Sunday 30 March 2014

A Brief Cultural History of Indonesian Cinema: Proyek Besar yang “Kentang”

 A Brief Cultural History of Indonesian Cinema: Proyek Besar  yang “Kentang”


Info buku:
Judul: A Brief Cultural History of Indonesian Cinema
Penulis: Thomas Barker, Eric Sasono, Corneles Joris, Lisabona Rahman, John Badalu, Deborah Gabinetti.
Penerbit: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Edisi: Perdana, 2012
Tebal: 196 hal                                                                                                             

Sekitar 20 tahun setelah terbitnya buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950)—diterbitkan Dewan Film, disunting oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan SM Ardan--akhirnya terbit juga buku seputar film Indonesia atas inisiatif dan dana Pemerintah.  Judulnya: A Brief Cultural History of Indonesian Cinema Tidak tanggung-tanggung,  proyek buku ini dipimpin langsung oleh Sulistyo Tirtokusumo (Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman), dengan sampul hard cover bercita rasa mewah,  ditulis seluruhnya dalam bahasa Inggris oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya, penuh dengan gambar-gambar ekslusif. Dan, ini yang menarik: buku yang dirilis secara resmi pada Hari Film Nasional  tahun lalu  ini  dibagikan cuma-cuma dan bisa diminta ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudah cukup banyak buku dan artikel yang mengkaji sejarah film Indonesia secara kronologis. Namun, yang menarik, dari segi pembingkaian perspektif, buku ini berbeda dari buku dengan topik yang serupa, katakanlah karya Krishna Sen, Karl Heider, Salim Said, dan Misbach Yusa Biran.  Kelebihan pertama buku ini  adalah, banyaknya trivia alias data-data, yang selama ini sedikit diketahui banyak orang, yang digarisbawahi oleh para penulisnya. Misalnya, pada bab pertama, The Early Years 1926-1945, Thomas Barker mengemukakan info tentang perjalanan Gaston Melies (saudara kandung Georges Melies, Bapak Special Effect) selama 1912-1913 keliling Asia Pasifik dan mampir di beberapa kota di Indonesia untuk membuat film (sayangnya, dia tidak menyebut bahwa Gaston juga memutar film-film abangnya kala singgah di Nusantara). Atau, mungkin kita tahu bahwa Charlie Chaplin datang ke Batavia, Bandung, dan (mengunjungi Walter Spies di) Bali pada 1932, tapi sepertinya sedikit yang tahu tentang info bahwa perjalanan itu membuatnya merenung di era peralihan dari film bisu ke bicara dan membuatnya menulis 50 halaman skenario film bicara pertamanya (soal parodi kolonialisme) yang sayangnya tak pernah dia buat. Bahkan, ada surat Chaplin satu halaman penuh di halaman sebelahnya. Atau info bahwa film pertama yang memakai kata “Indonesia” adalah “Indonesia Malaise”, karya Wong Brothers, 3 tahun setelah Sumpah Pemuda. Atau di bab berikutnya, Lisabona Rahman menyatakan bahwa Djajakusuma mengeksplorasi genre Western/koboi menjadi silat lokal (Tjambuk Api, 1958) dan wayang (Lahirnya Gatotkaca, 1960). Cukup menarik juga pernyataan Deborah Gabinetti bahwa Hollywood pernah  membuat Goona Goona (1932, oleh keponakan President Theodore Roosevelt) tentang Bali—dan beberapa film lainnya juga membuat film dengan latar Bali, hingga Road to Bali yang dibintangi Bing Crosby, Bob Hope, dan Dorothy Lamour sukses dan membuat agen travel Eropa membuat program ke Bali. Atau, Oliver Stone  membuat Savages (2012) di Moyo, NTB.
Foto-foto ekslusif dengan ukuran besar adalah juga kelebihan buku ini. Koleksi Sinematek Indonesia yang jarang diketahui publik akhirnya dirilis juga. Pun dengan foto-foto koleksi KITLV Leiden, khususnya foto-foto seputar bioskop dan, yangmenarik, kursus sinematografi bagi pejabat militer Indonesia di Gambir (1953).
Entah apa karena porsi foto-foto besar ini atau alasan lain, pembahasan menjadi sangat sedikit, sementara bahan kajian dan area ekplorasinya sangat luas dan banyak. Akibatnya, ulasan menjadi “kentang” alias kena tanggung . Banyak elemen yang tidak dieksplorasi dan dipaparkan dengan baik, ditambah referensi kutipan hanya ditaruh di bagian belakang yang membuat bingung, atau kemungkinan salah baca/fokus, pembaca khususnya yang non-Indonesia. Misalnya, porsi  Garin Nugroho   yang sedikit (walau foto-fotonya cukup banyak). Atau perlunya bukti lanjutan soal Joko Anwar, The Mo Brothers, dan Gareth Evans yang mengaku terinspirasi dari jaman emas Film B Indonesia 1980an. Atau elaborasi lebih lanjut tentang bagaimana film-film B era 1980an kembali diedarkan dalam bentuk DVD dan diminati oleh penggemar film Cult. Problema utamanya adalah tidak adanya catatan kaki atau catatan akhir di buku ini—di satu sisi, menjadi kelebihannya karena lebih pop dan ringan, tetapi di sisi lainnya pembaca jadi kurang bisa melacak sumber data, kecuali hanya di daftar bibliografi yang cukup panjang.
Untunglah, sebagian besar penulisnya memang sudah berkecimpung lama di dunia kritik film Indonesia. Eric Sasono, misalnya, adalah peraih 2 piala Citra untuk penulisan kritik film. Lisabona Rahman adalah mantan manajer Kineforum yang juga aktivis film, termasuk dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam. Dan John Badalu acap keliling berbagai festival dunia, pas sekali dengan tulisan yang digarapnya, Positioning Indonesia in the World Cinema. Thomas Barker yang disertasi S3-nya seputar politik ekonomi film Indonesia dan sering melakukan riset era awal film Indonesia, terasa otoratif dalam menulis bagiannya.
Sayangnya, biodata para penulis tidak ada. Ini  membuat pembaca bertanya-tanya dan tidak bisa melacak lebih lanjut tentang latar belakang mereka. Mungkin kita sudah mengenal Eric, John, dan Lisabona, tapi tetap saja perlu dicantumkan sebagai penghargaan kepada mereka dan kemungkinan menjalin jaringan kerja antar pemerhati film Indonesia--apalagi ini juga untuk pasar internasional yang mayoritas tidak mengetahui peta perfilman Indonesia dan para kritikusnya. Untuk sebagian  orang,  Corneles Alberto Joris, misalnya, adalah nama yang tidak banyak orang ketahui—saya hanya tahu dari google bahwa ini adalah nama lain dari Berthy Joris, kordinator efek special film Takut dan kordinator kasting Eat Pray Love. Pun dengan Deborah Ann Gabinetti (kordinator Bali Film Center). Tentu, kalau ada biodata singkat, pembaca tak payah diberikan pekerjaan rumah yang tak perlu.
Tentu saja buku terbitan pemerintah ini harus diapreasi setinggi-tingginya, dan menjadi kado Hari Film tahun lalu yang manis untuk semua pencinta dan pekerja film Indonesia. Sayangnya, proyek besar dan jarang-jarang ada ini kurang maksimal dan terasa masih, mengutip anak gaul,  “kentang” alias “kena tanggung”.  Mungkin kalau satu bab dielaborasi tersendiri menjadi satu buku, alias memecah buku ini menjadi buku seri beberapa jilid, penulis bisa lebih luas mengeksplorasi da mengkaji wilayahnya. Karena memang sejarah (budaya) sinema kita harus diperlakukan dengan penuh kepatutan, dan sungguh sayang kalau hanya “brief”.



