tiba dari Jakarta untuk konser di Jakarta Rock Parade. Aku mengangguk-angguk, awalnya, dan berkata, “so sweet…”. Carmen menegaskan lagi:”Don’t you get it? Itu karena KAMU mengingatkannya pada mereka”. Ah, aku jadi makin terharu mendengarnya.
Demikianlah keluarga inti Andy Tielman. Andy, Carmen, Loraine Jane, sangat ramah kepada saya. Saat itu saya ke sana dalam rangka mengambil gambar untuk film dokumenter mengenai Pak Andy, juga membahas beberapa kesepakatan mengenai itu. Saat mengetahui bahwa saya menempuh jarak lebih dari 2 jam untuk ke festival sederhana itu, Carmen berujar: “Wah, sayang sekali, kita pulang ke arah yang berbeda. Dusseldorf yang berjarak 2 jam dari sini. Kalau satu arah, kamu bisa menumpang kami”. Dia juga memberikan DVD live Pak Andy di Scheveningen tahun 2004 dan CD terbarunya bersama Tjendol Sunrise, 21st Century Rock (yang sudah saya incar sejak Pasar Malam Besar akhir Mei lalu tapi saya tak kuasa membeli karena terlalu miskin). Ia juga memberikan koin konsumsi kepada saya untuk makan malam. "Setidaknya, ini yang bisa kami lakukan, jelasnya".
Pak Andy sendiri tak jauh berbeda. Dengan ramah, ia berbicara kepada saya dan kepada siapa pun. Tak terlihat jarak antara dia dengan penggemarnya yang selalu memintanya berfoto, tanda tangan, atau sekadar menyapa. Sejak ia menelpon saya dua hari sebelumnya, dan hingga saat bertemu sore itu, dia selalu berbicara betapa orang-orang di Indonesia bersifat ramah dan baik kepadanya dan keluarganya. Padahal ia Cuma 10 hari di Jakarta dalam rangka Jakarta Rock Parade. “Band-band muda di Indonesia bagus-bagus!”, katanya. Ia juga membanggakan bermain bersama Awan (Sore), Emil (Naif), dan David Tarigan, sambil memperlihatkan foto dan tulisan soal itu di berbagai media, di antaranya Kompas dan Rolling Stone Indonesia. Salah satu tajuknya:” Andy TIelman Meraja”. “Saya benar-benar tidak menyangka ditonton delapan ratus orang, dan semuanya anak muda!” ungkapnya. “Usia saya sudah tinggi, tetapi saya masih begitu dihargai!”. “Tentu saja, karena Pak Andy kan legenda hidup,” jelas saya. Ia pun menyatakan senang bertemu dengan musisi muda, juga wartawan-wartawan musiknya. “Tolong kalau ada tulisan-tulisan tentang saya di Media di Indonesia, minta kirim ke saya, ya?” katanya.
Pak Andy pun menjelaskan bahwa, dengan band yang sama, ia akan kembali menggelar tur di beberapa kota Indonesia. “Kamu kerjasama saja dengan mereka. Coba kontak mereka untuk kepentingan film dokumentermu. Siapa tahu ada jalan untuk mencari sponsor,” sarannya. Memang, walau masih belum terbayang soal pendanaan, tapi saya nekad terus merekam sepak terjang penerima Orde of Nassau dari Ratu Beatrix atas jasanya mengembangkan musik pop di Belanda itu. Dan Pak Andy begitu perhatian soal ini. “Sayang kalau cuma menjadi film kecil,” katanya.
Pak Andy sekeluarga benar-benar terkesan dengan publik Jakarta. Bahkan kota Jakarta yang sumuk dan macet itu begitu dinikmatinya. “Belanda sekarang panas. Kalau di Jakarta kan dimana-mana ada pendingin,” ujarnya. “Kita jalan-jalan ke Senayan City, Blok M Plaza, menyenangkan. Dan makanannya, semua serba murah,” kata Carmen.
