Saturday 16 March 2013

Plan a Trip with Traveline :)

Wow! Unlike London, at first, it is very difficult to plan a trip to a small city likeNorwich, except for First Buses. So, it is very hard to figure out how to go, for example, to Blakeney or Morston Bay for a Seal Boat. Or to Norwich International Airport on Sunday before 9am.

Hence,  this traveline website is very useful for for journeys within the South, East and Midlands :) http://www.travelineeastanglia.co.uk/ea/XSLT_TRIP_REQUEST2?language=en&timeOffset=15

Thursday 14 March 2013

Five Broken Cameras (Full Movie)

This is one of the best documentary i've ever watched. Nominee of this year's Academy Awards:

Five Broken Cameras



No grand narratives, no big discourse on anti-zionism, no intifadhah or jihad. This is just a village people trying to get justice and get their land back from the Apartheid Israeli government. Just as simple as that. this film is a result of thousand of hours of footage and 5 years of filming daily life in a small village in the middle of modern imperialism and colonialism run by a state terrorist.








Sunday 10 March 2013

Lincoln as Robot? A Quote from The Big Bang Theory

"When I come back, just for fun, the subject will be alternative history. Specifically, how would the civil war have gone differently if Lincoln had been a robot sent from the future?"
-- Sheldon Cooper, The Big Bang Theory.
full transscript: click here

Thursday 7 March 2013

Pan's Labyrinth review competition

I just got this email from Picturehouse in London. I lost the competition, but I am happy though :).

-->
Hi Ekky,

Thank you for entering our Pan's Labyrinth review competition.
Unfortunately whilst you haven't won first place, we really liked your review and you're in our top-three of runners-up! Let me know your address and we can send you an original vintage Pan's poster.
Thanks again!
Frances
<--
 
 
Oh ya, here's my review

WTF is Harlem Shake?

Harlem Shake, that new fever, becomes new trending topic, and finally visits Norwich, UK.

For me, Harlem Shake is not a style of a dance, since everybody can dance with their own styles. Unlike Gangnam Style or any other kind of dance, Harlem Shake has  no rule, no requirement, nothing--related to the movement, costume, not to mention the philosophical issues.

Basically, for me, it is just another  channel of exhibition for people to exist. As we know, one of the nature of virtual world is narcissism  and exhibitionism. Most of the people love being watched and acknowledged  by others as well as by themselves.  Hence, Harlem Shake fits with internet users and viral marketing.


Nonetheless, Harlem Shake is just another Thom Yorke's Lotus Flower dance. IMHO.


So, I prefer Poco-Poco, instead. :)

Monday 4 March 2013

Merapel Memori: Januari-Februari


halo semua,
sepertinya saya ingin meneruskan tradisi Episode Amsterdam pada 2007-2008. Bagi yang belum tahu, pada tahun-tahun itu saya tinggal di Amsterdam, Belanda, untuk kuliah s2 Film Studies di Universiteit van Amsterdam, dan secara aktif menulis di http://ekkyij.multiply.com.  Sebagian dari tulisan di sana sudah diterbitkan dalam buku Amsterdam Surprises (bisa dibeli online, di antaranya disini).

Jadi, semoga tidak ada yang keberatan jika saya secara rutin (semoga saja) saya menuliskan pengalaman dan keseharian saya di kota kecil bernama Norwich, termasuk yang berhubungan dengan perkuliahan di University of East Anglia.

