Tuesday 24 November 2015

Leftist Islam Indonesian Style

By : Ekky Imanjaya

My old article, 22 November 2010

In 1990s, Muslim essayist and artist  Emha Ainun Nadjib wrote:“If people feel that they are being oppressed or jobless for a long time, or want to go away from poverty, where should they address to share their feelings and emotions? Are Islamic institutions such as NU (Nahdhatul Ulama, the awakening of Islamic Scholars) or Muhammadiyah willing to help them?”. He mentioned the two biggest Indonesian Islamic organization. Surely this is just a rhetorical questions since the institutions have many social programs.
Nowadays, many Muslims in Indonesia highlight Islamic teachings more to shariah and fiqih. For me, Islam is more than that, Islam is way of life: attitude, ethics and values (such as justice, honesty, unity, peace, respect, discipline, etc), brotherhood, etc. Thus,people with fiqih-shariat-minded mostly make reduction of the holy religion.
Al Quran already remind Muslims:'They were overwhelmed with opprobrium in wherever they are, unless they adhere to the religion of God and the covenant with man.''(Surat Ali 'Imran: 112).
According to Muslim scholar Nurcholis Madjid, Islam is not just having a concept of “jihadagainst” but also   “jihad for”--in this case jihad for eradicating poverty, corruption, and injustice, and defend poor, weak, and oppressed people.
Term of Kiri Islam is not rooted from “Ashabul Yamin (right party, the ones who go to heaven) and Ashabul Syimal (left right, which belong to hell) in Quranic term, nor “Kiri” as Communism and “Kanan” as the right wing. Hassan Hanafi, intelectual from Egypt, is the one who remind us about Al Yasar Al Islami (Leftish Islam), in 1981. He used the term “left” because, related to academical image, the word means “struggle” and “criticisme”. The esence of al Yasar al Islami is to focus all potential resources to face the recent problems, which are imperialism, zionism, and capitalism (as external threads) and poverty, opression and setbacks (as internal threads).
Al Yassar al Islami belongs to repressed, opressed, poor people, to defend the need of all mankind, to take over the right of poor people from rich people, to empower the weak and to make human being equal, and make no difference between us except related to takwa and piety” Hanafi writes.  
From 1930s, HOS Tjokroaminoto, figure of Sarekat Islam (the first organization that underlines nationalism, it had thousand members from many ethnical groups all over Indonesia) wrote a book titled “ Islam and Socialism”. Sarekat Islam later divided into two: Sarekat Islam Merah (Red SI) and putih (White SI). Red SI was closer to communism, and later many of its member joined Indonesian Communist Party. There is an Islamic figure, Haji Misbach,who combines Islam and Marxism to fight against colonialism. And in 1950s, Masjumi, the biggest Islamic party in 1955 election, had close relation with Partai Sosialis Indonesia.
In modern Indonesia, Islamic figure and leader of Islamic boarding school in Rembang,KH Mustafa Bisri, wrote a book titled  Saleh Sosial, Saleh Ritual (Social piety, ritual piety) which highlights the need to act rather than just being alone in a mosque. 
In Islam, there are many teachings about those matters above.  Many verses in Islam to protect, defense, and empower  poor and weak people, orphan children, both Dhuafa (the weak) and mustad’afin (the oppressed, forced to be weak).
For example, The Messenger Muhammad (Peace be upon Him) stated: “Be afraid, from the curse of the oppressed as there is no screen between his prayer and Allah”. In al-Qashas 5, God remind us: “And We wished to be Gracious to those who were being depressed in the land, to make them leaders (in Faith) and make them heirs”. Prophet Muhammad said: “The highest jihad is to talk the truth in front of dictator regime”. Ali bin Abi Thalib, the fourth caliph said: “If poverty is a man, I will kill him!”.  
Let’s  we reflect ourselves toward the saying of Muhammad below:  
Help your brother, whether he is an oppressor or he is an oppressed one.” People asked, "O Allah's Apostle! It is all right to help him if he is oppressed, but how should we help him if he is an oppressor?" The Prophet said, "By preventing him from oppressing others”.

Kekerasan Berjubah Agama dan Sinema

Oleh Ekky Imanjaya, 

Tulisan lama, 24 November 2008.