Atas dasar itulah (silahkan disimak baik-baik) dia menyatakan berminat untuk tinggal di Indonesia minimal setahun, kalau perlu lima tahun. “Saya akan berbicara dengan Pak Dubes. Pak Agum Gumelar, ayah Zeke, sudah membantu menghubungkannya”, ujarnya. “Iya, Pak, Loraine sekolah di SD-nya Obama…” seloroh saya, sambil menyeruput soto Madura yang rasanya mirip soto Betawi. Apalagi waktu saya bilang soal proyek solidaritas musik yang diposting Adib Hidayat di Multiply dan Facebook. “Saya seharusnya berada di Jakarta,” tegasnya. “Kalau pak dubes bersedia, dibantu oleh tulisan dari media, dan juga permintaan anak-anak muda, mungkin harapan saya ini akan tercapai,” katanya. “Langsung saja todong ke pak Dubes waktu manggung 17 Agustus di KBRI, pak!” kata saya, memberi saran. Bagi saya, pernyataan penting ini harus saya kabarkan di sini. Mungkinkah ada jalan?
Pak Andy juga ingin bertemu dengan Ahmad Albar, musisi Indonesia yang 8 tahun berkarir di Belanda. “Dia sudah keluar dari penjara, kan? Sedang apa dia sekarang?” tanyanya.
Pukul 23 lewat. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Amsterdam. semua urusan sudah dibicarakan. Saat terakhir saya merekamnya, Pak Andy masih saja berucap:”Jangan lupa kirim salam buat teman-teman, ya?”.
**
Ternyata perjalanan saya ke dan dari Steinweijk ini begitu penuh aral. Awalnya, dari Amsterdam seharusnya saya overstappen di Amersfoort , dan pindah kereta langsung ke Steinweejk arah Leeuwarden. Namun, dari Amersfoort saya harus ke Zwolle baru kemudian ke tujuan akhir. Tapi tak apa. Begitu tiba di kota kecil itu, hati saya terobati. Kota yang sederhana, dan rumah-rumahnya bernuansa art-deco—dan di kota metropolitan macam Amsterdam, susah sekali menemukan bentuk rumah, biasanya penduduk tinggal di flat-flat bersahaja; atau sekalian gedung megah dan tinggi—dan asri. Ketemu dengan keluarga Tielmans juga sebuah kebahagiaan spiritual sendiri, apalagi dengan hasil-hasil yang memuaskan. Ditambah bonus, saya ketemu (dan minta tandatangan di CD-nya, tentu saja) dengan Riem de Wolff dari Blue Diamonds.
Masalah terbesar adalah sewaktu pulang. Di kota kecil macam Steinweijk, kereta api tidak berjalan 24 jam. Saya ketinggalan kereta menuju Amersfoort, dan satu-satunya yang ada hanyalah ke Zwolle. Maka, saya pun naik. Sialnya, di Zwolle, sudah tidak ada kereta sama sekali. Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat saya tiba di Zwolle, dan kereta berikutnya beranjak pada 05.15. Saya pun mencari hotel terdekat, untuk sekadar numpang tidur. Namun, apadaya, setelah 15 menit berjalan di kegelapan malam dan sepinya jalan, petugas hotel menolak saya hanya dari sebuah loadspeaker dan hanya beberapa kata.”Ada yang bisa saya bantu? Sudah penuh! Sudah tutup!”. Walhasil, saya pun menginap di stasiun kereta. Untunglah tiap jam ada petugas stasiun berseragam kuning yang lalu lalang, dan ada seorang pengendara sepeda dengan banyak perabotan yang juga menginap di samping saya. Ya sudah, saya nikmati saja, sambil melahap buku Deep Time of the Media: Toward an Archaeology of Hearing and Seeing by Technical Means dari Siegfried Zielinski—sebuah buku seputar Arkeologi Media dan Variantologi yang luar biasa mencerahkan.