Sebulan pertama
Saya tiba di UK pada waktu yang beda dari yang lain: 17 Desember 2012. Umumnya perkuliahan dimulai Oktober atau Januari. Tapi, karena sponsor saya meminta nomor rekening bank UK, satu-satunya cara adalah memprosesnya langsung di UK. Dan sialnya, masa-masa itu adalah masa dimana nyaris semua orang tidak ada di tempat, ada yang berlibur ke Skotlandia, ada yang pulang kampung. Tidak ada perkuliahan sama sekali, Norwich nyaris jadi kota mati. Dan sialnya, di flat saya ini belum ada jaringan internet atau televisi (karena semua hal membutuhkan nomor rekening, sesuatu yang saya tunggu).  Dan belum kenal siapa pun di sini kecuali landlord dalam sepekan pertama. Untungnya, perpustakaan UEA buka 24 jam sehari dan 7 hari sepekan, sehingga saya pun ngungsi di sana, main internet. Hal lain, saya berkunjung ke Millenium Library di Forum, untuk main internet dan meminjam buku (khususnya komik) gratis.

Bang Edo dan Mas Andi Sadat adalah orang Indonesia pertama yang ketemu saya. Dan pada 25 Desember, barulah bertemu dengan lebih banyak teman-teman dari Indonesia. Kami pun makan malam bersama. Awal Januari, semua berangsur “normal”.
Dan tentu saja, saya masih beradaptasi dengan aksesn British yang belum sepenuhnya saya mengerti dan juga menghapal koin-koin pence yang belum juga saya hapal  J

Kehidupan Kampus

UEA adalah kampus yang keren. Mereka punya hutan lindung sendiri, termasuk wild life buat riset. Ada rumah sakit, sportpark kelas dunia, bis yang masuk kampus dan jadwalnya sering, dan perpustakaan yang buka 24 jam sehari 7 hari seminggu walau pun itu tanggal merah semacam natal (dan bisa self-service). Dosen-dosennya juga jaminan mutu, misalnya di FTM (Film, Television, Media), semua dosennya sangat aktif di berbagai forum akademis dan buku.

Menjadi satu-satunya mahasiswa pascasarjana di school of FTM yang mulai di bulan Januari membuat saya harus mengejar ketinggalan, khususnya dalam hal kehidupan sosial. Karena , tidak ada perkuliahan per satu semester sama sekali. Yang adalah hanyalah mengumpulkan kredit (Seperti JJA bagi dosen) untuk traning PPD (Personality and Professional Development), sebanyak 30 kredit selama 3 tahun. Setiap pertemuan diberi nilai setengah kredit, kecuali seminar riset dari sekolah film, dihitung 3 untuk 9 pertemuan, dan menjadi satu-satunya pertemuan saya dengan mahasiswa S3 Film lainnya dari berbagai angkatan (kecuali kalau mereka ikutan ambil training lainnya).

PPD training ini macam-macam, mulai dari academic writing hingga student-supervisor relationship.
Sistem di UK seperti ini: setahun pertama kita adalah Mphil. Tugasnya untuk satu semester pertama, kata beberapa orang, agak nyantai, yaitu memikirkan struktur tesis (di UK, setidaknya di UEA, disertasi S3 dibilangnya tesis), bibliografi, dan main sources. Mungkin terlihat sepele, tapi memang susah sekali, khususnya karena dimonitor oleh kdua supervisor yang super kritis. Fokus di tahun pertama adalah bagaimana menghadapi transfer panel, proses kenaikan tingkat dari Mphil ke PhD candidate. Syaratnya 3: struktur, letter of intent, dan 1 chapter.

Tahun kedua adalah tahun penulisan tesis (80 ribu kata aja gituh), sampai selesai. Ini mungkin tahun yang paling berat. Tahun ketiga adalah tahun revisi. Demikianlah.


Supervisor.
Supervisor saya ada dua. Pertama adalah Prof. Mark Jancovich, dan yang kedua adalah DR. Rayna Denison.  Mark adalah alasan utama saya mengapa saya memilih University of East Anglia di sebuah kota kecil daripada, misalnya di London, Manchester, atau lainnya. Dia sangat pakar dalam kajian cult cinema, fan culture, dan film consumption, tiga hal yang sedang saya teliti (untuk lebih lanjut soal riset saya seputar cult, Exploitation, dan B Movies dari Indonesia era Orde Baru, bisa dicek di sini).

