Friday 30 December 2016

Kiprah di 2016

Tahun 2016 adalah tahun duka cita. Banyak tokoh meninggal dunia. Keadaan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan umat Islam dan keindonesiaan, tak kunjung beranjak menuju titik cerah.

Tentu saja banyak yang menggembirakan. Untuk level pribadi, kemajuan pesat anak saya, Medina Azzahra, adalah salah satunya (untuk ini, akan saya tulis di blog Medina). 

Sebagai mahasiswa S3,  dan terkait dengan tema riset saya seputar film cult, eksploitasi, dan B dari Indonesia, tahun ini saya tidak terlalu banyak berkiprah secara akademik, karena mengejar tenggat waktu pengumpulan tesis. Tapi ASEASUK adalah salah satu konperensi terbaik, dan terakhir, sebagai kandidat PhD.  Tapi, Insya Allah, tahun depan akan ada beberapa paper akademis saya yang dimuat di beberapa jurnal. Tunggu tanggal mainnya.

Sebagai penulis, saya berhasil menulis beberapa tulisan popular yang   dimuat di media besar seperti Kompas, Tempo, dan Rolling Stone Indonesia. 

Berikut adalah kiprah saya yang bisa saya sumbangkan untuk masyarakat sekitar.



16 February : diwawancarai oleh Cinema Poetica soal Kritik Film . Setelah itu, pada 30 April, CP juga memuat ulang paper lama saya seputar film cult/exploitasi Indonesia.


13 March, hadir di Indonesian Scholar Forum di Warwick University sebagai kordinator bidang Sen-Budaya-Agama.


7 Mei:  Brisik Band first performance, Trinity Center, Bristol.


18 Juni: Setelah lama tak dimuat di Kompas, akhirnya bersama Shandy Gasella saya masuk rubrik kolom di Kompas: http://findingjakasembung.blogspot.co.uk/2016/06/dimuat-di-kompas.html



28 June; Diwawancara  Radio PPI UK  Soal Integrated Box Office System.
  
29 Agustus 2016 Tulisan Pertama kali dimuat di Tempo sebagai Kontributor: 

10 September:  with Toby Reynolds, co-organized a double bill screeningsLady Terminator and Killing of Satan at The Cube Microplex for Scalarama Film Festival: 

16-19 September Co-organized a panel and presented a paper at Aseasuk  at SOAS London.  One of the best conferences I ever attended as a PhD student. and the last one as well.

3 October: Menulis soal Usmar Ismail di Rolling Stone Indonesia.

Ada satu lagi, yang paling menggembirakan tahun ini, dan sepertinya salah satu pencapaian terbesar saya selama ini. Tapi akan saya umumkan secara resmi di awal Februari.

Selamat tinggal 2016. Selamat datang 2017. Semoga doa, harapan,  dan mimpi kita semua terwujud.
Amien.

Tuesday 6 December 2016

Dangdut Rasa Londo

Orang Indo di Belanda bermain Indo-rock atau keroncong? Itu sudah biasa. Tapi Dangdut? Bahkan merekam suara Inul Daratista yang belum lagi ngetop saat itu, Apalagi merilis album? Itu hanya dilakukan oleh Bule Dangdut.