Begitulah. Pukul 05.15 saya masuk kereta pertama, dan tiba di Amsterdam Centraal pukul 07.00. sebuah pengalaman yang berharga dan begitu mahal (mengingat tiket pulang saya hangus dan harus beli lagi). Tapi semuanya tertebus!
Demikianlah keluarga inti Andy Tielman. Andy, Carmen, Loraine Jane, sangat ramah kepada saya. Saat itu saya ke sana dalam rangka mengambil gambar untuk film dokumenter mengenai Pak Andy, juga membahas beberapa kesepakatan mengenai itu. Saat mengetahui bahwa saya menempuh jarak lebih dari 2 jam untuk ke festival sederhana itu, Carmen berujar: “Wah, sayang sekali, kita pulang ke arah yang berbeda. Dusseldorf yang berjarak 2 jam dari sini. Kalau satu arah, kamu bisa menumpang kami”. Dia juga memberikan DVD live Pak Andy di Scheveningen tahun 2004 dan CD terbarunya bersama Tjendol Sunrise, 21st Century Rock (yang sudah saya incar sejak Pasar Malam Besar akhir Mei lalu tapi saya tak kuasa membeli karena terlalu miskin). Ia juga memberikan koin konsumsi kepada saya untuk makan malam. "Setidaknya, ini yang bisa kami lakukan, jelasnya".
Pak Andy sendiri tak jauh berbeda. Dengan ramah, ia berbicara kepada saya dan kepada siapa pun. Tak terlihat jarak antara dia dengan penggemarnya yang selalu memintanya berfoto, tanda tangan, atau sekadar menyapa. Sejak ia menelpon saya dua hari sebelumnya, dan hingga saat bertemu sore itu, dia selalu berbicara betapa orang-orang di Indonesia bersifat ramah dan baik kepadanya dan keluarganya. Padahal ia Cuma 10 hari di Jakarta dalam rangka Jakarta Rock Parade. “Band-band muda di Indonesia bagus-bagus!”, katanya. Ia juga membanggakan bermain bersama Awan (Sore), Emil (Naif), dan David Tarigan, sambil memperlihatkan foto dan tulisan soal itu di berbagai media, di antaranya Kompas dan Rolling Stone Indonesia. Salah satu tajuknya:” Andy TIelman Meraja”. “Saya benar-benar tidak menyangka ditonton delapan ratus orang, dan semuanya anak muda!” ungkapnya. “Usia saya sudah tinggi, tetapi saya masih begitu dihargai!”. “Tentu saja, karena Pak Andy kan legenda hidup,” jelas saya. Ia pun menyatakan senang bertemu dengan musisi muda, juga wartawan-wartawan musiknya. “Tolong kalau ada tulisan-tulisan tentang saya di Media di Indonesia, minta kirim ke saya, ya?” katanya.
Pak Andy pun menjelaskan bahwa, dengan band yang sama, ia akan kembali menggelar tur di beberapa kota Indonesia. “Kamu kerjasama saja dengan mereka. Coba kontak mereka untuk kepentingan film dokumentermu. Siapa tahu ada jalan untuk mencari sponsor,” sarannya. Memang, walau masih belum terbayang soal pendanaan, tapi saya nekad terus merekam sepak terjang penerima Orde of Nassau dari Ratu Beatrix atas jasanya mengembangkan musik pop di Belanda itu. Dan Pak Andy begitu perhatian soal ini. “Sayang kalau cuma menjadi film kecil,” katanya.
Pak Andy sekeluarga benar-benar terkesan dengan publik Jakarta. Bahkan kota Jakarta yang sumuk dan macet itu begitu dinikmatinya. “Belanda sekarang panas. Kalau di Jakarta kan dimana-mana ada pendingin,” ujarnya. “Kita jalan-jalan ke Senayan City, Blok M Plaza, menyenangkan. Dan makanannya, semua serba murah,” kata Carmen.
