Friday, 26 December 2014

(10 Tahun Tsunami Aceh): Cut Puteri, Wanita Muda Perekam Tragedi Tsunami Aceh

10 Tahun lalu, Tsunami mengguncang Aceh. Mari kita berdoa untuk para korban. Alfatihah.


Berikut, tulisan saya setahun setelahnya, mewawancarai Cut Putri, yang merekam kejadian tsunami dengan berani, dan disiarkan pertama kali di MetroTV.


Cut Puteri, Wanita Muda Perekam Tragedi Tsunami Aceh


Oleh: Ekky Imanjaya 
 ---------------------------------

Masih ingat dengan rekaman bencana tsunami di Aceh yang ditayangkan Metro TV sejak 28 Desember, dua hari setelah kejadian? Perekamnya tampak begitu tenang, tabah, dan berani mensyut semua kejadian. Perekam itu adalah Cut Putri, wanita 24 tahun berdarah Aceh yang tinggal di Jakarta dan kuliah di Bandung. Siapa Cut Putri? Mengapa dia merekam tragedy tsunami itu dengan begitu tegar? Dan bagaimana proses kejadian itu di matanya?

Cut Putri, bersama abi (ayah), ummi (ibu) dan Syarif abangnya berada di aceh sejak 16 Desember, dan sudah memegang tiket pulang untuk tanggal 27 Desember. "Kami ke Aceh dalam rangka menghadiri pernikahan kakak sepupu pada 18 Desember," tuturnya. "Pada 26 Desember, kebetulan ada acara Tung Dara Baro, acara mengantarkan pengantin perempuan ke mempelai pria. Mungkin kalau di Jawa namanya ngunduh mantu," jelasnya. Saat itu, mereka bersama keluarga besar lainnya berada di rumah Kombes Sayed Husaini, Kabid Humas Polri NAD--omnya yang disapanya dengan Pak Cik. "Kebetulan mobil Pak Cik untuk membawa pengantin perempuan ke Lam Jame, ke tempat mempelai pria. Acara rencananya mulai jam 10 pagi, dan kita pagi-pagi sekali sudah persiapan dari rumah menuju lokasi" lanjut Putri. 

Jam 8.00, di hari kejadian, keluarga besar itu mulai sarapan. Tiba-tiba terasa gempa, awalnya pelan. Gempa itu tidak berhenti-berhenti. Keluarga besar itu keluar rumah menuju taman. "Lantas ada gempa susulan yang super dasyat, yang bisa membuat ibu-ibu yang berpegangan di pagar berjatuhan. Gempa itu berlangsung 20 menit tanpa henti," tuturnya. 

Kebetulan Putri yang memang senang mensyut kejadian unik itu sudah menyiapkan Handycam sejak awal. Begitu gempa kecil, Putri langsung masuk ke dalam rumah, mengambil handycam dan hand phone untuk menghubungi keluarga lain, dan secepat kilat keluar lagi. "Saya On Camera, jam 8.15, 15 menit sejak gempa kecil," ungkapnya. 

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Awalnya sayup-sayup, seperti deruan mobil. Semua orang bertanya-tanya. Untuk menenangkan, Putrid an ayahnya menyatakan kalau itu suara mobil. Lantas Sang ayah membisiki Putri bahwa itu adalah gejala tsunami. "Kebetulan waktu kecil kami tinggal di Papua, dan sering terjadi gempa, jadi sudah biasa gempa dan air laut surut. Sehingga mengerti hal-hal semacam itu. Tapi kami tidak bilang apa-apa kepada ibu-ibu yang lain," tutur wanita berjilbab rapi itu. Lama-lama suara itu makin keras menggaung-gaung seperti suara angin dan pesawat yang sangat keras, "Seperti kita berada di bandara dan pesawat di depan kita," Putri bermetafor. Tiba-tiba di hadapan mereka ada ombak setinggi 8-9 meter, dan pohon kelapa "berlarian". 

