Bulan puasa selalu istimewa di
hati saya. Jadwal harian berubah. Bangun pagi buat sahur, malamnya tarawih. Beraktivitas
dengan perut kosong. Buka puasa bersama dengan keluarga besar dan sahabat, tak
jarang dengan reuni kecil dan besar. Setiap tahun berkesan dan bermakna. Tapi tentu
ada yang paling membekas di hati.
Berikut adalah beberapa kisah yang
paling berkesan di bulan Ramadhan dalam hidup saya.
Walau saya tidak menulis berbagai pengalaman ini berdasarkan ranking, tapi tentu ini adalah peringkat pertama. Setelah
10 tahun pernikahan, tentu kehadiran seorang anak begitu dinantikan, tidak
hanya oleh kami berdua, tapi juga oleh kakek neneknya, dan keluarga besar kedua
belah pihak. Saya menjadi suami siaga, begadang di RS Budi Kemuliaan, termasuk
buka puasa (baik di kantin rumah sakit atau di dalam kamar), sahur, dan shalat
tarawih. Bahkan orang tua saya sengaja
I’tikaf di gedung sebelah, Masjid BI, salah satunya karena ingin dekat dengan
RS.
Medina lahir 25Ramadhan, pagi hari, lewat operasi cesar. Saya menunggu di depan kamar bedah, dan begitu
lahir saya sendiri yang membisikkan adzan di kedua telinganya.
Bagi saya, hidup
tidak dimulai saat saya berumur 40 tahun, tapi saat Medina lahir. Ini mungkin
terdengar lebai, tapi sesungguhnya tidak. Saya akan tulis artikel tersendiri
tentang Medina sebagai Jangkar saya.
2. Menyelesaikan
Master Tesis Pertama, 2002
Tahun 1998, 8 bulan setelah saya lulus S1 dari Sastra
Arab FSUI, saya lanjut kuliah S2 Filsafat. Dan, pada 2000 saya diterima kerja di
Astaga.com, salah satu pengalaman berharga dalam karir saya di bidang
jurnalisme. Tapi saking keasyikannya—khususnya meliput film dan music—kuliah,
terutama penulisan tesis, agak terbengkalai.
Ramadhan 2002,
saya kebut menulis tesis. Saat itu kami baru tinggal di rumah baru, pertama
kalinya punya rumah sendiri. Setelah subuh, di luar kebiasaan, saya tidak tidur
lagi, tapi tenggelam dalam kesibukan tesis.
Tak sampai setahun kemudian, saya lulus.
3.
Menonton
Konser Reuni The Police, 2007
Agustus 2007,
untuk kedua kalinya, saya menginjakkan kaki ke negeri Belanda. Yang pertama
adalah tugas liputan sekitar 1-2 tahun sebelumnya, dan tak lebih dari 2 minggu.
Tapi kali ini saya tinggal lebih lama, setahun, karena menempuh studi master
yang kedua di Universiteit van Amsterdam. Begitu tahu The Police akan reuni
bulan September, tak pikir panjang, saya langsung beli tiketnya, di Amsterdam
Arena (stadion-nya Ajax), 14 September. Saya tak menduga bahwa konser itu
bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan, yang berlangsung 17 jam!
Untunglah
semuanya berjalan lancar. Saya tiba sekitar pukul 8 malam. Menunggu sejam lebih
di dalam stadium sepakbola itu. Awalnya, saya tak boleh bawa minuman atau
makanan apapun, seperti yang berlaku umum. Maklum, panitia akan jualan di dalam.
Namun saya agak ngotot, dan akhirnya salah satu petugas bilang:” apakah ini air
minum untuk minum obat?”, saya langsung samber:”iya, pak”. Daripada ribet,
hehehe.
Maka saya pun
menonton The Police, yang sesuai dengan ekspetasi saya: keren abis! . Saya buka
puasa pukul 9 malam waktu Belanda (GMT+1), saat menyaksikan anaknya Sting main
bersama band-nya, Fiction Plan, sebagai band pembuka, yang keren abis itu.