Tuesday 11 March 2014

Kegigihan Jafar Panahi

Kegigihan Jafar Panahi

Film, Kenyataan, dan Representasi

Senin, 13 Januari 2014 10:17 WIB
Film, Kenyataan, dan Representasi
Penulis : Ekky Imanjaya
Apakah film bisa menangkap kenyataan? Apakah film dapat menjadi imitasi , refleksi atau cerminan dari realita?  Atau mungkin  potret dari kenyataan?

Saya acap kali membahas soal ini, tetapi kasus baru selalu muncul seputar topik di atas, khususnya berkaitan dengan film dan penafsiran sejarah, atau “kebenaran” atas realita. Yang masih hangat tentu saja adalah film Sukarno yang dianggap penyimpangan sejarah dan character assassination dari Sang Proklamator (Kompas 19/12 2013).  Kasus lainnya adalah protes Keluarga Besar Simamora se-Jabodetabek terhadap Maaf Saya Menghamili Istri Anda yang karakter utamanya, Lamhot Simamora,  dan  kisah pekerjaan dan keluarganya, dianggap sama persis dengan salah satu anggota mereka (Kompas 21/6 2007). Padahal sudah jelas bahwa filmMaaf adalah rekaan alias khayalan, yang berada pada semesta reka-percaya, bukan berdasarkan fakta, atau adaptasi kisah nyata.
Saya termasuk yang setuju dengan teori Representasi (dan encoding/decoding), khususnya yang dijabarkan oleh Stuart Hall dan kawan-kawan.  Media khususnya Film, mau fiksi atau dokumenter, bukanlah cerminan dari Realita, tapi sekadar representasi dari kenyataan-kenyataan. "kenyataan" dalam film adalah "kenyataan" yang dipersepsi, diserap ditafsirkan, dimaknai, dipilih, dipilah, dibongkar, di(de)konstruksi oleh sutradara dan tim kreatifnya (dengan berbagai latar belakang budaya, pendidikan, dll) dari banyak realita yang ada berdasarkan tujuan-tujuan tertentu dari mereka, dan ini sah-sah saja. Jadi, itu hanya salah satu tafsir saja atasnya.
"Realita" dalam sinema adalah jawaban atas pertanyaan "realita apa?", "realita yang mana?", dan "realita menurut siapa?", sebagaimana ditulis Christine Gledhill dalam Genre and Gender: The Case of Soap Opera,  kalau ternyata dianggap cetek bahkan menyimpang, maka sebanal itu pulalah isi kepala kreatornya. Dan hal itu   tidak mengurangi nilai "realita-realita" yang ada di seputar subyeknya dalam pandangan dan pemaknaan penonton. Karena, manusia sebagai aktor sosiallah yang membangun makna. Cerita di dalam film adalah konstruksi pembuatnya (yang memilih realita-realita tertentu untuk dimasukkan ke dalam karyanya), dan penonton pun memproduksi makna. Proses itu terjadi dalam sebuah sistem bahasa (dalam hal ini: bahasa film).  Maka, di dalam dunia fiksi seperti film atau, “realita” selalu “rekayasa”berupa konstruksi-konstruksi,termasuk di dalam aliran realisme atau dokumenter sekali pun. Untuk dokumenter, misalnya, siapa yang dipilih untuk diwawancara atau bagaimana meletakkan kamera saja sudah merupakan pilihan dari kenyataan versi pembuatnya.
Di sisi lain, seperti sudah disinggung di atas,  penonton juga punya otoritas penuh untuk menafsirkan sebuah teks fiksi, dan tak harus sesuai dengan pesan atau tujuan pembuatnya.
Lihatlah film biografi atau sejarah lainnya. Bandingkan, misalnya, Antara sudut pandang The Birth of a Nation dengan Lincoln  tentang dihapusnya perbudakan di Amerika Serikat. Atau cek film-film tentang Abraham Lincoln (dari yang “lurus-lurus saja” hingga yang fantastik macamVampire Hunter dan Abraham Lincoln Vs. Zombies)
