Omong-omong, apa saja ya film
nasional kita yang bercerita seputar Ramadhan, atau minimal dengan latar
belakang bulan suci itu?
Film adalah alat untuk bercerita. Dan
tentunya pertanyaan di atas adalah wajar,
mengingat umat Muslim adalah yang mayoritas di Indonesia, tentunya banyak hal
yang bisa dikisahkan. Bila kita tilik,
Ramadhan adalah masa yang bisa mengubah kebiasaan dan bahkan kebijakan
dalam tingkat nasional. Memang tidak sedahsyat
di tanah Arab di mana mereka mengubah kebiasaan tidur dan beribadah, seakan “siang
menjadi malam dan malam menjadi siang”. Tapi kurang lebih sama semangat dan
dinamikanya. Jutaan manusia mengubah dan
menyesuaikan tradisi makan minum dan jam biologis serta jadwal harian mereka di
bulan ini. Bangun dini hari buat sahur, siang berlapar-lapar, dan malam sehabis pulang kantor shalat
Tarawih. Berbagai industri, dari mal hingga hiburan, pun melihat peluang itu, dan bersolek untuk
menjadi lebih saleh. Stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan banyak program
yang selaras dengan bulan puasa ini,
banyak yang mulai siaran sejak dini hari,dan juga sinetron dan kuis religious. Dan,
puncaknya adalah hari-hari terakhir ketika banyak orang pulang kampong, yang
memakan biaya trilyunan rupiah.
Kalau di dunia Barat, momen Natal
dirayakan dan diangkat ke berbagai jenis film layar lebar,mulai dari film anak
semacam Home Alone hingga film laga
seperti Die Hard, dan juga mengeksplorasi
tokoh Sinterklas dan kisah-kisah magis seputarnya. Bagaimana dengan Bulan Puasa? Kalau kita bahas soal lagu rohani, acara televisi
dari sinetron hingga kuis, tentu bertebaran. Tetapi berbeda ceritanya jika kita
membahas film bioskop. Tak disangka tak dinyana, entah mengapa, sedikit
sekali film-film Indonesia yang “merekam” tradisi tahunan ini. Walau banyak
film Islami, tapi entah kenapa nyaris tak satupun yang mencoba menangkap
momen-momen ritual ini. Justru para sutradara dan produser yang selama ini
sepertinya tidak diasosiasikan dengan film relijiuslah yang membuat film-film
dengan latar belakang Ramadhan. Dan bulan Ramadhan tidak sekadar tempelan saja,
tapi merupakan bagian integral dari cerita, karena cerita-cerita dalam
film-film itu akan hilang konteksnya kalau settingnya
diubah menjadi bulan lain.
Memang ada film yang secara
selintasan ada nuansa Ramadhan atau malam lebaran (yang adalah hari terakhir Ramadhan) yang
kental dengan suasana takbiran. Misalnya di film Cinta
Suci Zahrana (Chairul Umam, 2012), Rembulan
dan Matahari (Slamet Djarot, 1979), dan Boleh
Rujuk, Asal… (Maman firmansjah, 1986). Tapi adegannya hanya kurang dari 25
persen dari keseluruhan film dan bukan merupakan jiwa dari cerita. Ada dua film yang kisahnya terjadi menjelang Idul
Fitri, alias di bulan puasa, tapi belum saya tonton karena aksesnya susah didapat. Film itu berjudul Dosa Tak berampun (Usmar Ismail, 1951) dan Sangkar
Emas (Fred Young, 1952).
Tapi, film yang benar-benar dengan setting bulan Puasa, dan menunjukkan
dinamika ritual ibadah Ramadhan (sahur, puasa, tarawih, buka bersama) dan
menjadikan Ramadhan sebagai jiwa dari
film ini, hanya sedikit. Saya hanya menemukan 4 film panjang, dan 1 film pendek
dalam proyek omnibus. Dan lebih dari separuhnya adalah film anak-anak. Berikut film-film tersebut.