“Sepertinya Bule Dangdut adalah band bule pertama dan satu-satunya di Belanda,” ungkap Patrick Kerger, sang gitaris, saat bertemu penulisAwalnya pertemuan itu untuk membahas 21st Rock n Roll, album terbaru Tjendol Sunrise, band Patrick sekarang, hasil kolaburasi dengan Andy Tielman. Diskusi mengalir, dan Bule Dangdut pun dibahas.
Dangdut Bule adalah Haroen Berghuis (vocal, gitar, drum track), Peterbas Schutte (Keyboards, drum track), Patrick Kerger (gitar utama), dan Marc Doornweerd (Bas). Dua yang terakhir ini lantas membentuk band bergenre indo-rock, Tjendol Sunrise pada 2000.
Album pertama, Awet Muda, direkam di Amsterdam, 1999, dan Pasar Malam menjadi sasaran pemasaran. Sampulnya adalah wayang golek dan gitar Fender Stratocaster. Album ini berisi lagu-lagu dangdut yang sudah terkenal di tanah air yang di sampulnya dikomentari mereka secara singkat dan jenaka. Benang Biru dari Fazal Dath diceletuki sebagai “als ikke merindu”, dan Lebih baik sakit Gigi diberi catatan “daripada dangdut asli lebih baik dangdut bule ini”. Lagu lainnya adalah Bule Bule (Fazal Dath), Kata Pujangga (Rhoma Irama), dan tentu saja Awet Muda (Rhoma Irama). Nuansanya agak berbeda dengan dangdut pada umumnya. Suara Haroen yang yang kental dengan cara bicara bule yang seolah tertahan serta nuansa padang pasir semacam gambus adalah salah satu ciri yang menonjol. Rindu Menanti, misalnya, diramu lebih akustik dan santai. Benang Biru disisipi dengan nada pentatotik Sunda dan duet gitar melodi. Penantian dari Mansyur S digarap dengan agak bossanova.
Di ajang Pasar Malam, pesta budaya campuran Indonesia dan kolonial Belanda, mereka mendapatkan banyak penggemar. Salah satunya adalah Reggie Tielman, satu dari dua anggota The Tielman Brothers yang hingga sekarang masih hidup dan mukim di Slotermeer, Amsterdam, dan kini sakit-sakitan.
Di album terakhir, Belandut (2001), mereka menemukan bintang baru: Inul Daratista. “Mungkin, kami adalah orang pertama yang membuat rekaman Inul. Saat itu dia belum terkenal dan belum membuat album,” ungkap Patrick. Bahkan, untuk kepentingan publikasi di sampul belakang dipajang foto Inul dan Haroen dan diberi judul Haroen Berghuis & Inoel Daratista in "De Bronnen van de Liefde.”Saat itu banyak orang yang suka. Pihak Pasar Malam di Den Haag meminta kami mencari seorang penyanyi dangdut, “ungkap Patrick. Kebetulan, saat itu, Inul sedang manggung di Pasar Malam. “Maka, kami pun merekam suaranya sebelum ia manggung”. Caranya cukup sederhana: Inul van Soerabaja mendengarkan aransemen mereka dari headphone, dan langsung direkam. Dua lagu itu bertajuk Sungguh Sayang dan Bisik Tetangga dan direkam pada Juni 2000, setahun sebelum album ini rampung.

Mereka bahkan membuat lagu khusus sebagai pengantar: Lebih baik Inoel. berdurasi semenit dan hanya berisi vocal dan a capella dan pengantar dari Inul: “Masih bersama Dangdut Bule untuk Anda semua, saya akan berduet dengan Mister Haroen…”.
Tamu lain adalah Age Nebiish Klesmer Orkest di tembang Gadis Hindia. Di album kedua itu, mereka sudah merekam lagu-lagu karangan sendiri, yang sebagian besar digarap oleh Berghuis. Di antaranya Huil iet Meer, dan Schral onvruchtbaar Zand. Untuk Huil niet Meer, lagi ini tercipta atas permohonan DJ Babba dari London. Album kedua ini diperkuat pula oleh Maxim van Wijk, penggebuk perkusi.
Latar belakang budaya Indo dan letak geografis yang jauh dari asal dangdut membuat racikan Dangdut Bule bereksperimen dan menciptakan genre hibrida. Sayang, band itu tak bertahan lama. Kini, albumnya menjadi harta karun bagi kolektor benda budaya langka. Dan saya beruntung mendapatkan keduanya.(Ekky Imanjaya, pengamat Indo-rock, Amsterdam)

Dimuat di Majalah Trax edisi Desember 2008