“Minal Aidin wal Faizin,
Maafkan Lahir dan Batin,
Selamat Para Pemimpin,
Rakyatnya makmur terjamin”.
Lirik lagu di atas adalah refrain
dari lagu “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki. Lagu yang popular di era
1950an oleh Lima Seirama ini masih tetap terkenal hingga di era
sekarang. Apa saja hal-hal menarik tentang lagu ini?
1. Minal Aidin = Maaf Lahir Batin?
Setiap mau Hari Raya Idul Fitri,
banyak orang yang memperingatkan bahwa “Minal Aidin” itu bukanlah bermakna
“Maaf Lahir Batin”. Juga ada yang sibuk
menerangkan bahwa saling memaafkan di Hari Raya tidak lazim di banyak tempat,
dan hanya terjadi di Indonesia (dan juga Malaysia). Biasanya, dianjurkan untuk mengucapkan
“Taqabballallu Minna Wa Minkum” (Semoga Allah menerima <Ibadah> kami dan
kalian). Dalam tradisi lainnya, ada ucapan “Eid Mubarak” atau “Eid Said”
(Selamat Hari Raya), dan “Kullu ‘Amin Wa Antum Bikhoirin” (Semoga Kita
mendapatkan kebaikan sepanjang tahun”.
Tentu saja, “Minal Aidin” adalah juga
bagian dari doa Hari Raya, yang intinya adalah mendoakan “Semoga kita semua
termasuk dalam golongan yang kembali (ke fitrah) dan mendapatkan Kemenangan
(Takwa)”. Doa ini, kabarnya, pertama kali diucapkan oleh seorang penyair pada masa keemasan Andalusia, Shafiyuddin Al-Huli. Ucapan ini, dan juga
tradisi saling memaafkan, masih bisa diperdebatkan, tapi saya berpendapat bahwa
ini bersifat kultural, seperti ucapan Kullu Amin atau Eid Mubarak.
Lepas dari perdebatan di atas, saya
menduga, lagu ini adalah yang turut mempopulerkan dan/atau menangkap jiwa zaman
1950an istilah “Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Batin”, yang sekarang lazim diucapkan saat Idul Fitri
di bumi nusantara.
2. Termasuk Paling Banyak Didaurulang
Lagu ini sangat terkenal, bahkan hingga
ke negeri jiran. Malaysia. Seniman terbesar negeri itu, P Ramlee menyanyikan
lagu ini di tahun 1977, dengan sedikit penyesuaian
lirik berdasarkan Bahasa Melayu (“Maafkan Zahir dan Batin”, misalnya). Lagu ini
juga turut mempopulerkan istilah “Lebaran”, yang khas Jawa,” di sena, yang
sebelumnya hanya mengenal “Aidil Fitri”. (https://www.youtube.com/watch?v=hazmjUUTy1M).
Di Indonesia, banyak yang
menyanyikannya lagi. Penyanyi cilik Tasya Kamila juga menyanyikannya juga di akhir 1990an (https://www.youtube.com/watch?v=QgtqmNPoX8E).
3. …Namun, Sedikit yang Memasukkan Lirik Bagian ketiga.
Ismail Marzuki, yang orang Betawi asli, memperlihatkan
kelihaiannya menulis lirik yang tajam dan kritis, namun jenaka, dalam memandang fenomena sosial. Berikut
bagian kedua dan ketiganya:
“Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perei
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pade lecet babak belur berabe
Maafkan lahir dan batin, ulang taon idup prihatin
Cari uang jangan bingungin, bulan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perei
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pade lecet babak belur berabe
Maafkan lahir dan batin, ulang taon idup prihatin
Cari uang jangan bingungin, bulan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Maafkan lahir dan batin, ‘lan taon idup prihatin
Kondangan boleh kurangin, kurupsi jangan kerjain”
Di bagian kedua terlihat bagaimana Ismail meledek fenomena
orang kampung merayakannya, naik tram, jalan-jalan hingga “kaki pincang”…”
lecet babak belur berabe”.
Sedangkan bagian ketiga sangat aktual hingga saat ini. Dengan
berani, Ismail membeberkan kelakuan orang kota yang “berjudi”, “main ceki mabuk
Brandi”, “kalah main pukul istri”.
Dan lagu ini ditutup dengan pernyataan yang sangat kuat:
“kondangan boleh kurangin, korupsi jangan kerjain”.
Hampir semua musisi yang menyanyikan
ulang lagu ini enggan untuk menaruh bagian terakhir dari lirik lagu. Padahal,
menurut saya, disitulah nilai lebih lagu ini.
Lirik lagu utuhnya marak beredar di
media social sekitar lebaran 1-2 tahun lalu.
4. Kecuali Deredia
Pada 16 Juli 2015, Deredia, band yang
mengkhususkan pada music periode 1950an, menggunggah rekaman live mereka Ke Youtube. (https://www.youtube.com/watch?v=W3V5E6awazA), dan belakangan makin tersebar di
media sosial menjelang Idul Fitri. Kali ini, mereka menyanyikan liriknya secara
utuh, karena, seperti terbaca di kanal mereka, “Bagian akhir dari lagu ini sangat menarik karena masih
berkaitan dengan kondisi saat ini”.
Sebelumnya, di era 1960an, Didi dan
Orkes Mus Mualim atau Kwartet DBP
Mascan juga telah mendaurulang
lagu ini secara lengkap (https://www.youtube.com/watch?v=FaLrRClzpV4)
5. Termasuk Lagu Sindiran
Denny Sakrie, dalam bukunya, mengutip
buku Musik Indonesia dan Permasalahannya
(JA Dungga dan L Manik, 1952) yang memetakan ada 4 lagu di era revolusi. Salah
satunya adalah lagu-lagu sindiran yang “…melukiskan keburukan-keburukan dalam
masyarakat Indonesia di masa perjuangan”. Salah satunya adalah “Ibu, Aku Tak
Sudi Tukang Catut”. Lagu jenis ini tak banyak,, dibandingkan lagu tanah air
berupa mars, lagu tanah air bersuasana tenang. Dan lagu-lagu percintaan,
dan acap tak diketahui pengarangnya.
Saya kira, lagu ini, walau beredar
beberapa tahun setelah era revolusi, masih termasuk dalam kategori lagu
sindiran yang pedas. Dan, karena itulah, saya merasakan nuansa yang berbeda,
sedikit ngenyek gaya Betawi, saat menyanyikan bait :”Selamat para
pemimpin, rakyatnya makmur terjamin”.
No comments:
Post a Comment