Mudik
(Muchyar Syamas, 2011)
Suka atau tidak suka, film yang
diproduseri Raam Punjabi ini cukup melukiskan suasana bulan suci Ramadhan. Lepas dari kuatnya aroma
sinetron—baik dari segi cerita yang cenderung banal dan berlebihan dan banyak kebetulannya, pengadeganan yang apa adanya, para karakter yang kurang berkembang dan hitam
putih, dan sinematografi pas-pasan—tapi inilah film yang jiwanya adalah
semangat mudik, salah satu elemen yang menempel kuat di benak banyak Muslim. Di sini, kita bisa melihat detil-detil
suasana khas, misalnya fenomena warteg yang ditutupi tabir hingga calo di
terminal bis, hiruk pikuk kendaraan yang hendak pulang kampung, kurma Arab yang
dibeli di Tanahabang, dan Jakarta yang
sepi saat Idul Fitri. Tentu, jangan berharap ini film dengan pendekatan syiar
dakwah seperti film religi, tapi lebih kepada mengeksplorasi dan mengolok-olok
keseharian karakter-karakternya—yang mungkin juga dialami banyak penonton.
Film berfokus pada Gunadi, anak desa
yang mengadu nasib di Jakarta tapi masih saja menganggur di tahun ketiganya.
Lestari, calon istrinya, menunggu untuk dinikahi. Tapi jangankan dana nikah, ongkos mudik saja
dia tidak punya. Hingga ia menjadi supir pribadi seorang konglomerat. Sementara itu, Kuncoro, bapak kosnya, juga pusing memilih mudik antara Bukit Tinggi
(tempat mertuanya) atau ke desanya di Jawa Tengah. Suami dari Yustina itu digambarkan mata duitan dan selalu
menggencet anak kosnya, kecuali satu orang yang tukang pengadu. Ada juga Iskandar, pejabat di Kementerian Sarana Publik yang
sudah tiga tahun tak pulang ke desanya di Wonosalam, Jogjakarta.
Singkat cerita, Gunadi ditolong oleh rekan kosnya
mendapatkan kerja sebagai supir pribadi Iskandar. Sebelumnya, ia narik taksi dan hampir menabrak Wulan, yang
baru saja selesai kawin kontraknya dengan pria asal Arab. Wulan pun berasa berhutang budi, tapi dengan
cara yang ekstrem. Dia “menculik” Gunadi dan memakai kendaraan milik sang
majikan, untuk pelesir. Walhasil, Gunadi
dipecat Iskandar, dan hanya dikasih pesangon seperlunya. Lebaran sudah di depan
mata, dan ia belum punya uang untuk mudik, apalagi buat nikah. Bagaimana Gunadi
menyelesaikan problematika ini?
Seputih Cinta Melati (Ari Sihasale, 2014)
Inilah film yang nafasnya adalah bulan Ramadhan. Dari
ritual ibadah keseharian hingga pesan moral untuk maaf memaafkan, tersaji di
sini. Atmosfir bulan suci puasa, seperti pembacaan ayat suci Al-Quran, buka
puasa, dan sahur keliling lengkap dengan berbagai kentongannya. Dari awal, pasutri Ari Sihasale
dan Nia Zulkarnaen, memang merencanakan film ini untuk liburan lebaran yang
bertemal lebaran dan Ramadhan.
Film berfokus pada si cilik Melati dan abangnya, Rian.
Mereka bertemu Ivan dan Erik, dua narapidana yang buron dari penjara, yang
menolong mereka saat kaki Melati terjepit. Mereka pun makin dekat, dan kedua
bocah itu tak tahu identitas teman barunya itu.
Rian mengajari Erik cara memancing, dan Melati mengajarkan Ivan untuk
menghafal al Quran. Masalahnya, Erik ingin kabur dari sana, tapi Ivan sudah
terlanjur akrab dengan Melati. Sampai akhirnya penduduk sana tahu siapa mereka
sebenarnya.
Rindu Kami
PadaMu (Garin Nugroho, 2004).
Satu lagi film keluarga dengan anak-anak sebagai tokoh
utamanya. Inilah film Garin yang paling komunikatif. Kisahnya terjadi di bulan
Ramadhan di sebuah pasar tradisional di pinggiran Jakarta yang kumuh. Banyak
karakter di dalam film ini, saling terkait dan diikat oleh rasa kebersamaan
sebuah perkampungan yang masih menghidupkan semangat gotong royong. Ada Pak Haji Arif yang masjidnya tak berkubah
karena kurang dana. Ada seorang suami yang bertobat dengan menjadi penjaga
masjid. Istrinya kabur karena tak tahan dipukuli, dan sejak itu anaknya selalu
menggelar sajadah kosong, berharap ibunya akan datang. Ada bocah yang hidup
dengan abangnya penjual telur asin dan mencari sosok ibu dalam seorang
karyawati bernama Cantik. Ada Rindu yang tuna rungu dan terpisah dari
abangnya karena bencana alam, dan
diangkat anak oleh penjaga warung. Semuanya bermuara pada pencarian sosok ibu
dan nilai-nilai keibuan, dan semuanya terjadi di bulan Ramadhan.