Tiba-tiba trio Bom Bali I yang baru dieksekusi (9/11) mendapat banyak simpati. Tidak sedikit yang menganggap Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas pahlawan. Ratusan orang mengiringinya ke pemakaman. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya mati syahid termasuk salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Ridwan (Inilah.com, 9/11). MUI pun perlu berembuk apakah ketiganya itu mujahid atau teroris (Inilah.com, 9/11). Sebelumnya, banyak wacana tentang Jihad vs Teroris antara lain yang digelar TV One (29/10) antara Guntur Romli (Jaringan Islam Liberal) dengan Abu Jibriel (wakil amir Majelis Mujahidin). Padahal bagi saya sangat jelas beda antara kafir dzimmi (non-Muslim di lingkungan mayoritas Islam yang harus dilindungi) dengan kafir harbi (kafir yang harus diperangi di medan laga). Saya tak habis pikir, kok bisa? Belum lagi kekerasan bernafaskan agama yang diniatkan untuk “membela Islam” tapi tidak sedikit yang menganggapnya varian lain lagi premanisme. Sebenarnya, bagaimana representasi kekerasan berjubah agama dalam film?

Dengan gagah, Imam Samudra menulis surat wasiat yang sangat keras: “ Bercita-citalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir”. Bandingan dengan dialog ini: “Hanya ada satu Tuhan, Tuhannya Bani Israel! Dan Dia Maha Keras dan penuh dendam. Dan kita telah sekian lama mengejek-Nya , dan kini Dia minta ganti rugi dengan darah!”. Ucapan ini dilontarkan oleh Mrs Carmody, sosok fundamentalis agama di film The Mist hasil adaptasi novela Stephen King yang diedarkan Ramadhan silam. Sosok cult itu menyatakan bahwa bencana itu hadir karena agama dilecehkan dan “syariat” dilanggar oleh kaum pembela aborsi, dan hanya dengan cara berkorban di jalan agamalah (berdasarkan penafsirannya) solusinya. Mirip dengan Jerry Falwell saat kejadian 9/11 yang menyalahkan tragedi itu kepada kaum paganis, aborsionis, feminis, dan gay serta lesbian. Sosok Carmody itu sangat karismatis dan pada akhirnya punya banyak penganut yang akan menuruti apapun “fatwa”-nya, termasuk membunuh di jalan Tuhan. Ia bahkan menyatakan bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. 

Memang, kekerasan spiritual--dari yang verbal hingga aksi pembunuhan--adalah fenomena global. Di Indonesia juga sungguh terasa, walau tidak sama persis. Bedanya, belum ada sebuah film Indonesia yang mengangkat isu ini--kecuali beberapa, seperti Kala dari Joko Anwar yang menyajikan dengan gaya komedi satir (ingat adegan “preman berjubah putih” merusak panti pijat tuna netra?) dan dalam hitungan menit saja.

Mungkin saja kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan pemaksaan itu niatnya baik. Demi dakwah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Tapi bagaimana pun, niat yang baik jika dikerjakan dengan cara yang tidak baik di mata orang awam, tentu citranya memburuk. Maka, tak sedikit yang menyebut mereka preman berjubah putih.

Mengapa timbut gejala menghalalkan kekerasan itu? Ada beberapa faktor yang mungkin. Alasan pertama adalah ingin bertausyiah (saling mengingatkan) dalam kebenaran dan kesabaran, seperti yang sering disitir para khatib. Tapi ada yang agak luput soal tausyiah ini: Bertaushiah dalam kesabaran dan kasih sayang (marhamah) (Al-Balad 17). Di sini, kata “sabar” diulang lagi. Artinya, dituntut kesabaran ekstra untuk mengubah keadaan. Shobron ala shobron seperti kata Allahyarham KH Rahmat Abdullah dalam Sang Murabbi (Zul Ardhia, 2008). Yang tak kalah penting, ada satu konsep yang yang urgen untuk disebarkan: marhamah. Bukankah kita diminta untuk berjidal (berdebat) dengan cara yang ahsan (lebih baik), dan bermauidzah hasanah (perkataan yang baik). Kasih sayang juga sering diulang, seperti dalam surat Maryam 96 atau Thaha 44. Bahkan secara tersurat disebutkan: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Mumtahanah, 7).
Mengapa sepatutnya berlaku lembut dan tidak kasar? Karena “…disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereda dalam urusan itu” (Ali Imran 159).

