Tuesday 24 November 2015

Kekerasan Berjubah Agama dan Sinema

Oleh Ekky Imanjaya, 

Tulisan lama, 24 November 2008.

Tiba-tiba trio Bom Bali I yang baru dieksekusi (9/11) mendapat banyak simpati. Tidak sedikit yang menganggap Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas pahlawan. Ratusan orang mengiringinya ke pemakaman. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya mati syahid termasuk salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Ridwan (Inilah.com, 9/11). MUI pun perlu berembuk apakah ketiganya itu mujahid atau teroris (Inilah.com, 9/11). Sebelumnya, banyak wacana tentang Jihad vs Teroris antara lain yang digelar TV One (29/10) antara Guntur Romli (Jaringan Islam Liberal) dengan Abu Jibriel (wakil amir Majelis Mujahidin). Padahal bagi saya sangat jelas beda antara kafir dzimmi (non-Muslim di lingkungan mayoritas Islam yang harus dilindungi) dengan kafir harbi (kafir yang harus diperangi di medan laga). Saya tak habis pikir, kok bisa? Belum lagi kekerasan bernafaskan agama yang diniatkan untuk “membela Islam” tapi tidak sedikit yang menganggapnya varian lain lagi premanisme. Sebenarnya, bagaimana representasi kekerasan berjubah agama dalam film?

Dengan gagah, Imam Samudra menulis surat wasiat yang sangat keras: “ Bercita-citalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir”. Bandingan dengan dialog ini: “Hanya ada satu Tuhan, Tuhannya Bani Israel! Dan Dia Maha Keras dan penuh dendam. Dan kita telah sekian lama mengejek-Nya , dan kini Dia minta ganti rugi dengan darah!”. Ucapan ini dilontarkan oleh Mrs Carmody, sosok fundamentalis agama di film The Mist hasil adaptasi novela Stephen King yang diedarkan Ramadhan silam. Sosok cult itu menyatakan bahwa bencana itu hadir karena agama dilecehkan dan “syariat” dilanggar oleh kaum pembela aborsi, dan hanya dengan cara berkorban di jalan agamalah (berdasarkan penafsirannya) solusinya. Mirip dengan Jerry Falwell saat kejadian 9/11 yang menyalahkan tragedi itu kepada kaum paganis, aborsionis, feminis, dan gay serta lesbian. Sosok Carmody itu sangat karismatis dan pada akhirnya punya banyak penganut yang akan menuruti apapun “fatwa”-nya, termasuk membunuh di jalan Tuhan. Ia bahkan menyatakan bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. 

Memang, kekerasan spiritual--dari yang verbal hingga aksi pembunuhan--adalah fenomena global. Di Indonesia juga sungguh terasa, walau tidak sama persis. Bedanya, belum ada sebuah film Indonesia yang mengangkat isu ini--kecuali beberapa, seperti Kala dari Joko Anwar yang menyajikan dengan gaya komedi satir (ingat adegan “preman berjubah putih” merusak panti pijat tuna netra?) dan dalam hitungan menit saja.

Mungkin saja kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan pemaksaan itu niatnya baik. Demi dakwah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Tapi bagaimana pun, niat yang baik jika dikerjakan dengan cara yang tidak baik di mata orang awam, tentu citranya memburuk. Maka, tak sedikit yang menyebut mereka preman berjubah putih.

Mengapa timbut gejala menghalalkan kekerasan itu? Ada beberapa faktor yang mungkin. Alasan pertama adalah ingin bertausyiah (saling mengingatkan) dalam kebenaran dan kesabaran, seperti yang sering disitir para khatib. Tapi ada yang agak luput soal tausyiah ini: Bertaushiah dalam kesabaran dan kasih sayang (marhamah) (Al-Balad 17). Di sini, kata “sabar” diulang lagi. Artinya, dituntut kesabaran ekstra untuk mengubah keadaan. Shobron ala shobron seperti kata Allahyarham KH Rahmat Abdullah dalam Sang Murabbi (Zul Ardhia, 2008). Yang tak kalah penting, ada satu konsep yang yang urgen untuk disebarkan: marhamah. Bukankah kita diminta untuk berjidal (berdebat) dengan cara yang ahsan (lebih baik), dan bermauidzah hasanah (perkataan yang baik). Kasih sayang juga sering diulang, seperti dalam surat Maryam 96 atau Thaha 44. Bahkan secara tersurat disebutkan: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Mumtahanah, 7).
Mengapa sepatutnya berlaku lembut dan tidak kasar? Karena “…disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereda dalam urusan itu” (Ali Imran 159).

