Tuesday, 30 June 2015
Monday, 29 June 2015
Islam Nusantara dan Urf
Saya bingung dengan orang-orang yang menolak konsep Islam Nusantara. Islam Nusantara ini bukan hal baru, sudah berjalan dan terlaksana di masyarakat. Apakah ini karena Jokowi yang melontarkan, hingga melahirkan polemik? Semoga bukan karena itu. Ini pemikiran saya tentang Islam Nusantara.
1. Dalam Ushul Fiqh (metodologi perumusan Fiqih), disebutkan salah satu sumber hukum Islam adalah Urf. Ada yang mendefiniskannya dengan “sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat dan diterima oleh akal sehat”. Ada yang menyamakannya denganadat istiadat. Saya menerjemahkannya dengan tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang sudah diketahui dan dikenal baik di masyarakat. Dengan Urf ini, saya duga, Wali Songo melakukan dakwah kultural dengan memasukkan unsur wayang. Dan tentu Urf tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itulah, ketakutan bahwa Islam akan menjadi liberal seperti Turki di era Mustafa Kamal, tidaklah beralasan.
2. Urf, sebenarnya, dilakukan sejak era Nabi Muhammad. Termasuk melestarikan tradisi-tradisi Jahiliyah yang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.
3. Ada yang bisa menjelaskan fenomeno merayakan Idul Fitri secara besar-besaran hingga ada yang mudik, halal bihalal, dan saling memaafkan. Silahkan lihat di dunia Arab dan Eropa, mereka—setahu saya—tidak merayakan Idul Fitri dengan mudik, halal bihalal, dan saling memaafkan. Hampir tidak ada ucapan “Minal Aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. Tapi kalau Idul Adha, mereka baru merayakannnya dengan lebih meriah. Tentu tidak ada salahnya dengan yang biasa kita lakukan. Sah-sah saja. Dan, nilah bentuk dari Urf, menurut saya.
4. Adanya banyak perbedaan madzhab (termasuk Empat Imam besar sunni), salah satunya, menurut saya, karena urf, karena perbedaan konteks budaya, kebiasaan sosial, ekonomi dll-nya berbeda-beda. Kalau Islam itu satu, kenapa ada banyak madzhab fiqih dan tafsir Qur’an?
5. Soal Anti Arabisasi, saya sangat setuju. Islam itu untuk semesta alam. Orang Arab melakukan praktik Islam dengan Urf-nya. Karena itulah, di khutbahnya di Haji Wada’ nabi menekankan:
“Wahai para manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan bapak kalian itu satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ajam/ asing, dan tidak bagi orang ajam (non arab) atas orang Arab, tidak bagi orang kulit merah atas kulit hitam, dan tidak bagi orang kulit hitam atas kulit merah kecuali dengan taqwa. Apakah sudah aku sampaikan?”
Tentu saja kita tidak boleh menafikan Bahasa Arab, karena AlQuran dan Sunnah itu dalam Bahasa Arab. Tapi tidak harus mengikuti tata cara kehidupan dan budaya mereka secara membabi buta. Tidak semua Bahasa Arab itu suci, yang suci itu Al Quran yang memang berbahasa Arab.
6. Allah itu satu, Islam itu satu. Tapi penafsiran dan praktiknya beda-beda. Karena penafsiran agama itu adalah praktik sosial budaya. Teks ditafsirkan oleh konteks. Tidak percaya, cobalah jalan-jalan ke luar negeri, coba temukan praktik keislaman yang berbeda-beda, dan disitulah keindahannya. Pegangannya sama, Quran yang sama, Dua Kalimat Syahadat yang sama, tapi aktivitas sosial budayanya (bahkan praktik ritualnya) berbeda-beda.
Saya pernah membaca Yusuf Qardhawi diwawancara Sabili era 1990an. Beliau menyatkaan bahwa Muslim sangat sulit bersatu. Karena berbeda orientasi, visi, misi, dan pendekatan. Ada yang gerakan spiritual lebih ditekankan, ada yang politik, ada pula yang pendidikan dan sosial. Cara memilih pemimpin berbeda juga. Karena itulah, menurut beliau, kita harus bekerja sama dan saling menghormati dan tetap bekerja menurut kesepakatan organisasi dan dan apa yang kita yakini. Saya kira, salah satu perbedaaanya juga karena Urf.