Dan saya pun
menuliskan laporan pandangan mata untuk Majalah MTV TRax, November 2007.
Namun saya tahu,
menonton konser di bulan puasa itu, apalagi di hari pertama, sesuatu yang penuh
perjuangan. Sebisa mungkin, saya hindari hal seperti ini.
(konser besar
lainnya yang saya tonton adalah The Cure di Ahoy Rotterdam, 18 Maret 2008).
4. Begadang
sekeluarga menonton film seri Silat, 1983-1984
Saya agak lupa
tahun berapa, tapi yang pasti waktu SD di Surabaya, dan kami baru punya video
player (Betamax). Saya sekeluarga begadang, sejak habis tarawih hingga
menjelang sahur, menonton film serial silat yang kami sewa dari Trio Video Tara
ataupun tukang video keliling.
Favorit kami
adalah: Sin Tiaw Eng Hiong, Sin Tiaw Hiap Lu, dan To Liong To. Seri lainnya
adalah Demi-God and Semi-Devil dan PEndekar Harum. Entah kenapa, kami luput menonton Pendekar
Ulat Sutra dan Princess Cheung Ping secara utuh.
Setelah bangun
pagi, ya kami nonton lagi. Maklum, waktu itu masih SD, dan Ramadhan liburan
sebulan penuh (saya lupa, entah karena memang itu kebijakan nasional, atau
kebijakan sekolah saya yang memang sekolah NU).
5. Pesantren
I’Tikaf Ramadhan, pertengahan 1990an.
Saat masa
transisi antara baru mulai kuliah di FSUI dan melepas kuliah di Jayabaya, saya
diundang ke acara ini. Acaranya di Pesantren Budi Mulya, Yogyakarta.
Organisasinya dari PIR Laboratorium Dakwah.
Pencetusnya Amien Rais, dan pembicaranya kelas wahid semua, termasuk Yunahar Ilyas, Adaby Darban. Sayang Pak
Kuntowijoyo, favorit saya, tidak mengisi acara karena waktu itu sudah
sakit-sakitan.
6. Berburu
Shalat Malam, awal 1990an
Awal 1990an,
I’tikaf belum semarak sekarang. Sewaktu SMA dan awal kuliah, dan masih agak lumayan aktif di kerohanian Islam, saya
bersama teman-teman sering berburu shalat malam berjamaah, mulai isya hingga
menjelang sahur. Ma’had Al-Hikmah adalah salah satu tempat favorit, karena di
sana imamnya bagus bacaan murottalnya, yang semalam bisa habis satu juz (kalau
10 hari terakhir bisa lebih).
7. Safari
Ramadhan Keliling Jawa – Bali, 2006
Tahun 2006,
sewaktu saya masih bekerja di Majalah Nebula (yang dikelola oleh ESQ Leadership
Center), saya diajak Pak Yudhistira Massardi (sang pemimpin redaksi) untuk
keliling Jawa-Bali, untuk bersilaturahim
dengan para pembaca (yang juga alumni training ESQ) , sekaligus meliput
kegiatan mereka dan menjajagi kemungkinan kerjasama dengan majalah . maka kami
pun (bersama Bu Yudhis dan Agus Salim yang bertanggungjawab di bidang usaha)
dengan jalan darat mengunjungi Bandung, Yogyakarta, Madiun, dan beberapa kota
lainnya, dan berakhir di Denpasar. Tak lupa, kami juga wisata kuliner setempat.
Di Bali, kami
tak lupa untuk ke pasar tradisional dan menginap di padepokan Agung Rai Museum
of Art, Ubud, yang bersuasana kontemplatif dan spiritual. Yang paling berkesan
adalah tur Golden Hour, yaitu menjelajahi Bali yang masih jarang dikunjungi
wisatawan yang dilakukan di saat “Golden Hour”. Maka, selepas sahur dan subuh,
kami langsung mengeksplorasi perkampungan dan bukit di Ubud dan sekitarnya.