"Kejadian itu hitungannyan nol koma nol sekian detik. Pada awalnya, penduduk sekitar malah mendatangi sumber suara karena ingin tahu. Tapi karena melihat ombak besar, mereka berlarian menuju rumah kami, dikejar ombak," jelas Putri, tenang. Putri menggambarkan bahwa air tidak merayap atau mengalir, tetapi berdiri seperti tembok, dan isinya lumpur hitam. Sang ayah ayah berteriak:"Ke atas! Ke Atas!". Dan semua orang, termasuk beberapa tetangga, masuk ke atas rumah Pak Cik, dan ada juga yang lari ke tempat lain. "Itu adalah keputusan yang sangat cepat. Kejadiannya cepat sekali. Putri yang paling akhir naik, setelah Bantu anak-anak. langsung menaiki beberapa kaki tangga, karena air mengejar dan sudah di ujung kaki," katanya.

Begitu lompat dan merasa aman, kamera langsung on lagi. Begitu Putri tiba di teras lantai dua, air sudah sejauh mata memandang. "Ya sudah, diatas kami berdzikir dan minta tolong kepada Allah, karena tidak bisa kemana-mana lagi," ujarnya. Gambar tampak bergoyang, karena rumah itu bergoyang-goyang dan seakan-akan ingin ikut hanyut. "Lantai dua kami tidak standar, sekitar 7 meter. Jadi, saat lantai dua di rumah lain terendam, di rumah kami tidak terlalu, meski air sudah mulai masuk," ungkap mahasiswi yang kuliah di Bandung itu.

Tapi mengapa Putri mensyut kejadian itu begitu lama. Apa tidak ada perasaan cemas atau takut? "Alhamdulillah, ini pertolongan dari Allah, Putri mendapatkan ketenangan. Dalam keseharian, memang, apapun yang terjadi, Putri mengikhlaskan segalanya untuk Allah. Saat itu, Putri mau hidup atau mati, itu terserah Allah. Karena Allah memberikan yang terbaik. Karena masih hidup, Putri harus melakukan sesuatu yang bermanfaat, salah-satunya mengambil gambar itu," katanya, panjang lebar.

Pada waktu merekam gelombang itu, Putri yang punya moto "Laa Takhof wa laa tahzan. Innallaha Ma�ana, (jangan takut dan jangan sedih karena Allah bersama kita)" itu berdoa :"Ya Allah, ini Putri masih hidup, Putri ingin merekam kejadian ini agar bisa diperlihatkan pada orang-orang nanti. Karena Putri yakin orang luar tidak tahu apa yang benar-benar terjadi, dan dampaknya ke Aceh pasti sangat luar biasanya. Kalau memang Putri tidak punya umur lagi, tolong selamatkan kaset ini agar orang lain bisa melihatnya". Jadi, memang tujuan rekaman itu agar orang lain tahu tentang kejadiannya secara visual.

Saat kejadian, Putri mensyut gelombang itu selama 60 menit. Lengkapnya, ada 3 kaset, termasuk saat di pengungsian pada awal-awal kejadian. Putri memang punya hobi merekam gambar yang aneh-aneh dan unik-unik, sejak dapat hadiah handycam dari ayahnya 5 bulan yang lalu.

Gelombang tsunami telah membuat keluarga besar Putri meninggal dan hilang tanpa kabar. "Di keluarga saya, alhamdulillah Putri, Abi, Ummi, dan Bang Syarif selamat. Di rumah Pak Sayed, tiga hilang dan Pak Sayed meninggal," kata bungsu dari empat bersaudara itu.

