Rayya Makarim berhasil menyajikan sebuah skenario menarik mengenai seorang korban perkosaan yang
mengalami trauma berkepanjangan.
Trauma itu begitu mendalam,
sedemikian rupa sehingga May, begitu nama gadis itu, tak pernah lagi beranjak
keluar dari rumahnya. Bahkan, ketika ada
kejadian kebakaran sekalipun. Delapan tahun lalu, saat masih berusia 14 tahun, dia diperkosa secara massal dan brutal secara
tak terduga, dan kini May menciptakan mekanismenya sendiri untuk
mengatasinya. Dia mengisolasi dan mengalienasi dirinya dari kehidupan
sosial dan memblokade emosi dan memori. Dia menciptakan rutinitasnya yang ia
jalani lagi dan lagi. Berbusana sama setiap hari, menyeterika, mendandani
boneka-boneka selemari, bermain lompat tali. Ia seakan berharap bahwa rutinitas
bisa membuat hidupnya terhindar dari hal-hal yang tak tertebak, dan berupaya
melupakan masa lalunya. Jika ada satu saja hal yang berbeda dari ritual
hariannya, atau yang membuatnya teringat dengan kejadian traumatis itu, maka ia
pun melukai dirinya sendiri, mengiris pergelangan tangannya. “Karena tak
seperti kenangan buruk yang abstrak, rasa sakit bisa ia kontrol” terang
Rayya Makarim, sang penulis skenario yang juga produser film 27 Steps
of May arahan Ravi Bharwani.
Selama 8 tahun, May cari
aman, menjalani hal yang itu-itu saja dengan rigid dan penuh kehati-hatian,
menghindari masa silamnya. Sampai pada suatu hari, sesaat setelah kebakaran,
ia melihat tetangganya yang seorang pesulap dari lubang tembok kamarnya.
Ia seakan melihat dunia baru yang lain, yang menawarkan misteri yang juga tak
terduga, tapi tak mampu memadamkan rasa ingin tahunya. Tentu saja, saat tombol
emosi dan memorinya sudah aktif, dia dipaksa untuk merasakan kembali kepedihan
di malam itu, dan sebagai konsekuensinya, siklus aktivitasnya juga terancam
terputus. Sejauh apa dunia sulap mengubah ritus kesehariannya yang ketat itu?
Menurut kritikus
film Chai Hee Suk, di film yang mini kata-kata ini, ketakutan akan
ketakterdugaan, seperti yang terjadi 8 tahun lalu, bertemu dengan fenomena baru
penuh kejutan yang mempesonanya: dunia sulap yang magis. Tapi, seperti halnya
kemahiran bersulap, menyembuhkan luka mendalam juga perlu latihan, perjuangan,
dan disiplin. Saya sepakat dengannya, dengan satu tambahan: film ini juga
melibatkan penonton yang peduli dan cemas dengan sang karakter utama bila tak
memenuhi lingkaran rutinitas hidupnya.
Tapi kisah May bukanlah
satu-satunya cerita yang kuat. Cerita sang ayah, juga tak kalah menarik. Selama
8 tahun, ia mencoba menyembuhkan trauma putrinya, namun selalu gagal. Ia
lantas menyalahkan dirinya: petinju yang tak mampu melindungi anak semata
wayangnya. Dia melarutkan dirinya dalam pekerjaan yang dia sangat kuasai:
bertarung. Yang penting menyakiti, meledakkan energi ketakberdayaan dan rasa
bersalahnya yang mendalam. Ia juga menjadi pendiam dan menutup
diri, menghindari pembahasan seputar malam jahanam di pasar malam itu, kecuali
pada Sang Kurir yang acap mengantarkan segembolan boneka untuk May. Namun,
begitu sampai rumah, ia menjelma menjadi lembut dan melayani rutinitas sang
putri. Kedua cerita ini beberapa kali bertemu dalam satu muara. Dan perlahan,
tindakan Sang Ayah yang agresif itu menyebabkannya pulang tak sesuai jadwal rutin
dan itu, tentu saja, mengganggu ritual May.