Ketika libur natal, saya bertemu sekali dengan Rayna. Dia pakar soal film Jepang, khususnya Studio Ghibli. Dan setelah induction days, barulah saya bertemu dengan keduanya.
Pertemuan  pertama, dan dua pertemuan berikutnya, Mark lebih banyak membahas soal teknis daripada isi. Dia pun mengutip “kata-kata mutiara” seputar Bunuh diri dari Emile Durkheim.
bunuh diri tidak hanya terjadi kalau kita secara ekstrim sedih, tapi juga kalau secara ekstrim bahagia” begitu kira-kira.  Intinya, dan ini acap dia ulang dalam tiga kali pertemuan, fungsi supervisor bukanlah hanya urusan akademis dan bimbingan tesis, tapi juga keseluruhan termasuk kehidupan.
Kembali ke bimbingan tesis, Mark menekankan bahwa mahasiswa harus menulis minimal 80 ribu kata. Dan katanya: “mulai sekarang sampai April,  kita fokus ke bibliografi dan struktur alias pembabakan”, seraya menyarankan bahwa semakinbanyak bab, semakin sedikit kita menulis. “Sebaiknya satu bab enam hingga delapan ribu”, katanya. Minggu sebelumnya, Rayna menyatakan kalau sebenarnya kita sudah menulis 10 ribu kata di pendahuluan dan 10 ribu kata untuk bibliografi dan mungkin konklusi. “Jadi, tinggal 60 ribu kata”. ‘Tinggal’? J

Setelah pembabakan selesai, kata Mark, barulah saya nanti akan diminta menulis salah satu bab itu (“Saya ingin melihat gaya menulismu”, katanya). Caranya? Lagi-lagi urusan teknis:  April menulis, Mei off, juni menulis, juli off, dan seterusnya. “Percayalah, ini metode yang bikin berhasil”, ujarnya.  Ini marathon, tidak bisa sprinter, justru dengan istirahat, bisa lebih produktif , katanya.
Maka saya pun ngebut (mumpung masih sendirian, karena pertengahan Maret keluarga baru akan bergabung di sini). Secara terlatih sebagai wartawan,  di samping sudah pernah mempresentasikan ide ini dan membuat paper sederhana di tahun 2009, saya pun mulai mengumpulkan bibliografi dan mencoba mengutak-atik strukter.
pertemuan kedua,  dua minggu kemudian, cuma Mark yang bisa hadir. Komentarnya: “ Hmmm sepertinya kamu sudah banyak riset di sini ya? dan kamu sudah kurang lebih tahu soal ini”, (setelah baca paperku di jurnal Colloquy soal tema yang serupa tapi lebih sederhana dan dipikir-pikir lagi masih jauh dari sempurna).  Sudah, jangan kirim apa-apa dulu, katanya.  Dia pun menekankan soal apa itu “main sources”  dan “secondary sources” yang rupanya saya sadari kalau saya kurang paham soal ini. Tapi, setelah diskusi, saya paham bahwa “main sources” saya masih kurang, dan buku-buku dan paper-paper itu “hanyalah sumber kedua, bukan yang utama.  Mark bilang “Di level ini, saya pikir kamu sudah layak sebagai mahasiswa Mphil (sebelum tahun depan menjadi PhD lewat transfer panel, sebagaimana tradisi pendidikan di Inggris-eij). Karena ada jug mahasiswa yang belum siap sebagai mahasiswa Mphil dan juga topik yang mau dibahas. Belakangan, saya baru sadar (setelah dapat info juga dari beberapa kawan PhD di sini) bahwa di Inggris, mereka lebih suka mengambil satu-dua  kasus untuk diperdalam dan dikupas habis-habisan, daripada membahas hal-hal yang sifatnya umum—karena, awalnya saya pikir, mumpung bikin tesis s3, bahas aja sebanyak dan seluas mungkin elemennya).
Saat bimbingan, Mark ini orangnya asyik dan santai.  Mungkin karena dia adalah fan scholar, yang begitu passionate dengan cult cinema. Saat pertemuan berakhir, seorang mahasiswa datang dan dengan bangga dia bilang sambil menunjuk saya :” Ini Ekky, mau bahas film cult Indonesia…” dengan raut muka yang seolah mengatakan “asyik kan, ada yang mengkaji film cult Indonesia”. Dijawab: “memang ada ya?”, Mark mempersilahkan saya untuk menjelaskan proyek riset saya ini.