Karena saya belum menonton Sukarno dan kasus di film Maaf sudah cukup benderang, saya akan membahas kasus lain berkaitan dengan representasi dan realita.  Pada Desember 2012, saya diundang ke  Sekolah Menulis Dokarim, Banda Aceh untuk menjadi salah satu pembicara   di diskusi “Lokal Aceh, Lokal Arab: Meneguhkan citra Islam dalam Budaya Lokal”, pada Festival Film Arab.
Konteksnya kala itu, banyak rakyat Aceh yang percaya bahwa Islam identik dengan Arab, dan karenanya semuanya harus  diarabkan, termasuk penanaman pohon Kurma di halaman Masjid Baiturrahman. Karena itu, tujuan dari festival film ini adalah menunjukkan bahwa boleh jadi Arab lebih tua dari Islam, tapi Islam jauh lebih luas dan lebih universal daripada Arab. Lewat film-film yang dipilih, panitia ingin memperkenalkan situasi keseharian di Timur Tengah, persoalan-persoalan rumah tangga, politik, agama dan sebagainya.
Bagi festival film ini, Arab adalah salah satu aspek budaya saja yang mewakili huruf A, padahal masih ACEH – sebagaimana secara populer dipercaya oleh rakyat Aceh – terdiri dari A (rab), C(ina), E(ropa), dan H(industan).Tengoklah tulisan di belakang kaos panitia mereka: Ini jaman boeroek boeat pikeran dan imajinasi. Siapa bilang Arab itoe Atjeh –Kata DokarimDan lihatlah slogan festival ini: “sinoe Aceh sideh Arab, sinoe sideh hana rab” (di sini Aceh di sana Arab, disini-di sana tidak dekat).
Usaha  ini mendapat resistensi dari beberapa penonton. Tengoklah sebuah pertanyaan sesaat setelah pemutaran film pembuka, Captain Abu Raid:  “Saya kira, film tadi tidak menggambarkan Arab, malah lebih dekat dengan gaya Prancis. Dan mengapa masih dibahas soal Arab dan Islam? Arab itu ya Islam, karena Islam datang dari sana”, ujarnya, yang ngeloyor pergi ketika saya hendak menjawabnya.
Tentu saja, latar Captain Abu Raid, kota Amman, jauh lebih moderat, salah satunya lewat karakter perempuannya yang tak berjilbab dan menjadi pilot,  berbeda jauh dengan Arab Saudi yang melarang perempuan menyetir mobil.Seorang pembicara, seorang sosiolog, juga menolak keras pernyatan  bahwa film tak dapat  dijadikan referensi dalam kebudayaan, karena tidak bisa memotret realita. Buktinya, katanya, film The Corruptor dibuat di Hong Kong, sebuah tempat yang terkenal dengan komisi antikorupsi yang tegas dan sukses. Pun dengan film-film Arab di festival ini, tidak bisa dijadikan patokan bahwa itulah budaya arab “yang sebenarnya”.
Pernyataan tersebut tentu benar, tapi juga sekaligus naïf.  Karena, di samping film-filmnya bernafaskan realisme,  pengkajian dengan pendekatan representasi lazim menjadi alat analisa untuk mengkaji problematika  kemasyarakatan pada sebuah produk budaya seperti sinema, seperti yang dilakukan banyak akademisi dan peneliti di bidang kajian media, kajian budaya, dan ilmu komunikasi. Dan satu lagi, apakah itu, Arab “yang sebenarnya”, karena ada Mesir, Jordania, Suriah, Qatar,Palestina, Libanon, Uni Emirat Arab, dan sebagainya  yang jelas semuanya mempunyai karakteristik kultural yang berbeda-beda (di samping ideologi yang tak hanya satu jenis Islam, tapi juga berbagai madzhab Islam, selain sosialisme, sekularisme, nasionalisme, dan sebagainya). Dan, untuk membuktikannya, silahkan kunjungi Negara-negara itu dan lihat dengan mata kepala sendiri. Atau, alternatifnya, silahkan mengembara lewat film, buku, dan media lainnya.
Representasi dan realita. Topik ini ini agaknya akan terus menjadi polemik yang, jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan dinamika yang positif bagi dunia kritik film.

