(Sumber: Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, 1 Februari 2010)
Ekky Imanjaya
*) Dosen kepenulisan di Program Internasional Manajemen dan Hubungan Internasional UIN Jakarta
PADA sebuah siang, seorang kenalan di Den Haag gusar dengan kelakuan temannya, warga Malaysia. Salah satu celetukannya: ”Kok bisa sih mereka panggil anak-anak dengan budak?” ”Budak” dalam bahasa Malaysia memang berarti ”anak-anak”. Tapi apakah maknanya berbeda dengan bahasa Indonesia? Ya dan tidak.
*) Dosen kepenulisan di Program Internasional Manajemen dan Hubungan Internasional UIN Jakarta
PADA sebuah siang, seorang kenalan di Den Haag gusar dengan kelakuan temannya, warga Malaysia. Salah satu celetukannya: ”Kok bisa sih mereka panggil anak-anak dengan budak?” ”Budak” dalam bahasa Malaysia memang berarti ”anak-anak”. Tapi apakah maknanya berbeda dengan bahasa Indonesia? Ya dan tidak.
Ada dua hal. Pertama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, dari Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka (2001), ternyata budak adalah anak, kanak-kanak. Setelah itu, baru tampil makna berikutnya: hamba; jongos; orang gajian. Kedua, dalam bahasa Sunda, ”budak” artinya memang ”anak-anak”—sekadar selingan betapa dekatnya budaya Sunda dan Melayu: ”sekedap” dan ”sekejap” (yang berarti ”sebentar”) hanya berbeda satu huruf; dan di Malaysia dikenal dengan istilah es Bandung dan mi Bandung.
Berbicara tentang perbandingan bahasa antara Indonesia dan Malaysia artinya berbicara tentang kemungkinan perbedaan makna pada kata yang sama. Misalnya, saat belajar kosakata, ada hal yang memang ”rawan”. Kata seperti ”butuh” (artinya, maaf, ”kemaluan pria”) atau ”gampang” (”anak haram”, ”pelacur”) adalah kata-kata yang pantang diucapkan di Malaysia.
Sebaliknya, orang Indonesia akan berpikir negatif jika mendengar diksi ”seronok” (bergembira, meriah), ”Rumah Kelamin” (rumah keluarga), atau ”perangsang” (motivasi) yang diucapkan orang Malaysia. Atau bingung dengan makna kata ”senang” dalam kalimat ”Pada saya, soalan peperiksaan ini senang sahaja”, yang artinya ”mudah”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”butuh” juga berarti alat vital pria—dan beberapa suku kita juga masih aktif menggunakannya. Sedangkan makna ”seronok” adalah menyenangkan hati. Kata rangsangan juga bermakna ”dorongan”.
Baiklah, mari kita sempitkan wacana dan hanya menganalisis kata-kata pada bahasa Indonesia saja. Kalau mendengar lema eksploitasi dan manipulasi, mau tidak mau kita akan berpikiran bahwa keduanya bermakna negatif. Eksploitasi berarti ”pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan”. Sedangkan manipulasi adalah ”upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya”.
Padahal, di kamus, kedua makna di atas adalah makna urutan kedua. Apa makna di deretan pertama? Ini yang menarik. Eksploitasi artinya adalah ”pengusahaan, pendayagunaan”; sedangkan manipulasi bermakna ”tindakan untuk mengerjakan sesuatu dengan tangan atau alat-alat mekanis secara terampil”. Keduanya cenderung bermakna positif. Jika arti ini yang kita pakai, pernyataan ”para dalang memanipulasi wayang untuk bergerak ke kiri dan ke kanan” itu masuk akal. Kalimat semacam ini acap hadir di setiap buku berbahasa Inggris seputar pewayangan. Atau, ”pasal ini menegaskan bahwa wilayah distribusi harus lebih dieksploitasi”.
Jadi sebetulnya satu kata memiliki beberapa makna, meski banyak orang yang malas membuka kamus dan cukup puas dengan mengambil makna yang tersebar di pergaulan. Padahal kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan lisan mungkin sudah ”terpolusi” oleh penyempitan, pergeseran, bahkan perubahan. Tak jarang kita cenderung tak cukup rajin mencari tahu makna lain dari sebuah kata, yang boleh jadi akan bertentangan. Kata seolah hanya digiring ke makna tertentu, dan makna lainnya semakin tergerus dan termanipulasi oleh perkembangan zaman.
Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, 1 Februari 2010
sumber:
http://
No comments:
Post a Comment