Menjelang Lebaran, banyak penduduk sekitar bersiap
untuk pulang kampung, dan menitipkan banyak hal—dari kunci rumah hingga ayam
jago—kepada orang-orang yang tidak mudik, seperti ke merbot masjid dan ibu
penjaga warung. Dan, karena salah satu lokasi utamanya adalah masjid yang tak
berkubah, banyak adegan dilakukan di sini, termasuk shalat wajib dan tarawih
berjamaah. Dan, tentu, lagu Rindu Kami
Padamu dari Bimbo memperkuat semangat religi yang menyayat hati.
Untuk
Rena (Riri Riza 2005)
Bulan Puasa,
rumah panti asuhan, dan kisah tentang tragedy Aceh Tsunami. Ketiganya saling
berkaitan dalam film produksi Miles Films ini. Berkisah tentang Rena dan “adik-adik”nya di
Rumah Matahari, sebuah panti asuhan di luar kota Jakarta. Mereka sangat kompak.
Rena sangat protektif dan berupaya mencegah para tetamu mengadopsi adik-adiknya
yang lucu, dengan cara membuat berbagai ulah yang nakal. Suatu hari, datanglah
tamu misterius, Yudha, ke sana dan menginap setiap akhir pekan. Awalnya, Rena dan kawan-kawan agak curiga dan
menjaga jarak seraya bertanya: “Apa maunya Om Yudha rutin ke tempat kami?”.
Tapi, lama-lama cair juga mereka. Karena Yudha orang yang ramah dan ringan
tangan, termasuk memperbaiki saluran air yang tersendat. Tapi pertanyaannya
masih terngiang: Apa motif utama Yudha datang ke sana?
Film ini
juga mengajarkan agar kita tidak melihat seseorang dari tampilan fisik saja,
tetapi juga kepribadiannya, dan agar tidak berburuk sangka kepada orang lain.
3ll4
(Wisnu Surya Pratama, 2010)
Ini adalah film berdurasi kurang dari
8 menit yang ada dalam kumpulan film pendek Belkibolang.
Film yang disutradarai oleh Wisnu Surya Pratama ini
berkisah tentang sahur di hari terakhir
Ramadhan. Dini hari itu, Ella, seorang pelacur asal Surabaya,
ngobrol dengan Pak Gendut, penjual bebek
bakar asal Madura dengan Bahasa daerah masing-masing. Di sini, profesi pelacur tidak dilihat hitam
putih atau sesuatu yang hina dina, tapi sebagai sosok manusiawi. Ella punya
tanggung jawab di kampungnya. Dia hari itu hendak mudik, dengan membawa
oleh-oleh berupa uang yang banyak untuk keluarganya, dan kaca mata untuk
ayahnya tercinta. Keluarganya tidak tahu profesi Ella, kecuali hanya info
banyak ia bekerja di Jakarta dan lebaran pulang membawa rezeki. Seolah-oleh
Ella punya dua identitas yang saling bertolak belakang. Sebagai pekerja seks
komersial, ia genit dan merayu. Tapi sebagai anggota keluarga, ia mengubah cara
bicara (seperti saat berbicara dengan ibunya di telepon) dan busananya.
Citranya juga berbalik ketika bersiap pulang kampung: Ella sebagai seseorang
yang bekerja di Jakarta dan punya tanggung jawab menafkahi keluarga, ini adalah
salah satu representasi salah seorang warga Jakarta. Dan semuanya terjadi di
satu malam menjelang subuh, di bulan Ramadhan. Sebuah kritik konsumerisme,
komersialisme, dan materialisme sudah merajalela, bahkan tak mampu dibentengi
oleh Ramadhan?
Dimuat di Majalah ESQ Life, Juni 2015.
http://www.esqlife.com/article/ramadhan-dan-kehidupan/
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete