A Brief Cultural History of
Indonesian Cinema: Proyek
Besar yang “Kentang”
Info buku:
Judul: A Brief Cultural History of Indonesian Cinema
Penulis: Thomas Barker, Eric Sasono, Corneles Joris, Lisabona Rahman, John Badalu, Deborah Gabinetti.
Penerbit: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Edisi: Perdana, 2012
Tebal: 196 hal
Sekitar 20 tahun setelah terbitnya buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950)—diterbitkan Dewan Film,
disunting oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan SM Ardan--akhirnya
terbit juga buku seputar film Indonesia atas inisiatif dan dana Pemerintah. Judulnya: A
Brief Cultural History of Indonesian Cinema Tidak tanggung-tanggung, proyek buku ini dipimpin langsung oleh
Sulistyo Tirtokusumo (Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman), dengan sampul
hard cover bercita rasa mewah, ditulis seluruhnya dalam bahasa Inggris oleh
orang-orang yang mumpuni di bidangnya, penuh dengan gambar-gambar ekslusif.
Dan, ini yang menarik: buku yang dirilis secara resmi pada Hari Film Nasional tahun lalu ini dibagikan
cuma-cuma dan bisa diminta ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudah cukup banyak buku dan artikel yang mengkaji sejarah film Indonesia
secara kronologis. Namun, yang menarik, dari segi pembingkaian perspektif, buku
ini berbeda dari buku dengan topik yang serupa, katakanlah karya Krishna Sen,
Karl Heider, Salim Said, dan Misbach Yusa Biran. Kelebihan pertama buku ini adalah, banyaknya trivia alias data-data, yang
selama ini sedikit diketahui banyak orang, yang digarisbawahi oleh para
penulisnya. Misalnya, pada bab pertama, The
Early Years 1926-1945, Thomas Barker mengemukakan info tentang perjalanan
Gaston Melies (saudara kandung Georges Melies, Bapak Special Effect) selama 1912-1913 keliling Asia Pasifik dan mampir
di beberapa kota di Indonesia untuk membuat film (sayangnya, dia tidak menyebut
bahwa Gaston juga memutar film-film abangnya kala singgah di Nusantara). Atau,
mungkin kita tahu bahwa Charlie Chaplin datang ke Batavia, Bandung, dan
(mengunjungi Walter Spies di) Bali pada 1932, tapi sepertinya sedikit yang tahu
tentang info bahwa perjalanan itu membuatnya merenung di era peralihan dari film
bisu ke bicara dan membuatnya menulis 50 halaman skenario film bicara
pertamanya (soal parodi kolonialisme) yang sayangnya tak pernah dia buat.
Bahkan, ada surat Chaplin satu halaman penuh di halaman sebelahnya. Atau info
bahwa film pertama yang memakai kata “Indonesia” adalah “Indonesia Malaise”,
karya Wong Brothers, 3 tahun setelah Sumpah Pemuda. Atau di bab berikutnya,
Lisabona Rahman menyatakan bahwa Djajakusuma mengeksplorasi genre Western/koboi
menjadi silat lokal (Tjambuk Api,
1958) dan wayang (Lahirnya Gatotkaca,
1960). Cukup menarik juga pernyataan Deborah Gabinetti bahwa Hollywood
pernah membuat Goona Goona (1932, oleh keponakan President Theodore Roosevelt)
tentang Bali—dan beberapa film lainnya juga membuat film dengan latar Bali,
hingga Road to Bali yang dibintangi
Bing Crosby, Bob Hope, dan Dorothy Lamour sukses dan membuat agen travel Eropa
membuat program ke Bali. Atau, Oliver Stone
membuat Savages (2012) di
Moyo, NTB.
Foto-foto ekslusif dengan ukuran besar adalah juga kelebihan buku ini.
Koleksi Sinematek Indonesia yang jarang diketahui publik akhirnya dirilis juga.