7. Selain Urf yang konteks adat istiadat, peranan latar belakang sejarah, geografi, perbedaan waktu, dan cuaca jug penting dan menjadi pertimbangan. Karena itulah, Tariq Ramadan, sebagai salah satu contoh, menulis buku berjudul To Be European Muslim.
Terakhir, silahkan simak pernjelasan singkat dan menarik ini. https://www.youtube.com/watch?v=xGgZy76VQyg
Wallahua'lam.
1. Dalam Ushul Fiqh (metodologi perumusan Fiqih), disebutkan salah satu sumber hukum Islam adalah Urf. Ada yang mendefiniskannya dengan “sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat dan diterima oleh akal sehat”. Ada yang menyamakannya denganadat istiadat. Saya menerjemahkannya dengan tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang sudah diketahui dan dikenal baik di masyarakat. Dengan Urf ini, saya duga, Wali Songo melakukan dakwah kultural dengan memasukkan unsur wayang. Dan tentu Urf tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itulah, ketakutan bahwa Islam akan menjadi liberal seperti Turki di era Mustafa Kamal, tidaklah beralasan.
2. Urf, sebenarnya, dilakukan sejak era Nabi Muhammad. Termasuk melestarikan tradisi-tradisi Jahiliyah yang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.
3. Ada yang bisa menjelaskan fenomeno merayakan Idul Fitri secara besar-besaran hingga ada yang mudik, halal bihalal, dan saling memaafkan. Silahkan lihat di dunia Arab dan Eropa, mereka—setahu saya—tidak merayakan Idul Fitri dengan mudik, halal bihalal, dan saling memaafkan. Hampir tidak ada ucapan “Minal Aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. Tapi kalau Idul Adha, mereka baru merayakannnya dengan lebih meriah. Tentu tidak ada salahnya dengan yang biasa kita lakukan. Sah-sah saja. Dan, nilah bentuk dari Urf, menurut saya.
4. Adanya banyak perbedaan madzhab (termasuk Empat Imam besar sunni), salah satunya, menurut saya, karena urf, karena perbedaan konteks budaya, kebiasaan sosial, ekonomi dll-nya berbeda-beda. Kalau Islam itu satu, kenapa ada banyak madzhab fiqih dan tafsir Qur’an?
5. Soal Anti Arabisasi, saya sangat setuju. Islam itu untuk semesta alam. Orang Arab melakukan praktik Islam dengan Urf-nya. Karena itulah, di khutbahnya di Haji Wada’ nabi menekankan:
Tentu saja kita tidak boleh menafikan Bahasa Arab, karena AlQuran dan Sunnah itu dalam Bahasa Arab. Tapi tidak harus mengikuti tata cara kehidupan dan budaya mereka secara membabi buta. Tidak semua Bahasa Arab itu suci, yang suci itu Al Quran yang memang berbahasa Arab.
6. Allah itu satu, Islam itu satu. Tapi penafsiran dan praktiknya beda-beda. Karena penafsiran agama itu adalah praktik sosial budaya. Teks ditafsirkan oleh konteks. Tidak percaya, cobalah jalan-jalan ke luar negeri, coba temukan praktik keislaman yang berbeda-beda, dan disitulah keindahannya. Pegangannya sama, Quran yang sama, Dua Kalimat Syahadat yang sama, tapi aktivitas sosial budayanya (bahkan praktik ritualnya) berbeda-beda.
Saya pernah membaca Yusuf Qardhawi diwawancara Sabili era 1990an. Beliau menyatkaan bahwa Muslim sangat sulit bersatu. Karena berbeda orientasi, visi, misi, dan pendekatan. Ada yang gerakan spiritual lebih ditekankan, ada yang politik, ada pula yang pendidikan dan sosial. Cara memilih pemimpin berbeda juga. Karena itulah, menurut beliau, kita harus bekerja sama dan saling menghormati dan tetap bekerja menurut kesepakatan organisasi dan dan apa yang kita yakini. Saya kira, salah satu perbedaaanya juga karena Urf.
