Monday 26 February 2018

Muslim Nusantara di London Fashion Week (Koran Tempo 24/2 2018)

Liputan saya soal London Fashion Week pekan lalu, yang menampilkan 5 perancang Indonesia yang mengangkat busana muslimah berwastra nusantara. Pertama kalinya ada peragaan busana dengan koleksi penuh busana jilbab di ajang sekelas LFW. Koran , Sabtu, 24 Februari 2018.

Monday 5 February 2018

RIP Yockie Suryo Prayogo

RIP Yockie Suryo Prayoga, pemain keyboard favorit saya.
Saat zaman Multiply masih jadi tren, saya ikuti akun beliau, dan beliau juga ikuti akun saya.  Bahkan beberapa kali beliau mengomentari postingan saya. yang paling saya ingat, waktu itu, di Amsterdam 2008, saya kangen masakan Indonesia, dan mengunggah daftar makanan yang saya incar begitu tiba di tanah air. Komentarnya: "wah, itu lemak semua!", hehehe.
Sesaat setelah saya mudik ke Jakarta, saya bersama kawan-kawan datang ke konser 100 musisi terbaik Indonesia atau penghargaan/konser God Bless (saya lupa-lupa ingat) di markas Rolling Stone Indonesia. Saya pun sowan ke beliau yang kala itu tidak ikut manggung (karena God Bless main dengan formasi baru, yaitu Abadi Soesman <juga favorit saya> di keyboard). Saat bertemu, beliau sangat ramah dan masih ingat soal Multipy. "Waduh kamu anaknya sopan sekali..." katanya.

di Multiply-nya itulah, dia menjelaskan proses kreatifnya. Termasuk soal di balik "Air Mata", lagu favorit saya di Kantata Takwa". Dia tak segan-segan menjelaskan ke publik tentang kehidupan kelamnya itu.

Mas Yockie hadir di banyak skena musik Indonesia, yang kebetulan pas dengan selera saya. Misalnya, di album-album kolaborasinya dengan Chrisye dan Erros Jarot, God Bless, dan Kantata Takwa.

Saya suka dengan permainan keyboardnya yang nge-prog rock. Mengingatkan saya khususnya pada Genesis. Bahkan saat menggarap lagu pop pun, saya masih merasakan semangat seni dan ke-prog-rock-annya. Dan juga sound Hammond B-3-nya yang khas.
Image result for yockie suryoprayogo

Untuk mengenang beliau, berikut musik karya beliau yang saya suka. Sangat mainstream, sih, tapi saya tak peduli, yang penting saya suka. Keempat album di bawah ini  sering saya putar berulang-ulang menemani belajar atau kegiatan lainnya.

1. Kantata Tawa  - Kantata Takwa
2. Raksasa - God Bless
3. OST Badai Pasti Berlalu - Film Badai Pasti Berlalu
4. Semut Hitam - God Bless


Album yang juga sering saya dengar:
1. Sabda Alam - Chrisye


Selamat jalan, Mas Yockie...

Thursday 1 February 2018

Tulisan2 Saya di Rubrik Bahasa Majalah Tempo (2009-2011)

Setidaknya ada lima tulisan seputar Bahasa yang dimuat di rubrik "Bahasa!" majalah Tempo.
Berikut tautannya, langsung klik judulnya, ya.

1. Dari Te Laat hingga Klaar
2.  Manipulasi Makna1 Februari 2010
3. B4ha5A 6Wl d3wA5a 1n!: Demi Apa?2 Agustus 2010
4.  B4ha5A 6Wl d3wA5a 1n! (2): Alay dan Leet1 November 2010. 
5.  Berbual Melayu di Telepon Bimbit24 Oktober 2011


Ah, jadi kangen ingin menulis di rubrik Bahasa! lagi. Ada satu ide yang sudah beberapa bulan bersemayam di dalam benak. Judul sementaranya: "Bahasa Inggris yang British". Semoga bisa saya tuliskan dalam waktu dekat.

