Oleh Ekky Imanjaya
Berita menarik hadir pertengahan April 2013 lalu. Sejumlah
kelompok masyarakat memprotes tayangan beberapa sinetron berlabel Islami
dengan alasan isi dan jalan ceritanya merendahkan simbol islam, khususnya
status haji. Pada situs resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disebutkan,
bahwa Masyarakat Televisi Sehat
Indonesia, mengadukan keresahan tersebut pada KPI Pusat, melalui perwakilannya
Ardy Purnawansani dan Bayu Prioko, yang juga didampingi Fahira Idris dari Rumah
Damai Indonesia. Mereka mengkritisi
sinetron seperti Haji Medit
(SCTV), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Ustad
Foto Copy (SCTV), dan Islam KTP
(SCTV), yang semuanya “…menggunakan judul dengan terminologi Islami, tapi isi
dan jalan ceritanya jauh dari perilaku islami”. Bagi mereka, hal ini meresahkan
masyarakat Muslim karena memunculkan persepsi buruk tentang tokoh panutan dalam
agama Islam, khususnya yang bergelar haji.
Sementara itu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) juga
protes kepada RCTI dan SCTV dan dengan
keras meminta sinetron penghinaan kepada status Haji itu , seperti Tukang Bubur Naik Haji dan Berkah, segera dihentikan. Kedua stasiun swasta itu segera merespons
dengan positif. Salah satu
hasilnya: Haji Muhidin, dari sinetron Tukang
Bubur, mendadak menjadi karakter yang lebih baik. Walau pun, sebagaimana
dilansir situs KPI, ada juga sinetron
religi yang tak berubah juga, walau sudah lama diperingatkan KPI, seperti Islam KTP.
Memang, label “sinetron Islami” membuka ruang lebar intepretasi, yang
sering disalahgunakan untuk kepentingan pencarian keuntungan semata. Pernah ada
tren sinetron reliji yang kental dengan mistik serta azab dan berkah. Dan kini,
representasi buruk tokoh masyarakat yang bergelar haji. Kesalahan utama, tentu
saja ada pada konten, tapi bahwa hal itu semua dilakukan di frekuensi milik
public juga menjadi masalah tersendiri.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga sebab, yang semuanya
saling terkait.
Pertama adalah sistem kejar tayang. Industri televisi, termasuk sinetron,
kebanyakan memakai sistem tripping
ini, tak terkecuali sinetron berlabel reliji. Sebagai gambaran ekstrim: jika
episode 516 sedang disyut, maka sang penulis skenario pada saat itu juga
menulis episode lanjutannya. Dan jika kemudian sang bintang utama berhalangan
secara mendadak karena urusan pribadinya, bisa saja plot berubah drastis, sang
tokoh utama diceritakan sedang pulang kampung atau sakit keras, dan cerita
berganti fokus pada tokoh lainnya. Hal seperti ini tentunya tidak kondusif
untuk membuat cerita yang matang, utuh, dan bagus. Tim kreatif tidak terlalu sempat untuk meriset dan
menggodok cerita, dan para actor tidak sempat untuk observasi karakter dan
latihan membaca naskah bersama-sama. Bandingkan
diengan sebuah film layar lebar bermutu yang skenarionya direvisi hingga
berkali-kali bahkan sampai belasan kali, dan para bintangnya bahkan perlu
dikarantina untuk mendapatkan klik kimiawi antar mereka, seperti yang dilakukan
oleh film Ada Apa dengan Cinta,
misalnya.
Sedikitnya waktu ini membuat
tim kreatif tidak sempat, atau mungkin tidak peduli, dengan penokohan.
Misalnya, ihwal penokohan pengembangan
karakter. Dalam cerita yang baik, karakter berkembang, bahkan dalam serial
televisi. Di serial komedi situasi (sitcom) semacam The Big Bang Theory Theory, misalnya, kita akan melihat tokoh
Sheldon Cooper yang punya karakter kuat dan unik yang tetap bertahan hingga
akhir, namun social skill-nya menjadi
lebih baik seiring dengan berjalannya waktu dan interaksi sosial dengan
teman-teman dekatnya. Pun dengan Leonard Hofstadter (tokoh paling “normal”) , Howard Wolowitz (masih tinggal dengan ibunya, dan
satu-satunya yang tak bergelar PhD dan karenanya acap diolok-olok), dan Rajesh Koothrappali (tak bisa bicara dengan wanita).
Jika kita penggemar berat sitcom ini, kita akan mengetahui tanggal lahir, asal
universitas dan daerah, dan kebiasaan unik mereka, misalnya kegemaran mereka
akan komik di sci-ci.