7. Selain Urf yang konteks adat istiadat, peranan latar belakang sejarah, geografi, perbedaan waktu, dan cuaca jug penting dan menjadi pertimbangan. Karena itulah, Tariq Ramadan, sebagai salah satu contoh, menulis buku berjudul To Be European Muslim.
Terakhir, silahkan simak pernjelasan singkat dan menarik ini. https://www.youtube.com/watch?v=xGgZy76VQyg
Wallahua'lam.
Thursday, 18 June 2015
Lima Film Indonesia berlatar Ramadhan.
Omong-omong, apa saja ya film
nasional kita yang bercerita seputar Ramadhan, atau minimal dengan latar
belakang bulan suci itu?
Film adalah alat untuk bercerita. Dan
tentunya pertanyaan di atas adalah wajar,
mengingat umat Muslim adalah yang mayoritas di Indonesia, tentunya banyak hal
yang bisa dikisahkan. Bila kita tilik,
Ramadhan adalah masa yang bisa mengubah kebiasaan dan bahkan kebijakan
dalam tingkat nasional. Memang tidak sedahsyat
di tanah Arab di mana mereka mengubah kebiasaan tidur dan beribadah, seakan “siang
menjadi malam dan malam menjadi siang”. Tapi kurang lebih sama semangat dan
dinamikanya. Jutaan manusia mengubah dan
menyesuaikan tradisi makan minum dan jam biologis serta jadwal harian mereka di
bulan ini. Bangun dini hari buat sahur, siang berlapar-lapar, dan malam sehabis pulang kantor shalat
Tarawih. Berbagai industri, dari mal hingga hiburan, pun melihat peluang itu, dan bersolek untuk
menjadi lebih saleh. Stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan banyak program
yang selaras dengan bulan puasa ini,
banyak yang mulai siaran sejak dini hari,dan juga sinetron dan kuis religious. Dan,
puncaknya adalah hari-hari terakhir ketika banyak orang pulang kampong, yang
memakan biaya trilyunan rupiah.
Kalau di dunia Barat, momen Natal
dirayakan dan diangkat ke berbagai jenis film layar lebar,mulai dari film anak
semacam Home Alone hingga film laga
seperti Die Hard, dan juga mengeksplorasi
tokoh Sinterklas dan kisah-kisah magis seputarnya. Bagaimana dengan Bulan Puasa? Kalau kita bahas soal lagu rohani, acara televisi
dari sinetron hingga kuis, tentu bertebaran. Tetapi berbeda ceritanya jika kita
membahas film bioskop. Tak disangka tak dinyana, entah mengapa, sedikit
sekali film-film Indonesia yang “merekam” tradisi tahunan ini. Walau banyak
film Islami, tapi entah kenapa nyaris tak satupun yang mencoba menangkap
momen-momen ritual ini. Justru para sutradara dan produser yang selama ini
sepertinya tidak diasosiasikan dengan film relijiuslah yang membuat film-film
dengan latar belakang Ramadhan. Dan bulan Ramadhan tidak sekadar tempelan saja,
tapi merupakan bagian integral dari cerita, karena cerita-cerita dalam
film-film itu akan hilang konteksnya kalau settingnya
diubah menjadi bulan lain.
Memang ada film yang secara
selintasan ada nuansa Ramadhan atau malam lebaran (yang adalah hari terakhir Ramadhan) yang
kental dengan suasana takbiran. Misalnya di film Cinta
Suci Zahrana (Chairul Umam, 2012), Rembulan
dan Matahari (Slamet Djarot, 1979), dan Boleh
Rujuk, Asal… (Maman firmansjah, 1986). Tapi adegannya hanya kurang dari 25
persen dari keseluruhan film dan bukan merupakan jiwa dari cerita. Ada dua film yang kisahnya terjadi menjelang Idul
Fitri, alias di bulan puasa, tapi belum saya tonton karena aksesnya susah didapat. Film itu berjudul Dosa Tak berampun (Usmar Ismail, 1951) dan Sangkar
Emas (Fred Young, 1952).