sumber: http://m.islamindonesia.co.id/detail/1119-Film-Kenyataan-dan-Representasi

East is East, Isu Pembauran, dan Jalan Tengah

Jum'at, 07 Februari 2014 11:02 WIB ( 359 Views )
East is East, Isu Pembauran, dan Jalan Tengah
Penulis : Ekky Imanjaya*)
Film East is East
foto:impawards.com
Apakah memang Timur tak akan pernah bisa bertemu dengan Barat?

Hidup di perantauan, apalagi menetap dalam waktu lama di Barat, punya dinamikanya tersendiri bagi keluarga Muslim. Mulai dari yang teknis (seperti jadwal shalat yang bergerak maju mundur, puasa di musim panas yang durasinya 18 jam, atau mencari daging halal) hingga yang mendasar seperti krisis identitas, rasisme,  dan gegar budaya lainnya.
East is East adalah  sebuah film produksi tahun 1999 yang mengisahkan isu-isu tersebut dengan jenaka tapi dalam. Film yang dilarang di Mesir ini adalah hasil adaptasi dari produksi panggung popular yang ditulis Ayub Khan-Din berdasarkan pengalaman hidup sang penulis yang hidup di tengah keluarga multi-kultural--—skenarionya pun ia tulis sendiri-- dan meraih  British Independent Film Award dan London Critics Circle Film Award. Dibesut oleh Damien O’Donnel—yang juga meraih banyak penghargaan berkat film ini—East is East bercerita tentang keluarga Jahangir “George”  Khan di Salford (tak jauh dari Manchester),  Inggris Utara, tahun 1971. George adalah seorang imigran asal Islamabad, Pakistan,  yang menikah dengan Ella, wanita keturunan Irlandia Katolik, dan  berbisnis toko fish and chip. Mereka dikaruniai 6 putra dan 1 putri yang lahir dan dibesarkan di Inggris: Nazir alias Nigel (25 tahun), Abdul atau Arthur (23), Tariq atau Tony  (21), Maneer alias Gandhi (19), Saleem alias Picasso (17), Meenah (14) dan Sajid “Spaz” (11). George sendiri sudah ada di Inggris sejak 1937.
Sang ayah ingin anak-anaknya mengikuti tradisi Islam-Pakistan seperti yang dianutnya, dan mewajibkan mereka ke  ke masjid setiap Jumat. Masalahnya, sebagian besar anaknya, punya pikiran dan gaya hidupnya sendiri seputar cara berpakaian, makanan, agama, menghabiskan waktu luang, dan bergaul dengan lawan jenis. Contoh pertama adalah Nazir, si sulung yang gay, kabur dari rumah karena menolak untuk dijodohkan, dianggap tak menghormati keputusan sang ayah.  Persoalan pun kemudian muncul dalam racikan  yang jenaka namun cerdas dan tajam. Termasuk si bungsu Sajid yang takut disunat, atau Maneer yang diam-diam makan daging babi.  Ada juga rencana sang ayah yang hendak menikahkan Abdul dan Tariq (yang ganteng, hobi dugem, dan berpacaran dengan bule, Stella Moorhouse) dengan sesama Pakistani--Nighat dan Nushaaba yang jelek dan gembrot--secara diam-diam dan sepihak. Hanya Maneer yang mengikuti aturan ketat sang ayah.
Ibu mereka tentu membela anak-anaknya dari ayah mereka yang acap memaksakan kehendak (atas nama “ini baik untukmu, aku lebih tahu darimu”) dan tidak dialogis dan sering menerapkan hukuman yang keras.  “Anak-anak bermasalah karena kamu tidak mendengarkan mereka” tegas Ella. Tapi  ia selalu gagal karena ancaman suaminya untuk membawa istri pertamanya dari Pakistan, di samping ini, menurut klaim George, soal-soal itu  merupakan urusan agama yang belum tentu  dimengerti non-Muslim.
George digambarkan sebagai sosok yang lebih mengutamakan pencitraan dan gengsi, khususnya di hadapan sesama jamaah masjidnya.  Tentu George mencintai keluarganya dan ingin memberikan yang terbaik untuk mereka,  tapi dengan caranya sendiri, yang tak dimengerti oleh anak-anaknya yang sudah tersibghah (terwarnai) dengan tradisi kehidupan di Barat. Ia sama sekali menutup komunikasi dua arah dengan anak-anaknya, dan hanya memberi materi, misalnya jam sebagai hadiah pernikahan. Sebaliknya, anak-anaknya, sudah terbaratkan, sebuah proses wajar, dan merasakan manuver ayahnya adalah pemaksaan yang otoriter. “Saya bukan Pakistani, ayah…Saya lahir di sini”, tukas Tariq.
