Begitu saya menemukan album “Kebisingan Pancaroba Yang Merongrong” dari Jimi Jazz, band rekayasa Jimi Multazam (The Upstairs, Morfem), saya terkesiap dan seolah mencelat dan terpelanting ke masa lalu, tepatnya di pertengahan dan akhir 1980an serta awal 1990an. Ketika saya SMP beranjak ke SMA, masa-masa mencari identitas, pembentukan selera, dan tak sepenuhnya paham konteks tentang apa yang terjadi di dunia ini, tapi begitu menggairahkan dan menggembirakan penuh kebermainan.
Tahun-tahun itu, saya berkenalan dengan Crossover Trash Metal (setelah sebelumnya kesengsem dengan Thrash Metal dan lalu menemukan Hardcore Punk). Tahun-tahun itu, selain band arusutama dari Heavy Metal, Thrash Metal, Speed Metal, Dead Metal, saya pun mengarungi dunia dengan pengalaman dan nuansa kebisingan yang agak berbeda. Tapi, waktu itu, saya tidak tahu kalau itu crossover. Tahunya, ya kalau tidak metal, ya punk.
Pengalaman pertama, saya ingat betul, di halte bis pertigaan Cikini-Raden Saleh tak jauh dari SMP 1, seorang kawan menyanyikan lagu Modern World dari DRI (Dirty Rotten Imbeciles) :
Traffic jam, no-wax floors
Tv dinner, nuclear reactor
Cordless phone, max factor
Modern world, modern world
Tak perlu waktu lama untuk mengeksplorasi band ini dan band serupa di genre ini. Ciri khasnya: begitu bising, mentah, memuntahkan amarah dan protes, memicu adrenalin, dan durasinya kebanyakan pendek-pendek. Liriknya “padat karya” dan “tepat guna”, tak jarang politis dan kritis. Dan, mendengarkan band-band ini, membuat saya berbeda dan punya identitas dan eksklusivitas tersendiri, karena tak semua kawan tahu dan paham dengan genre yang (bagi saya kala itu) non-mainstream ini. Dan ini mengasyikkan.
Di antaranya, MOD (Methods of Destruction), SOD (Stormtroopers of Death), dan….tentu saja Suicidial Tendencies (ST) (cinta pada pendengaran pertama, saat mendengarkan lagu I Saw Your Mommy dan I Shot Reagan, yang aromanya di awal-awal mirip dengan Torehkan Sendiri di Dada). Nama saya pun, di awal 1990an, sempat berubah menjadi Ekky Muir, mengikuti nama keluarga frontman ST.
Tentu saja, peran Metallica, yang mendaurulang
lagu-lagu Misfits (Die Die Darling, Last Casess/Green Hell) serta
memakai kaos tengkoraknya, membuat saya turut mengulik band-nya Glenn Danzig
ini (sebut saja, I Turned Into a Martian dan Skull).
Jimi Jazz membuat saya terkenang dengan masa-masa “keemasan” itu.. Secara musikalitas (durasi pendek, tak jarang tiga jurus chord gitar, ngebut atau kombinasi ritme ngebut dan pelan) dan secara konteks penceritaan (lirik yang lugas, padat, kadang politis dan/atau penuh gelora), tentu tak bisa dipungkiri.
Dalam sebuah video, Jimi menyatakan terus terang tentang proses kreatifnya, dan menyebut genre-nya secara jelas. “Trash Metal campur Punk Rock”, katanya.
Bahkan, mereka latihan di studio membawakan lagu Mommy Can I Go Out and Kill Tonight (Misfits) dan Subliminal (ST), yang polanya mirip dengan Laksanakan!)
Sejak era pensi awal 2000an, saya sudah menduga, suatu saat Jimi, yang memajang kaos Four of A Kind (DRI) dalam salah satu postingan Instagramnya, tentu akan rindu dan Kembali menjadi “anak metal”. Dan kejadian!
Tapi Jimi Jazz (saya menduga nama ini diambil dari
salah satu lagu The Clash) tak berhenti sampai di situ. Tentu kita terpental kembali
ke Orde Baru 1980an dan awal 1990an, Ketika punk dan metal merajalela. Tapi lebih
dari itu, bahkan lirik lagunya pun sangat “Orde Baru”. Jimi dkk mengangkat
isu-isu politik dan tonggak-tonggak bersejarah terkait budaya pop era itu.
Ada Petrus Semalam jelas
kritik terhadap mereka terhadap fenomena Petrus (penembak misterius) yang
membunuhi para preman.
Perjalananku sedikit terhambat Oleh kerumunan pada tanah lapang Tubuh tergeletak menjadi tontonan Lubang peluru dibelakang kepalanya Ada petrus semalam
Berikutnya: Lebak Bulus 1993 tentu membahas
konser Metallica (yang saya juga menjadi bagian darinya) lengkap dengan hiruk
pikuk yang juga direkam di film dokumenter Global Metal. Tak lupa, sentuhan
personal pun dia torehkan dalam tulisan.
Gempar
semua kawan sebaya
Metallica
datang ke Ibu Kota
Lepas
seragam menengah atas
Sebagai
buruh palak nyokap tak tega
menabung dan mencari uang untuk mendapatkan tiket tertuang di lirik itu.
Tak berhenti sampai di situ, konser itu juga menjadi saksi tentang militerisme yang, entah mengapa, masih memakai pendekatan keamaan (bahkan isu komunisme) bagi anak ABG yang mau menonton band yang lahir dari rahim kapitalisme.
Lebak Bulus
bagai neraka
Jalan jongkok
masuk dalam arena
Tentara dengan
tongkat panjang
Menghantam
setiap pemuda membangkang
Dan, tentu saja soal kerusuhan dan kebakarannya.
Tak lupa, Jimi Jazz menghormati
para pionir dan senior, yang turut menempa identitas dan seleranya, dalam Gordanmosh.
Kami
datang untuk Parau
Kami
datang untuk Toilet
Kami
datang Sucker Head
kami
datang jelas untuk Roxx
Saya tak sempat
mengalami kejayaan Pidpub dan PJ-PJ. Dan juga bukan anak Poster. Atau pun BB’s.
tapi saya sempat menonton konser-konser band tersebut dalam berbagai
kesempatan. Dan ingatan pun menyeruak.
Lirik Laksanakan, karena cukup “gelap”, saya menafsirkannya
dengan tawuran, sebuah “aktivitas ekskul” wajib para pelajar saat itu. Dan, berdasarkan video klip tak resmi ini, dugaan saya benar.
Menilik berbagai komentar di kolom Komentar, sebagian
orang mengingatkan pada Hardcore punk (Black Flag, Dead Kennedys, Minor Threat)
dan Exploited, khususnya album Punk’s
Not Dead (1981) dan Bad brains
(1982),
Saya, era itu, kurang
mengeksplorasi Hardcore Punk. Hanya beberapa saja. Yang paling mengena adalah Misfits,
khususnya album Walk Among Us (1982), Beware (1980), dan Earth A.D./Wolfs Blood. Karena itu secara pribadi, Jimi Jazz mengingatkan pada lagu-lagu
Crossover, yang kencang dan, jika birama melambat, biasanya berubah di tengah menjadi
ngebut. Khususnya tahun-tahun awal Suicidal Tendencies (self-titled, 1983), A.M.Q.A (misalnya album
Mutant Cats from Hell, 1988), dan DRI khususnya album
Four of A Kind, 1988), dan tentunya S.O.D.
Jimi Jazz merilis lagu-lagunya di kanal YouTube Jimi Multazam di awal 2018, kala saya masih di Inggris dan tidak terlalu mengikuti skena musik indie Indonesia. Saya menemukannya dua tahun kemudian, kalau gabut di era pandemi. Tentu terlambat. Tapi tak mengapa. Efeknya masih bisa membuat bergelinjang menikmati musik bernuansa nostalgik.
Semoga pandemic segera berlalu, jadi saya bisa menyaksikan mereka konser langsung. Walau, tentu tubuh saya (yang tentunya berbeda stamina dengan yang 35 tahunan lalu) tak sepenuhnya setuju untuk terjun ke mosh pit.
No comments:
Post a Comment