Tapi, film yang benar-benar dengan setting bulan Puasa, dan menunjukkan
dinamika ritual ibadah Ramadhan (sahur, puasa, tarawih, buka bersama) dan
menjadikan Ramadhan sebagai jiwa dari
film ini, hanya sedikit. Saya hanya menemukan 4 film panjang, dan 1 film pendek
dalam proyek omnibus. Dan lebih dari separuhnya adalah film anak-anak. Berikut film-film tersebut.
Mudik
(Muchyar Syamas, 2011)
Suka atau tidak suka, film yang
diproduseri Raam Punjabi ini cukup melukiskan suasana bulan suci Ramadhan. Lepas dari kuatnya aroma
sinetron—baik dari segi cerita yang cenderung banal dan berlebihan dan banyak kebetulannya, pengadeganan yang apa adanya, para karakter yang kurang berkembang dan hitam
putih, dan sinematografi pas-pasan—tapi inilah film yang jiwanya adalah
semangat mudik, salah satu elemen yang menempel kuat di benak banyak Muslim. Di sini, kita bisa melihat detil-detil
suasana khas, misalnya fenomena warteg yang ditutupi tabir hingga calo di
terminal bis, hiruk pikuk kendaraan yang hendak pulang kampung, kurma Arab yang
dibeli di Tanahabang, dan Jakarta yang
sepi saat Idul Fitri. Tentu, jangan berharap ini film dengan pendekatan syiar
dakwah seperti film religi, tapi lebih kepada mengeksplorasi dan mengolok-olok
keseharian karakter-karakternya—yang mungkin juga dialami banyak penonton.
Film berfokus pada Gunadi, anak desa
yang mengadu nasib di Jakarta tapi masih saja menganggur di tahun ketiganya.
Lestari, calon istrinya, menunggu untuk dinikahi. Tapi jangankan dana nikah, ongkos mudik saja
dia tidak punya. Hingga ia menjadi supir pribadi seorang konglomerat. Sementara itu, Kuncoro, bapak kosnya, juga pusing memilih mudik antara Bukit Tinggi
(tempat mertuanya) atau ke desanya di Jawa Tengah. Suami dari Yustina itu digambarkan mata duitan dan selalu
menggencet anak kosnya, kecuali satu orang yang tukang pengadu. Ada juga Iskandar, pejabat di Kementerian Sarana Publik yang
sudah tiga tahun tak pulang ke desanya di Wonosalam, Jogjakarta.
Singkat cerita, Gunadi ditolong oleh rekan kosnya
mendapatkan kerja sebagai supir pribadi Iskandar. Sebelumnya, ia narik taksi dan hampir menabrak Wulan, yang
baru saja selesai kawin kontraknya dengan pria asal Arab. Wulan pun berasa berhutang budi, tapi dengan
cara yang ekstrem. Dia “menculik” Gunadi dan memakai kendaraan milik sang
majikan, untuk pelesir. Walhasil, Gunadi
dipecat Iskandar, dan hanya dikasih pesangon seperlunya. Lebaran sudah di depan
mata, dan ia belum punya uang untuk mudik, apalagi buat nikah. Bagaimana Gunadi
menyelesaikan problematika ini?
Seputih Cinta Melati (Ari Sihasale, 2014)
Inilah film yang nafasnya adalah bulan Ramadhan. Dari
ritual ibadah keseharian hingga pesan moral untuk maaf memaafkan, tersaji di
sini. Atmosfir bulan suci puasa, seperti pembacaan ayat suci Al-Quran, buka
puasa, dan sahur keliling lengkap dengan berbagai kentongannya. Dari awal, pasutri Ari Sihasale
dan Nia Zulkarnaen, memang merencanakan film ini untuk liburan lebaran yang
bertemal lebaran dan Ramadhan.
Film berfokus pada si cilik Melati dan abangnya, Rian.
Mereka bertemu Ivan dan Erik, dua narapidana yang buron dari penjara, yang
menolong mereka saat kaki Melati terjepit. Mereka pun makin dekat, dan kedua
bocah itu tak tahu identitas teman barunya itu.