Dalam How I Met Your Mother, kita
diiming-imingi bahwa akhirnya sang tokoh utama akan bertemu istri yang adalah
ibu dari anak-anaknya Ted Mosby, dn
perlahan plot cerita bergerak ke sana, dan karakter berkembang. Tokoh
utamanya--Marshall Eriksen, Lily Adrian, Robin Scherbatsky,dan Barney Stinson--punya karakter yang kuat dan unik,
bahkan punya latar belakang cerita yang
kaya dan akar keluarga yang sudah dipersiapkan--dan setiap penonton punya
favoritnya sendiri. Karakter tokoh Barney, ikon acara ini, sebagai contoh, berubah pelan tapi pasti dari seorang playboy
menjadi orang yang bertekad menikahi Robin dan menghilangkan sifat buruknya
itu.
Tentu saja, di sini
kedua serial itu menjadi contoh kasus dalam penokohan dan cara bertutur, bukan
membahas isinya. Mengapa membahas dua contoh dari Amerika, karena dalam
beberapa tahun belakangan ini, dunia pertelevisian Paman Sam itu maju pesat dan
bisa dibilang sedang mencapai masa kejayaannya. Mengapa tidak bisa diterapkan
di sini?
Cerita berkembang (dan
maju ke depan) karena para karakter berkembang, dan sebaliknya. Dan pada
akhirnya akan berhenti di suatu titik akhir. Dan semuanya seharusnya dikonsep
dengan matang sejak awal. Sementara, dalam sistem kejar tayang dan sistem
rating, yang umumnya dilakukan adalah
mengulur-ulur dan memperpanjang-panjang cerita yang tidak perlu. Dalam kasus
para haji ini, karakter mereka hitam putih. Misalnya, dari judulnya saja, Haji Medit, kita sudah bisa menebak
adanya sosok satu dimensi, bukan banyak-dimensi sebagaimana manusia normal. Tentu
sangat manusiawi jika ada seorang haji yang khilaf dan salah, namun jika
dituturkan bahwa sang haji tak ada kerjaan lain selain bergosip, membicarakan
orang lain, dengki, dan menghasut, dan itu diceritan di setiap episode tanpa
ada perubahan atau sifat baiknya, tentu lain persoalan.
Cerita dan penokohan tidak
harus realis, tapi yang pasti harus meyakinkan. Dunia fiksi yang hadir harus make-believe (reka-percaya), menciptakan
semesta dunianya sendiri. Pemirsa harus
diyakinkan bahwa tokoh itu benar-benar masuk akal, dan bahkan mungkin membuat
penontonnya berpikir bahwa itu adalah refleksi dari dirinya (“itu gue banget”) atau proyeksi ideal baginya (“andai saya bisa
seperti itu”).
Contoh sinetron atau serial televisi yang tidak
melakukan system kejar tayang, salah
satunya, adalah Dunia Tanpa Koma.
Sistem rating adalah
masalah berikutnya. Semakin baik rating
sebuah program televise, semakin banyak produk yang mau beriklan di sana.
Rating TV adalah ukuran atau evaluasi untuk menilai seberapa banyak prosentasi
suatu acara televise ditonton opada saat ditayangkan. Jika rating jelek,
kemungkinan program itu terhapus atau disingkirkan ke jam tayang yang tak
popular makin besar. Tidak sedikit yang
menjadikan rating menjadi “tuhan” dan tujuan utama, dan melupakan hal lainnya.
Akibatnya, tidak terlalu masalah bila cerita atau kedodoran bahkan terkesan diulur-ulur,
sementara penokohannya juga amburadul.
Terakhir, adalah
budaya gagap yang masih saja menggejala sebagai perilaku tim kreatif dan
pembuat kebijakan acara televisi. Akibatnya, dan karena “bertuhankan” rating,
maka mereka memilih untuk mengikuti acara yang sedang menjadi tren dan
terkadang terkesan “copy paste” sekadarnya saja.
Bagaimana pun, ini adalah industri yang
berjalan dengan logikanya. Dan jeleknya mutu sinetron dan TV seri tidak hanya
eksklusif untuk sinetron bertema religi. Tpi, mengapa di Amerika Serikat,
bidang ini begitu maju pesat, khususnya dalam konteks cerita dan production
value?
Karena itulah, berita
protes sejumlah kelompok masyarakat adalah angin segar. Harus ada orang-orang
yang mengawasi pertelevisian dan mendukung serta memperkuat KPI. Dan merupakan pekerjaan rumah bersama untuk
mewjudukan acara yang sehat dan positif-- tidak hanya sinetron, tapi juga kuis,
talk show, variety show, reality show, dan masih banyak lagi. Dan, teguran KPI
tidak selamanya berhasil, atau konsisten diikuti. Contohnya: Empat Mata yang pernah diminta untuk
menghentikan tayangannya hanya berganti nama dengan nama Bukan Empat Mata.
Dimuat di ESQ Media no. 2/Agustus 2013
No comments:
Post a Comment