Setelah air surut, keluarga besar itu tercerai berai, mengungsi ke berbagai tempat. Karena setelah itu pun gempa keras sering terjadi. "Kalau terjadi gempa lagi, rumah itu bisa ambruk, tidak bisa bertahan lagi.Yang penting menjauhi pantai dulu, kea rah yang lebih tinggi. Putri baru pulang pada hari kedua, ada yang empat-lima hari baru pulang. Putri mengungsi ke daerah Sareeh, pegunungan, sekitar 6 jam perjalanan," bilangnya. . Putri jalan kaki 3 km dari rumah. Saat itu ada yang berteriak kalau air naik. Mereka pun panic dan mencegat bis. Bis yang sudah sesak itu berhenti, dan begitu sudah mengangkut orang, langsung ngebut. Putri tetap dengan tabah mensyut kejadian di bus. Tangan kanan putri men-syut, tangan kiri membantu mengambil barang-barang yang berisi makanan dan apa saja. Di Sareeh, Putri hanya dengan istri Pak Sayed. Yang lain terpencar. Besoknya, putri ke Lhung Bata dan bertemu disana.

Tanggal 28 Desember, Putri dan keluarganya pulang ke Jakarta khusus untuk mengantarkan kaset rekaman itu agar dilihat dunia, untuk lalu kembali ke aceh pada 31 Desember. " Di Bandara Aceh, walau sudah hari ketiga, sama sekali tidak ada kegiatan, termasuk sukarelawan dan bantuan apa pun.Waktu tiba di Bandara Cengkareng, saya tidak bawa apa-apa kecuali baju yang sudah terkena Lumpur dan tanpa alas kaki. Banyak orang bertanya �dari mana, mana sepatunya, apa ada banjir?�"

31 Desember, Putri kembali balik ke Banda Aceh dengan membawa obat-obatan dan relawan dari keluarga. "Alhamdulillah tidak ada kesulitan kembali kesana. Kami tidak ke Medan, tapi dibuang ke Batam dan penerbangan ditunda selama 7 jam. Para relawan kecapekan, apalagi tiba di Banda Aceh tengah malam. Bahkan tahun baru pun Putri lupa. Disana, kita bolak balik, termasuk ke Biruen saat pemakaman Pak Sayed. Dan saya tetap mensyut," tukas putri dari pasangan Syarifah Aqidah dan Teuku Haliman ini.

Semua orang Aceh mungkin mengalami trauma dengan berbagai kadar. "Tapi sampai mempertanyakan keberadaan Allah, Putri rasa tidak. Karena Putri tahu orang Aceh agamis dan percaya dengan kasih saying Allah dan tidak pernah marah kepada Tuhan. Kecuali ada bisikan dari pihak luar. Kalau jiwa orang Aceh, Putri kenal baik,"imbuhnya.

Semangat ternyata membuat fisiknya menjadi kuat, sehingga tidak jatuh sakit. 
"Saat disana seperti hidup di hutan lah, harus siap fisik dan mental. Jangan sampai menyusahkan orang lain," ujarnya, seolah menjadi nasihat bagi para relawan yang ingin ke Serambi Mekkah.

Putri memang sering ke Aceh. Terakhir, 5 bulan sebelum kejadian, Putri juga ke Aceh karena ada sepupu yang menikah. "Setahun minimal dua kali, karena keluarga besar disana, disini hanya merantau, "jelas aktivis yang hingga kini masih bersemangat menggalang dana untuk Aceh itu.

Yang lebih mengagumkan, Putri ingin setiap hal focus untuk menyelamatkan Aceh. Sehingga video rekaman itu diserahkan begitu saja tanpa ada sepeser uang pun. Bahkan Putri tidak mau digali mengenai masalah pribadi, seperti tempat kuliah dan keluarga. "Biar mereka focus dulu ke rakyat Aceh dahulu", komentarnya.

Dengan rekaman yang ditayangkan cepat, dunia mengetahui dasyatnya kerusakan akibat tsunami. Dan dunia pun tergerak nuraninya. (eimanjaya@...).

Sebagian dimuat di majalah Lisa.

(4 Februari 2005) 

No comments:

Post a Comment