Rian mengajari Erik cara memancing, dan Melati mengajarkan Ivan untuk
menghafal al Quran. Masalahnya, Erik ingin kabur dari sana, tapi Ivan sudah
terlanjur akrab dengan Melati. Sampai akhirnya penduduk sana tahu siapa mereka
sebenarnya.
Rindu Kami
PadaMu (Garin Nugroho, 2004).
Satu lagi film keluarga dengan anak-anak sebagai tokoh
utamanya. Inilah film Garin yang paling komunikatif. Kisahnya terjadi di bulan
Ramadhan di sebuah pasar tradisional di pinggiran Jakarta yang kumuh. Banyak
karakter di dalam film ini, saling terkait dan diikat oleh rasa kebersamaan
sebuah perkampungan yang masih menghidupkan semangat gotong royong. Ada Pak Haji Arif yang masjidnya tak berkubah
karena kurang dana. Ada seorang suami yang bertobat dengan menjadi penjaga
masjid. Istrinya kabur karena tak tahan dipukuli, dan sejak itu anaknya selalu
menggelar sajadah kosong, berharap ibunya akan datang. Ada bocah yang hidup
dengan abangnya penjual telur asin dan mencari sosok ibu dalam seorang
karyawati bernama Cantik. Ada Rindu yang tuna rungu dan terpisah dari
abangnya karena bencana alam, dan
diangkat anak oleh penjaga warung. Semuanya bermuara pada pencarian sosok ibu
dan nilai-nilai keibuan, dan semuanya terjadi di bulan Ramadhan.
Menjelang Lebaran, banyak penduduk sekitar bersiap
untuk pulang kampung, dan menitipkan banyak hal—dari kunci rumah hingga ayam
jago—kepada orang-orang yang tidak mudik, seperti ke merbot masjid dan ibu
penjaga warung. Dan, karena salah satu lokasi utamanya adalah masjid yang tak
berkubah, banyak adegan dilakukan di sini, termasuk shalat wajib dan tarawih
berjamaah. Dan, tentu, lagu Rindu Kami
Padamu dari Bimbo memperkuat semangat religi yang menyayat hati.
Untuk
Rena (Riri Riza 2005)
Bulan Puasa,
rumah panti asuhan, dan kisah tentang tragedy Aceh Tsunami. Ketiganya saling
berkaitan dalam film produksi Miles Films ini. Berkisah tentang Rena dan “adik-adik”nya di
Rumah Matahari, sebuah panti asuhan di luar kota Jakarta. Mereka sangat kompak.
Rena sangat protektif dan berupaya mencegah para tetamu mengadopsi adik-adiknya
yang lucu, dengan cara membuat berbagai ulah yang nakal. Suatu hari, datanglah
tamu misterius, Yudha, ke sana dan menginap setiap akhir pekan. Awalnya, Rena dan kawan-kawan agak curiga dan
menjaga jarak seraya bertanya: “Apa maunya Om Yudha rutin ke tempat kami?”.
Tapi, lama-lama cair juga mereka. Karena Yudha orang yang ramah dan ringan
tangan, termasuk memperbaiki saluran air yang tersendat. Tapi pertanyaannya
masih terngiang: Apa motif utama Yudha datang ke sana?
Film ini
juga mengajarkan agar kita tidak melihat seseorang dari tampilan fisik saja,
tetapi juga kepribadiannya, dan agar tidak berburuk sangka kepada orang lain.
3ll4
(Wisnu Surya Pratama, 2010)
Ini adalah film berdurasi kurang dari
8 menit yang ada dalam kumpulan film pendek Belkibolang.