Manipulasi Makna (Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, 1 Februari 2010)

(Sumber: Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, 1 Februari 2010)

Ekky Imanjaya
*) Dosen kepenulisan di Program Internasional Manajemen dan Hubungan Internasional UIN Jakarta

PADA sebuah siang, seorang kenalan di Den Haag gusar dengan kelakuan temannya, warga Malaysia. Salah satu celetukannya: ”Kok bisa sih mereka panggil anak-anak dengan budak?” ”Budak” dalam bahasa Malaysia memang berarti ”anak-anak”. Tapi apakah  maknanya berbeda dengan bahasa Indonesia? Ya dan tidak.

Ada dua hal. Pertama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, dari Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka (2001), ternyata budak adalah anak, kanak-kanak. Setelah itu, baru tampil makna berikutnya: hamba; jongos; orang gajian. Kedua, dalam bahasa Sunda, ”budak” artinya memang ”anak-anak”—sekadar selingan betapa dekatnya budaya Sunda dan Melayu: ”sekedap” dan ”sekejap” (yang berarti ”sebentar”) hanya berbeda satu huruf; dan di Malaysia dikenal dengan istilah es Bandung dan mi Bandung.

Berbicara tentang perbandingan bahasa antara Indonesia dan Malaysia artinya berbicara tentang kemungkinan perbedaan makna pada kata yang sama. Misalnya, saat belajar kosakata, ada hal yang memang ”rawan”. Kata seperti ”butuh” (artinya, maaf, ”kemaluan pria”) atau ”gampang” (”anak haram”, ”pelacur”) adalah kata-kata yang pantang diucapkan di Malaysia.

Sebaliknya, orang Indonesia akan berpikir negatif jika mendengar diksi ”seronok” (bergembira, meriah), ”Rumah Kelamin” (rumah keluarga), atau ”perangsang” (motivasi) yang diucapkan orang Malaysia. Atau bingung dengan makna kata ”senang” dalam kalimat ”Pada saya, soalan peperiksaan ini senang sahaja”, yang artinya ”mudah”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”butuh” juga berarti alat vital pria—dan beberapa suku kita juga masih aktif menggunakannya. Sedangkan makna ”seronok” adalah menyenangkan hati. Kata rangsangan juga bermakna ”dorongan”.

Baiklah, mari kita sempitkan wacana dan hanya menganalisis kata-kata pada bahasa Indonesia saja. Kalau mendengar lema eksploitasi dan manipulasi, mau tidak mau kita akan berpikiran bahwa keduanya bermakna negatif. Eksploitasi berarti ”pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan”. Sedangkan manipulasi adalah ”upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya”.

Padahal, di kamus, kedua makna di atas adalah makna urutan kedua. Apa makna di deretan pertama? Ini yang menarik. Eksploitasi artinya adalah ”pengusahaan, pendayagunaan”; sedangkan manipulasi bermakna ”tindakan untuk mengerjakan sesuatu dengan tangan atau alat-alat mekanis secara terampil”. Keduanya cenderung bermakna positif. Jika arti ini yang kita pakai, pernyataan ”para dalang memanipulasi wayang untuk bergerak ke kiri dan ke kanan” itu masuk akal. Kalimat semacam ini acap hadir di setiap buku berbahasa Inggris seputar pewayangan. Atau, ”pasal ini menegaskan bahwa wilayah distribusi harus lebih dieksploitasi”.

Jadi sebetulnya satu kata memiliki beberapa makna, meski banyak orang yang malas membuka kamus dan cukup puas dengan mengambil makna yang tersebar di pergaulan. Padahal kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan lisan mungkin sudah ”terpolusi” oleh penyempitan, pergeseran, bahkan perubahan. Tak jarang kita cenderung tak cukup rajin mencari tahu makna lain dari sebuah kata, yang boleh jadi akan bertentangan. Kata seolah hanya digiring ke makna tertentu, dan makna lainnya semakin tergerus dan termanipulasi oleh perkembangan zaman.

Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, 1 Februari 2010

sumber:

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/02/01/BHS/mbm.20100201.BHS132609.id.html