pertemuan ketiga (seminggu kemudian), Mark kembali menegaskan bahwa “…saya di sini tidak hanya sebagai supervisor akademis...” dan bertanya “how are you?how's life?”. Mungkin karena semangat saya militan dan menggebu-gebu, dia menyarankan saya untuk santai dan tidak melakukan apa-apa kecuali membaca dan membaca sambil coba mengasah struktur. “ Yang kamu lakukan selama 3 minggu ini biasanya dilakukan orang lain selama 3 bulan”. 
Saya kemudian menanyakan soal keresahan saya yang belum menemukan metodologi yang tepat. Dia jawab. “Tenang Ekky.  Henry Jenkin waktu nulis Fan Culture, dia menulis tentang apa yang mau dia riset, mengapa dia melakukan penelitian ini, dan bagaimana caranya. Dan itu adalah metodologi”.
Saya juga resah karena belum ada yang membahas tema ini, jadi saya adalah peretas, pelopornya, dan karenanya agak susah menjadi referensi yang topiknya sama persis. Dia jawab: “Biasa itu, orang ngeluh ke saya kalau belum ada yang nulis, atau sebaliknya, banyak yang nulis, dua-duanya punya problematikanya sendiri. Justru kalau belum ada yang melakukannya, kamu bisa bebas mengisi ruang kosong di sana”.
Baru saja saya bimbingan keempat (atau kedua kalinya yang lengkap supervisornya). Rayna bilang kalau saya telah melakukan banyak hal “pekerjaan 4 bulan dikerjakan dalam 2 bulan”, dan memuji struktur draft 3 saya. Masalah terbesar adalah soal metodologi dan juga pembabakan, gimana biar gak overlapping antar bab.
Sementara Mark menggarisbawai bahwa level semester 1 adalah tahap thinking. “udah gak usah macam2 dulu, ini waktunya ngutak atik konsep” gitulah kira2, setelah mendengar saya udah siap2 wawancara Pete Tombs (MondomacabroDVD) dan Loyd Kaufman (Troma Entertainment).
Masalahnya berikutnya baru ketahuan: Mark adalah profesor yang supersibuk. Jadi, dia gak sempet baca revisi yang saya kirim 3 hari sebelumnya, dan jadi bahas hal lain. Rayna sih kasih feedback yang cukup berharga sih. tapi, tentu, saya mau mendengar masukan dari supervisor utama.
Masalah berikutnya: orang Inggris terkenal dengan sopan santun dan basa basinya, mungkin mirip dengan masyarakat di Indonesia. Nah, kalau mereka muji-muji, apakah itu bagian dari basa basi, atau memang memuji? Nah lho!

Okay, mungkin segini dulu ya. Posting berikutnya mungkin tentang tips praktis  dan persepsi saya tentang keseharian di UK