Atas dasar itulah (silahkan disimak baik-baik) dia menyatakan berminat untuk tinggal di Indonesia minimal setahun, kalau perlu lima tahun. “Saya akan berbicara dengan Pak Dubes. Pak Agum Gumelar, ayah Zeke, sudah membantu menghubungkannya”, ujarnya. “Iya, Pak, Loraine sekolah di SD-nya Obama…” seloroh saya, sambil menyeruput soto Madura yang rasanya mirip soto Betawi. Apalagi waktu saya bilang soal proyek solidaritas musik yang diposting Adib Hidayat di Multiply dan Facebook. “Saya seharusnya berada di Jakarta,” tegasnya. “Kalau pak dubes bersedia, dibantu oleh tulisan dari media, dan juga permintaan anak-anak muda, mungkin harapan saya ini akan tercapai,” katanya. “Langsung saja todong ke pak Dubes waktu manggung 17 Agustus di KBRI, pak!” kata saya, memberi saran. Bagi saya, pernyataan penting ini harus saya kabarkan di sini. Mungkinkah ada jalan?
Pak Andy juga ingin bertemu dengan Ahmad Albar, musisi Indonesia yang 8 tahun berkarir di Belanda. “Dia sudah keluar dari penjara, kan? Sedang apa dia sekarang?” tanyanya.
Pukul 23 lewat. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Amsterdam. semua urusan sudah dibicarakan. Saat terakhir saya merekamnya, Pak Andy masih saja berucap:”Jangan lupa kirim salam buat teman-teman, ya?”.
**
Ternyata perjalanan saya ke dan dari Steinweijk ini begitu penuh aral. Awalnya, dari Amsterdam seharusnya saya overstappen di Amersfoort , dan pindah kereta langsung ke Steinweejk arah Leeuwarden. Namun, dari Amersfoort saya harus ke Zwolle baru kemudian ke tujuan akhir. Tapi tak apa. Begitu tiba di kota kecil itu, hati saya terobati. Kota yang sederhana, dan rumah-rumahnya bernuansa art-deco—dan di kota metropolitan macam Amsterdam, susah sekali menemukan bentuk rumah, biasanya penduduk tinggal di flat-flat bersahaja; atau sekalian gedung megah dan tinggi—dan asri. Ketemu dengan keluarga Tielmans juga sebuah kebahagiaan spiritual sendiri, apalagi dengan hasil-hasil yang memuaskan. Ditambah bonus, saya ketemu (dan minta tandatangan di CD-nya, tentu saja) dengan Riem de Wolff dari Blue Diamonds.
Masalah terbesar adalah sewaktu pulang. Di kota kecil macam Steinweijk, kereta api tidak berjalan 24 jam. Saya ketinggalan kereta menuju Amersfoort, dan satu-satunya yang ada hanyalah ke Zwolle. Maka, saya pun naik. Sialnya, di Zwolle, sudah tidak ada kereta sama sekali. Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat saya tiba di Zwolle, dan kereta berikutnya beranjak pada 05.15. Saya pun mencari hotel terdekat, untuk sekadar numpang tidur. Namun, apadaya, setelah 15 menit berjalan di kegelapan malam dan sepinya jalan, petugas hotel menolak saya hanya dari sebuah loadspeaker dan hanya beberapa kata.”Ada yang bisa saya bantu? Sudah penuh! Sudah tutup!”. Walhasil, saya pun menginap di stasiun kereta. Untunglah tiap jam ada petugas stasiun berseragam kuning yang lalu lalang, dan ada seorang pengendara sepeda dengan banyak perabotan yang juga menginap di samping saya. Ya sudah, saya nikmati saja, sambil melahap buku Deep Time of the Media: Toward an Archaeology of Hearing and Seeing by Technical Means dari Siegfried Zielinski—sebuah buku seputar Arkeologi Media dan Variantologi yang luar biasa mencerahkan.
Begitulah. Pukul 05.15 saya masuk kereta pertama, dan tiba di Amsterdam Centraal pukul 07.00. sebuah pengalaman yang berharga dan begitu mahal (mengingat tiket pulang saya hangus dan harus beli lagi). Tapi semuanya tertebus!
No comments:
Post a Comment