Judul film ini, dan sekuelnya, dikutip dari pernyataan  sastrawan Rudyard Kipling: ‘Oh East is East, and West is West, and never the twain shall meet.’ (Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, dan keduanya tak akan pernah bertemu) dari puisinya, The Ballad of East and West.Pertanyaannya: benarkah demikian? 
Tiba-tiba saya teringat dengan Tariq Ramadan,  salah satu pelopor integrasi Islam dengan Barat. Ia menulis beberapa buku seputar isu ini, di antaranya To Be European Muslim: a study of Islamic sources in the European context (2001, yang diterjemahkan menjadi  Teologi Dialog Islam-Barat:  Pengalaman Seorang Muslim Eropa). Islam, the West, and  the Challenge of Modernity (2002) dan The Future of Islam in Europe (2003).
Cucu pendiri  Ihwanul Muslimin Hassan al-Banna ini  menggarisbawahi dua kutub seperti yang dilukiskan di film berbujet rendah (hanya 1,9 juta poundsterling) namun  sukses   meraup 10 juta poundsterling di Britania Raya ini.  Antara berperilaku  Barat total seperti layaknya orang Eropa asli, atau hidup seperti tinggal di negara asalnya alias menciptakan “negara dalam negara”.  Dia pun mencoba merumuskan asimilasi dan negosiasi, antara mana yang bisa dinegosiasi (aspek kultural) dengan yang prinsip agama (yang tak bisa diubah).  Intinya:  jalan tengah. "Saya seorang  warga Eropa, yang tumbuh di Eropa. Saya tidak mengingkari akar  kemusliman saya, tetapi saya pun tidak akan menjelek-jelekkan Eropa", ungkap Tariq. Ia  bahkan melontarkan apa yang disebutnya sebagai "upaya  menemukan identitas Muslim Eropa yang independen". Menurutnya, tantangan yang dihadapi Muslim Eropa adalah, "Memisahkan prinsip-prinsip Islam dari budaya tanah kelahirannya, dan membumikan nilai-nilai itu ke dalam realitas budaya Eropa Barat." , sekilas agak mirip pendapat Gus Dur dengan konsep Pribumisasi Islam-nya.Tariq  yakin,  dengan berkembangnya komunitas Muslim Eropa yang mencapai lebih dari  15 juta saat ini, sudah saatnya meninggalkan gagasan bahwa Islam  secara frontal berlawanan dengan Barat. "Saya yakin dapat memadukan  hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama saya ke dalam identitas  diri saya (sebagai Muslim Eropa)", katanya, "Dan ini adalah sebuah  revolusi."
Menjadi Muslim-Eropa hanya salah satu agenda saja.  Ada isu lainnya yang tak kalah penting: bagaimana dialog budaya itu bisa digerakkan dengan semangat menjadikan konsep“toleransi “ menjadi “koeksistensi”, seperti yang tercermin dalam bukunya Muslims In France: The Way Towards Coexistence. Toleransi, sederhananya, adalah “silahkan lakukan apa saja asal jangan ganggu keyakinan saya”. Sedangkan koeksistensi adalah “kita memang berbeda, mari bekerja sama”. Tidak sekadar saling menghormati dan menghargai perbedaan, namun juga mensinergikan keduanya dalam bersintesa dan bahu membahu dalam hal-hal yang disepakati bersama.
Kembali ke film. Lebih dari 40 tahun kemudian (sejak setting film ini, 1971),  tentu sudah banyak perubahan. Warga Eropa, khususnya Inggris, banyak yang lebih menerima kehadiran komunitas Muslim. Bahkan banyak orang bilang Inggris adalah negara paling ramah terhadap perkembangan Islam di Eropa. Namun persoalan pembauran—dan perbenturan atau  dialog antara dua budaya, juga antara nilai-nilai lokalitas dan Islam kosmopolitan-- masih saja terjadi di Barat, Dinamika isu-isu ini diabadikan dalam format sinema. Tidak hanya di kalangan umat Islam di Eropa, tapi juga kelompok lainnya. Misalnya, Gurinder Chadha membuat film Bend it Like Bekham dan Bride and Prejudice. Film East is East ini sendiri punya sekuelnya yang beredar sekitar 10 tahun setelahnya, West is West (Andy De Emmony, 2010) namun sayangnya tak sesukses film pertama.