Jadi, ada banyak ayat kasih sayang, walau pun itu tidak menafikan ayat-ayat yang tegas seperti “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (Al Mujaadalah 22). Tetapi betapa banyak kisah dalam sejarah yang menunjukkan hal ini. Misalnya, bagaimana dua pasang cucu nabi, Hasan dan Husain, tidak langsung menegur orang tua yang salah berwudhu, tetapi salah satunya pura-pura salah dan lainnya membetulkan. Atau bagaimana Rasulullah membiarkan ada anak kecil yang buang air kecil di masjid karena “najis itu bisa dibersihkan, tapi bentakan kita akan tetap ada di hatinya tak bisa dilenyapkan”.

Kemungkinan kedua, kelompok itu merasa diri paling benar dan suci dan yang paling berhak masuk surga. Padahal sudah tegas diingatkan bahwa “…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang laing mengetahui tentang orang yang bertakwa” (An-Najm: 32). Untuk soal ini, saya teringat dengan adegan favorit saya di film Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Saat itu, seorang napi menasihati Fahri yang sedang jatuh mentalnya.
“ Istighfar, Indonesia! Kau sombong, Fahri! Kau merasa dirimu paling suci, bahkan di hadapan istrimu sendiri! Allah sedang berbicara denganmu!”. Sepertinya, sang napi tidak hendak menegur Fahri seorang, tapi, sesuai dengan dialognya, seluruh bangsa Indonesia. Apalagi ada celetukannya bahwa Tuhan tidak hanya milik orang-orang suci tapi juga para pendosa.

Ketiga, syariah-minded,atau fiqih-oriented. Adegan penjara di atas sesungguhnya mengajarkan kita kesabaran dan keikhlasan. Masalahnya, apakah sabar dan ikhlas otomatis kita dapatkan jika kita telah menguasai ilmu fiqih dan syariat bahkan mengamalkannya? Tidak! Sekali kali, tidak! Keduanya di dapat dari dimensi spiritualitas atau tasawuf. Tanpa sisi keruhanian (dan akhlak) yang membuahkan kesadaran, hukum-hukum positif ditakutkan akan kering dan sekadar “menggugurkan kewajiban”. Artinya, Islam tidak hanya fiqih dan syariat, tetapi juga ukhuwah, akhlak, politik, pendidikan, kebudayaan, kesucian hati pribadi , menghormati minoritas (ingat konsep kafir dzimmi?), dll dll. Islam itu kaaffaah, menyeluruh, mencakup semua aspek peradaban, tidak selayaknya direduksi hanya dengan syariat atau fiqih.

Ada satu kalimat yang bisa merumuskan gejala-gejala itu. Kalimat ini berasal dari film pendek Alejandro Innaritu dari omnibus 9/11. Katanya: “Cahaya telah membutakan mereka”. Cahaya, yang harusnya menerangi, justru menutupi. Padahal cahaya harusnya seperti yang dikatakan Rumi dan dijadikan kalimat penutup di film Gubra karya Yasmin Ahmad: “Cahayanya satu, lampunya beragam”. Ada banyak cara untuk menyalakan cahaya ilahiah, dan sudah pasti tujuannya tidak untuk membutakan iman, apalagi membuatnya padam.

Berbicara soal spiritualitas, Sayyid Quthb menyatakan dalam Fi Zilalil Qur’an bahwa hal-hal internal tiga kali lipat lebih berbahaya terhadap iman dari hal-hal eksternal. Karena itulah, dibutuhkan tiga ayat untuk berlindung kepada Allah dari bisikan hati yang membuat waswas (surat an-Nas), sementara hanya satu ayat untuk berlindung kepada kejahatan malam (surat al-Falaq). Dan karena itulah ada prinsip sufi “Siapa yang mengenal jiwanya, akan mengenal tuhannya”. Dan bukankah Islam diawali dari perenungan ke dalam diri sendiri di Gua Hira? Dan setelah itu penguatan Tauhid selama 13 tahun di Mekkah, sebelum akhirnya membangun hukum, ekonomi, dan lainnya di era Madinah? Artinya, Islam tidak langsung hadir dengan hukum-hukum, pelarangan dan pembatasan.