Jadi, ada banyak ayat kasih sayang, walau pun itu tidak menafikan ayat-ayat yang tegas seperti “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (Al Mujaadalah 22). Tetapi betapa banyak kisah dalam sejarah yang menunjukkan hal ini. Misalnya, bagaimana dua pasang cucu nabi, Hasan dan Husain, tidak langsung menegur orang tua yang salah berwudhu, tetapi salah satunya pura-pura salah dan lainnya membetulkan. Atau bagaimana Rasulullah membiarkan ada anak kecil yang buang air kecil di masjid karena “najis itu bisa dibersihkan, tapi bentakan kita akan tetap ada di hatinya tak bisa dilenyapkan”.

Kemungkinan kedua, kelompok itu merasa diri paling benar dan suci dan yang paling berhak masuk surga. Padahal sudah tegas diingatkan bahwa “…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang laing mengetahui tentang orang yang bertakwa” (An-Najm: 32). Untuk soal ini, saya teringat dengan adegan favorit saya di film Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Saat itu, seorang napi menasihati Fahri yang sedang jatuh mentalnya.
“ Istighfar, Indonesia! Kau sombong, Fahri! Kau merasa dirimu paling suci, bahkan di hadapan istrimu sendiri! Allah sedang berbicara denganmu!”. Sepertinya, sang napi tidak hendak menegur Fahri seorang, tapi, sesuai dengan dialognya, seluruh bangsa Indonesia. Apalagi ada celetukannya bahwa Tuhan tidak hanya milik orang-orang suci tapi juga para pendosa.

Ketiga, syariah-minded,atau fiqih-oriented. Adegan penjara di atas sesungguhnya mengajarkan kita kesabaran dan keikhlasan. Masalahnya, apakah sabar dan ikhlas otomatis kita dapatkan jika kita telah menguasai ilmu fiqih dan syariat bahkan mengamalkannya? Tidak! Sekali kali, tidak! Keduanya di dapat dari dimensi spiritualitas atau tasawuf. Tanpa sisi keruhanian (dan akhlak) yang membuahkan kesadaran, hukum-hukum positif ditakutkan akan kering dan sekadar “menggugurkan kewajiban”. Artinya, Islam tidak hanya fiqih dan syariat, tetapi juga ukhuwah, akhlak, politik, pendidikan, kebudayaan, kesucian hati pribadi , menghormati minoritas (ingat konsep kafir dzimmi?), dll dll. Islam itu kaaffaah, menyeluruh, mencakup semua aspek peradaban, tidak selayaknya direduksi hanya dengan syariat atau fiqih.

Ada satu kalimat yang bisa merumuskan gejala-gejala itu. Kalimat ini berasal dari film pendek Alejandro Innaritu dari omnibus 9/11. Katanya: “Cahaya telah membutakan mereka”. Cahaya, yang harusnya menerangi, justru menutupi. Padahal cahaya harusnya seperti yang dikatakan Rumi dan dijadikan kalimat penutup di film Gubra karya Yasmin Ahmad: “Cahayanya satu, lampunya beragam”. Ada banyak cara untuk menyalakan cahaya ilahiah, dan sudah pasti tujuannya tidak untuk membutakan iman, apalagi membuatnya padam.

Berbicara soal spiritualitas, Sayyid Quthb menyatakan dalam Fi Zilalil Qur’an bahwa hal-hal internal tiga kali lipat lebih berbahaya terhadap iman dari hal-hal eksternal. Karena itulah, dibutuhkan tiga ayat untuk berlindung kepada Allah dari bisikan hati yang membuat waswas (surat an-Nas), sementara hanya satu ayat untuk berlindung kepada kejahatan malam (surat al-Falaq). Dan karena itulah ada prinsip sufi “Siapa yang mengenal jiwanya, akan mengenal tuhannya”. Dan bukankah Islam diawali dari perenungan ke dalam diri sendiri di Gua Hira? Dan setelah itu penguatan Tauhid selama 13 tahun di Mekkah, sebelum akhirnya membangun hukum, ekonomi, dan lainnya di era Madinah? Artinya, Islam tidak langsung hadir dengan hukum-hukum, pelarangan dan pembatasan.

Senada dengan Quthb, aktris Marcia Gray Harden, sang pemeran Mrs Carmody, dalam sebuah wawancara mengenai karakter yang diperankannya, menggarisbawahi: “ Iblis di dalam diri lebih berbahaya dari iblis di luar diri.”.

Semoga tidak ada lagi kekerasan dalam kemasan agama di negeri ini dan di mana pun. 

No comments:

Post a Comment