Princess Ofelia in Two Worlds


Spain in 1944 is covered by gloomy night and opaque noon, particularly in Navarra Hill, where the battle seems never end and the gunpowder smoke smells everywhere. It has been 5 years since the civil war ends, but the tension of fear never goes away, especially for 11 year old girl named Ofelia (Ivana Baquero). She stays with her pregnant mother (Ariadna Gill), and her stepfather, the ruthless Kapitan Vidal (Sergi Lopez) who fights against the rebellion. Until she finds out the true, the fact that she is the lost Princess Moana from fairy tale.
And this truth forces the audience to decide: do we believe this dreamland full of a faun, monsters, and fairies? Or, do we follow adults reason and think that the underworld is just a way for a little girl to escape from the cruelty of life? Your decision will determine whether the film has a happy or sad ending. Nonetheless, the director, Guillermo del Toro drags us to agree with him: the real world is more sadistic than any monster imagined by anyone.
And he chose unique storytelling. Common people usually ask: what genre is it? Drama or fantasy, or mixed genre? Who is the target audience? Children (because of the fairy tale) or adult (because of the realistic violence). But, those kinds of questions are not valid, since the director is not into formulaic genre but rather to movement and style.  
The film tells a story about the magical adventure of Ophelia. In the middle inhuman battle, she was assigned by Pan the Faun to complete 3 complicated tasks, as requirements for her coming back as a Royal Princess. Those tasks are exams for her since she went out and got lost for experiencing “…blue skies, soft breeze, and sunshine, despite she lived in, according to Pan, “…the underground realm, where there are no lies or pain. So, the Alice in Wonderland spirit begins. Beside Pan (Doug Johnson), Mercedes the maid (Maribel Verdu) also plays an important role.
So, it is up to you, the audience, whether you want to buy discourses served by the Faun, or believe that those are just tales from a girl who wants to escape from unfriendly reality 


Title: Pan’s Labyrinth 
Original Title:  Laberinto del Fauno 
Year: 2006
Director: Guillermo del Toro.
Cast: Ivana Baquero, Sergi López, Maribel Verdú, Doug Jones, Ariadna Gil

Sunday 3 March 2013

JavaJazz Festival 2013 Live Streaming Day 3


today is the last day: schedule (+7 GMT): Sunday March 3rd 2013
15:15 - 16:30 4 DEKADE - ODDIE AGAM & FRIENDS with TWILITE ORCHESTRA
16:30 - 17:45 PHIL PERRY & BRIAN SIMPSON
17:45 - 19:00 EARL KLUGH
19:00 - 19:25 SPYRO GYRA
19:25 - 20:15 Kaori Kobayashi (Saturday Performance)
20:15 - 21:45 CRAIG DAVID
21:45 - 23:00 GLENN FREDLY & BAKUUCAKAR

Friday 1 March 2013

Misteri Gunung Ghoulish (Mystery of Mount Ghoulish)

for English, please scroll down


Disyut jam 11 siang selama 4 jam, selesai editing jam 1 malam :), ini adalah hasil workshop sebuah acara outing. A Gn. Ghoulish Production 2012. Trims buat semua pemain dan kru! walau dibuat dengan alat dan sdm serta kualitas seadanya, it was fun! ;p. konsepnya agak2 sok cult-exploitation wanna-be.

sinopsis:
tiga orang kawan lama melakukan reuni. Irma "memaksa" mereka reuni di tengah hutan, seperti masa remaja dulu. Jane sebenarnya tidak setuju dengan ide itu, dan lebih memilih di kafe saja. Sedangkan Feri sedang dikejar deadline. di tengah hutan, mereka bertengkar, dan menarik perhatian para penghuni gunung.

(Mystery of Mount Ghoulish)

Shot only in 4 hours, starting at 11am, and edited until 1am. This is just a result of a workshop in an outing event. the film was made with very simple and limited equipment and human resources. It was fun. The idea is to make a homage of cult-exploitation moviees.

synopsis:
Three old friends gather for a reunion. Irma "forces" her friend to do outing in the jungle, as they used to experience in their school time. Jane prefers to sit and chat in at the cafe, while Feri is under pressure of tight deadline. In the forest, they continue to argue, and  attract the attention of the citizens of the mountain.

Sorry, no English subtitles.




 A Gn. Ghoulish Production 2012. Thanks to all crews and actors.