Senada dengan Quthb, aktris Marcia Gray Harden, sang pemeran Mrs Carmody, dalam sebuah wawancara mengenai karakter yang diperankannya, menggarisbawahi: “ Iblis di dalam diri lebih berbahaya dari iblis di luar diri.”.

Semoga tidak ada lagi kekerasan dalam kemasan agama di negeri ini dan di mana pun. 

Sunday 15 November 2015

Anticipating Post-Terror Terror (God forbid)


Untuk Bahasa Indonesia, silahkan lihat di bawah.

Just in case any of you get Attack or discrimination for being a Muslim (especially after #parisattacks


Where To Report Incidences

Please report to the Police in the first instance by ringing 101
if not an emergency. Please also report to
SARI (Support Against Racism and Inequality) and any of the other agencies listed.
These are taken from the leaflet.

The Police - Call 101 - If an emergency response is not required.
The Police - Call 999 - If an emergency response is required.

SARI - 0800 171 2272 (freephone) or 0117 942 0060

BMCS (Bristol Muslim Cultural Society) - Email: bmcs@bmcs.org.uk.

BMFF (Bristol Multi Faith Forum) - Email: info@bristolmultifaithforum.org.uk.


****************************************************************
 
At a national level we would strongly encourage contacting

Tell Mama

MAMA is a public service for measuring and monitoring anti-Muslim attacks.

Reports can be submitted at the following link:

Please also read the following link for a summary of categories of abuse:

What are the classifications of attack?

Attacks are classified as follows:
1. Extreme Violence – i.e, a violent attack on a person / property
that has the potential to cause the loss of life or Grievous Bodily Harm (GBH).

2. Assault – i.e, a physical attack against a person which
does not pose a threat to their life and is not GBH. This includes
objects being thrown at someone, even if the object misses.

3. Damage and Desecration of Property –
i.e, this includes anti-Muslim graffiti being daubed
on Muslim property and damage to vehicles motivated by anti-Muslim hatred.

4. Threats – Any clear and specific threat, whether
physical, verbal or written. If the threat is not clear and
specific then the incident should be recorded as Abusive Behaviour.

5. Abusive Behaviour –
Verbal or written anti-Muslim abuse.

6. Anti-Muslim Literature –
Mass produced and mass mailed literature with anti-Muslim content.

**************************************************************** 
For Norwich and Norfolk are, click:  http://www.hatefreenorfolk.com/
Other website: SARI (Support Against Racism and Inequality):


"TERROR" pasca "TERROR".
Setelah ada aksi terorisme, maka terkadang ada saja perilaku tak menyenangkan ditimpakan kepada Muslim (minoritas) yang berada di luar negeri, khususnya Eropa, AS, dan Australia. Maklum, kebodohan, tidak mau verifikasi (tabayun), buruk sangka  (suudzon), fitnah dan kabar burung, serta  kekerasan ada di mana-mana. Tindakan2 tidak menyenangkan ini khususnya menimpa saudari-saudari yang berjilbab, alias yang secara lahiriah menunjukkan identitas keislaman mereka.

Tapi, "untunglah", kalau di Inggris Raya, sehari setelah kejadian #parisattacks , komunitas muslim setempat menyebarkan informasi bagaimana dan apa yang harus dilakukan jika kita mendapatkan perilaku diskriminasi, ancaman, serangan dll. Di antaranya, selebaran bertajuk " "Tackling Islamophobia Bristol", yang mendefinisikan apa itu "attack" dan ciri-cirinya.

Salah satu kiatnya adalah  menyuruh untuk mencatat dan merekamnya. Dan menyertakan beberapa tautan, baik dalam skala lokal dan nasional.
misalnya ke sini:

http://tellmamauk.org/
atau untuk yang di Norwich dan sekitarnya, bisa ke sini:
http://www.hatefreenorfolk.com/

Semoga kami, dan saudara-saudara kami yang Muslim dari negara manapun, terhindar dari kejadian yang tak diinginkan. amin.

Jadi berpikir, apakah lembaga serupa--yang melindungi minoritas dari berbagai ancaman, gangguan, dan hambatan--sudah ada di Indonesia, di tingkat kotamadya atau negara ya? Bisa tolong diinfokan di sini? Trims berats.