Pun dengan foto-foto koleksi KITLV Leiden, khususnya foto-foto seputar bioskop
dan, yangmenarik, kursus sinematografi bagi pejabat militer Indonesia di Gambir
(1953).
Entah apa karena porsi foto-foto besar ini atau alasan lain, pembahasan
menjadi sangat sedikit, sementara bahan kajian dan area ekplorasinya sangat
luas dan banyak. Akibatnya, ulasan menjadi “kentang” alias kena tanggung . Banyak elemen yang tidak dieksplorasi dan
dipaparkan dengan baik, ditambah referensi kutipan hanya ditaruh di bagian
belakang yang membuat bingung, atau kemungkinan salah baca/fokus, pembaca
khususnya yang non-Indonesia. Misalnya, porsi
Garin Nugroho yang sedikit
(walau foto-fotonya cukup banyak). Atau perlunya bukti lanjutan soal Joko
Anwar, The Mo Brothers, dan Gareth Evans yang mengaku terinspirasi dari jaman
emas Film B Indonesia 1980an. Atau elaborasi lebih lanjut tentang bagaimana
film-film B era 1980an kembali diedarkan dalam bentuk DVD dan diminati oleh
penggemar film Cult. Problema utamanya adalah tidak adanya catatan kaki atau
catatan akhir di buku ini—di satu sisi, menjadi kelebihannya karena lebih pop
dan ringan, tetapi di sisi lainnya pembaca jadi kurang bisa melacak sumber data,
kecuali hanya di daftar bibliografi yang cukup panjang.
Untunglah, sebagian besar penulisnya memang sudah berkecimpung lama di
dunia kritik film Indonesia. Eric Sasono, misalnya, adalah peraih 2 piala Citra
untuk penulisan kritik film. Lisabona Rahman adalah mantan manajer Kineforum
yang juga aktivis film, termasuk dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam. Dan John Badalu acap keliling berbagai festival
dunia, pas sekali dengan tulisan yang digarapnya, Positioning Indonesia in the World Cinema. Thomas Barker yang
disertasi S3-nya seputar politik ekonomi film Indonesia dan sering melakukan
riset era awal film Indonesia, terasa otoratif dalam menulis bagiannya.
Sayangnya, biodata para penulis tidak ada. Ini membuat pembaca bertanya-tanya dan tidak bisa
melacak lebih lanjut tentang latar belakang mereka. Mungkin kita sudah mengenal
Eric, John, dan Lisabona, tapi tetap saja perlu dicantumkan sebagai penghargaan
kepada mereka dan kemungkinan menjalin jaringan kerja antar pemerhati film
Indonesia--apalagi ini juga untuk pasar internasional yang mayoritas tidak
mengetahui peta perfilman Indonesia dan para kritikusnya. Untuk sebagian orang,
Corneles Alberto Joris, misalnya, adalah nama yang tidak banyak orang
ketahui—saya hanya tahu dari google bahwa ini adalah nama lain dari Berthy
Joris, kordinator efek special film Takut
dan kordinator kasting Eat Pray Love.
Pun dengan Deborah Ann Gabinetti (kordinator Bali Film Center). Tentu, kalau
ada biodata singkat, pembaca tak payah diberikan pekerjaan rumah yang tak
perlu.
Tentu saja buku terbitan pemerintah ini harus diapreasi
setinggi-tingginya, dan menjadi kado Hari Film tahun lalu yang manis untuk
semua pencinta dan pekerja film Indonesia. Sayangnya, proyek besar dan
jarang-jarang ada ini kurang maksimal dan terasa masih, mengutip anak gaul, “kentang” alias “kena tanggung”. Mungkin kalau satu bab dielaborasi tersendiri
menjadi satu buku, alias memecah buku ini menjadi buku seri beberapa jilid,
penulis bisa lebih luas mengeksplorasi da mengkaji wilayahnya. Karena memang
sejarah (budaya) sinema kita harus diperlakukan dengan penuh kepatutan, dan
sungguh sayang kalau hanya “brief”.