Ini pengalaman yang
menarik, mengingat di sana, kami tak mendengar suara adzan atau merasakan
suasana Ramadhan.
8. NGeK
1995-1998
NGeK adalah band
yang saya ikut dirikan di FSUI, yang beraliran etno-musik-religious. Sejarahnya
dan beberapa lagunya bisa di akses disini.
Ramadhan adalah
bulan paling sibuk sewaktu NGeK masih aktif. Kami pernah main di LippoMal
Karawaci, Mal Taman Anggrek, ITB, dan masih banyak lagi.
Kangen juga
masa-masa itu….
9. Tarawih
Keliling di Norwich, 2013 dan 2015
Tahun 2013,
pengalaman pertama kami berpuasa di Eropa. Dan sebisa mungkin kami silaturahim,
buka puasa bersama, walau pun waktu maghrib adalah sekitar 9.30 dan
Isya/tarawih pukul 11 lewat, yang artinya akan selesai lewat tengah malam.
Masjid Ihsan
adalah masjid terdekat, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah (20
menit). Di sini bernuansa multicultural,
dan berbeda dengan masjid lainnya di Norwich yang kebanyakan didominasi gaya
Timur Tengah dan Bangladesh. Bahkan sampai diliput di Channel 4 dalam acara AVery British Ramadhan. Buka puasanya,
kalau kita beruntung, dengan sop kentang, lanjut dengan nasi kebuli, ditutup
dengan es krim.
Islamic Center
di Dereham Road adalah pengalaman lain lagi. Buka puasa dijamin kenyang, imam
shalatnya syahdu, dan ruangannya besar. Tapi,
berhubung bus hanya beroperasi hingga jam tertentu, dan jaraknya agak jauh dari
rumah, kami menyesuaikan diri dengan bis terakhir, dan kadang hanya bisa maksimal
shalat isya saja.
Terakhir, buka
puasa dan shalat tarawih di kampus UEA. Semangatnya
hampir sama dengan Masjid Dereham.
Tahun 2014, saya
berpuasa penuh di Jakarta, sambil riset turun lapangan.
Tahun 2015, saya puasa berpuasa setengah bulan
di Norwich, sebelum lanjut mudik ke tanah air. Kebetulan, rekan saya Indra
Kusumawardhana menginap beberapa hari. Maka, kami pun melanjutkan tradisi
tarling.
Masjid Ihsan
rupanya ada perkembangan bagus. Di sana, ada warung kopi, yang biasanya sangat
berguna untuk jamaah yang menunggu masa maghrib dan isya/tarawih. Pembayaran dianjurkan
memakai dirham dan dinar. Imam shalatnya ada 2, keduanya masih usia belasan,
dan keduanya hafal quran. Jika salah satu jadi imam, yang satu ada di
belakangnya, sambil membuka quran saku untuk memeriksa bacaan sahabatnya. Kedua
ABG ini juga yang paling rajin melayani jamaah yang berbuka puasa, dari
menyajikan makanan hingga membawa piring kotor untuk dicuci.
10. Punya
tempat buat mudik: Plaju, Balongan, Balikpapan, 1990an, awal 2000an.
Lahir dan tinggal
di Jakarta (dan punya istri yang orang Betawi) membuat saya tidak banyak punya pengalaman
mudik, merasakan macet, dan kerinduan akan kampong halaman. Untunglah, ayah
saya beberapa kali pindah rumah, sehingga saya punya pengalaman “mudik”, yaitu
kembali berkumpul dengan keluarga. Dan saya bisa merasakan lagi masakan ibu
saya yang tiada taranya, khususnya Steak Lidah dan Pisang Ijo (Pallu Buttung).
Jadi kangen
masakan mama…..
No comments:
Post a Comment