Rayya, yang sudah lama
berkolaborasi dengan Ravi, menyatakan bahwa ide awalnya adalah membuat film
tentang keterasingan dan alienasi, sebuah tema favorit sang sutradara Impian Kemarau dan Jermal. “Semua film Ravi berisi soal isolasi dan alienasi”. Tak terkecuali film ini.
Lantas, muncul ide soal mengangkat kasus Perkosaan Mei 1998. “Tetapi bukan tentang
pemerkosaan massalnya, lebih ke cerita personal, bagaimana sang korban setelah
kejadian,” terangnya. Dikembangkan sejak sekitar 6 tahun lalu, semua hal
dibahas dalam persiapan. “Karena itu, menulis skenarionya hanya sekitar 2-3
draft saja, karena kami sudah menyepakati setiap detil adegan”. Setiap
adegan dan dialog tertulis dalam skenario dan siap untuk dieksekusi.
Dunia sulap terpilih karena,
menurut Rayya, “untuk menyembuhkan luka, persoalan harus dihadapi
dan dituntaskan, dan untuk memulainya, perlu hal lain, hal yang asing tapi
memukau dan jauh berbeda dengan dunianya, yang membuatnya terhisap ke dunia
asing itu”, ujarnya. Proses bagaimana May bisa menyimpang dari ritual harian
yang ia ciptakan sendiri, baik secara disengaja atau tidak disengaja, baik
akibat si Pesulap atau sang Ayah, adalah sebuah kecemasan (atau keasyikan?)
tersendiri yang dirasakan penonton. Memang, pada cerita film ini, penonton
seolah dipaksa untuk merasakan apa yang dirasakan oleh May dan ayahnya.
Dan yang paling sulit adalah
menuliskan adegan perkosaannya. “Saya merasa jijik dan tersiksa saat
menuliskannya. Kami diskusi banyak hal, tapi berupaya menghindari diskusi
soal ini. Sampai pada akhirnya kita memutuskan untuk mau tidak mau harus duduk
dan menuliskannya,” ungkap Rayya yang sebelumnya sudah menelurkan enam skenario film panjang itu. Sebelumnya, riset
dilakukan dengan membaca data dan laporan terkait korban perkosaan massal
1998 yang berdampak secara fisik, psikis, dan emosi.
Tema siklus kekerasan dan
korban perkosaan adalah hal penting yang patut diungkap. Dalam film ini, walau
tak secara eksplisit, tapi bisa terlihat bagaimana May adalah korban kekerasan dan perkosaan dan sang ayah
yang justru melakukan kekerasan di ring tinju karena merasa tak berdaya
menghadapi kenyataan. Saat diputar perdana di Festival Film Busan, Rayya
menyatakan ada satu wanita penonton yang bertanya sambil menahan tangis, dan
berterima kasih atas film ini karena telah membuat hatinya tergerak. “Rupanya,
dia juga korban perkosaan”, ujar Rayya. Tapi, sang penanya tadi menegaskan
kalau sekarang dia sudah baik-baik saja.
Dua cerita yang sama kuat
dan mengalir, tentang karakter-karakter dan profesi-profesi yang tak lazim, tentang hubungan ayah dan anak yang sama-sama
menutup diri, dan bagaimana untuk melupakan kelamnya masa lalu adalah dengan
menghadapinya. Hal-hal ini adalah beberapa yang membuat skenario film ini
dinobatkan menjadi pemenang dalam Festival Film Tempo kali ini (Ekky Imanjaya,
dosen jurusan Film, Universitas Bina Nusantara)
Tulisan versi editnya
dimuat di Majalah Tempo, 6 Desember 2018.
Tautan: https://majalah.tempo.co/read/156701/trauma-isolasi-diri-dan-dunia-sulap?fbclid=IwAR0Xx4erFRu9ELXMVmcxw93E2h_g7OMfiOrs6Ty2ba0L5NXIQu98EvBXOpM
Dan dimuat ulang di Pabrikultur: http://majalah.pabrikultur.com/film/92/27-Steps-of-May
No comments:
Post a Comment