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya.


Sumber: Islam Indonesia
- See more at: http://islamindonesia.co.id/detail/1320-East-is-East-Isu-Pembauran-dan-Jalan-Tengah#sthash.cxbVcyMo.dpuf

Catatan:
Sejak dua bulan lalu, saya mengisi kolom mingguan seputar Sinema dan Dunia Islam. Berikut beberapa link tulisan yang pernah dimuat:

Jaka Sembung dan Dunia Islam http://islamindonesia.co.id/detail/1260-Jaka-Sembung-dan-Dunia-Islam

Sinema, Isu Agama, dan Dunia Islam http://m.islamindonesia.co.id/detail/1077-Sinema-Isu-Agama-dan-Dunia-Islam
Belajar dari Yasmin Ahmad http://islamindonesia.co.id/detail/1429-Belajar-dari-Yasmin-Ahmad
East is East, Isu Pembauran, dan Jalan Tengah
http://islamindonesia.co.id/detail/1320-East-is-East-Isu-Pembauran-dan-Jalan-Tengah
Film, Kenyataan, dan Representasi : http://m.islamindonesia.co.id/detail/1119-Film-Kenyataan-dan-Representasi
Lesbumi, Jembatan Ulama-Seniman  http://m.islamindonesia.co.id/detail/1184-Lesbumi-Jembatan-Ulama-Seniman