Film yang disutradarai oleh Wisnu Surya Pratama ini
berkisah tentang sahur di hari terakhir
Ramadhan. Dini hari itu, Ella, seorang pelacur asal Surabaya,
ngobrol dengan Pak Gendut, penjual bebek
bakar asal Madura dengan Bahasa daerah masing-masing. Di sini, profesi pelacur tidak dilihat hitam
putih atau sesuatu yang hina dina, tapi sebagai sosok manusiawi. Ella punya
tanggung jawab di kampungnya. Dia hari itu hendak mudik, dengan membawa
oleh-oleh berupa uang yang banyak untuk keluarganya, dan kaca mata untuk
ayahnya tercinta. Keluarganya tidak tahu profesi Ella, kecuali hanya info
banyak ia bekerja di Jakarta dan lebaran pulang membawa rezeki. Seolah-oleh
Ella punya dua identitas yang saling bertolak belakang. Sebagai pekerja seks
komersial, ia genit dan merayu. Tapi sebagai anggota keluarga, ia mengubah cara
bicara (seperti saat berbicara dengan ibunya di telepon) dan busananya.
Citranya juga berbalik ketika bersiap pulang kampung: Ella sebagai seseorang
yang bekerja di Jakarta dan punya tanggung jawab menafkahi keluarga, ini adalah
salah satu representasi salah seorang warga Jakarta. Dan semuanya terjadi di
satu malam menjelang subuh, di bulan Ramadhan. Sebuah kritik konsumerisme,
komersialisme, dan materialisme sudah merajalela, bahkan tak mampu dibentengi
oleh Ramadhan?
Dimuat di Majalah ESQ Life, Juni 2015.
http://www.esqlife.com/article/ramadhan-dan-kehidupan/ Puasa Terpanjang di Inggris (Sekitar 19 jam)
Kabarnya, musim panas tahun ini adalah puasa Ramadhan terpanjang di UK.(CMIIW): subuh jam 2.18 dan maghrib 21.22. Tentu mayoritas orang tetap makan, minum, dan melakukan hal-hal normal lainnya. Tapi barangkali di situ seninya, dan, Insya Allah, berkahnya. Semoga lancar dan berkah. Amien. Semoga bisa "istiqomah" bersafari Ramadhan alias ifthar gratis dari masjid ke masjid, hihihihi. .Bismillah!
Nah, kalau malamnya cuma sebentar, kalau pakai matematika duniawi, artinya potensi mendapatkan Malam Seribu Bulan (Lailatul Qadar) lebih besar, kali ya? *ngarepdotcom*
(Tapi, sayangnya, tahun ini tidak ada program TV :A Very British Ramadan", euy).
Info soal masjid dan toko halal di Norwich: klik di sini
Info soal masjid dan toko halal di Norwich: klik di sini
Ihsan Mosque, Norwich
IHSAN MOSQUE, NORWICH.
Ini cuplikan "A Very British Ramadan" dari Channel 4 tahun 2013. Episode ini fokusnya pada jamaah Ihsan Mosque, Norwich, tempat saya biasa shalat jumat (kalau tidak berada di kampus) dan shalat lainnya (kalau lagi main di city center).
Imam masjidnya (Syeikh Abdassamad) diwawancara. Dia mualaf, tapi apakah kita bisa mengatakan seseorang "mualaf" kalau orangnya masuk Islam 40 tahun lalu dan menguasai kajian Islam (dan menerapkannya, tentunya) lebih dari sebagian Muslim Indonesia yang saya kenal?
Masjid ini berbeda dengan masjid lainnya (khususnya di kampus yang didominasi mahasiswa dari timur tengah) karena pendekatannya yang sufistik dan intelektual. masjid ini multikultural dan didominasi "mualaf" , warga asli UK dan juga kulit hitam. mereka ada tarekatnya--selain "tahlilan"/shalawat dengan suara yang dikeraskan--yang sifatnya agak tertutup, dengan alasan tidak mau menimbulkan fitnah dan perdebatan. juga punya lingkaran studi yang ilmiah, salah satunya tentang sejarah semacam "Early Madinah" dan juga fiat money dan pentingnya kebangkitan dinar dan dirham (saya agak buta soal ekonomi Islam, karena itu konsep fiat money ini baru dan sangat menarik bagi saya). Berkaitan dengan soal ini, dalam suatu kesempatan, seorang tokoh Muslim dari Birmingham pernah berkunjung ke sini, dan saya diperkenalkan sebagai orang Indonesia, dan dia berkomentar: "Dari Indonesia? Wah, seharusnya Anda bangga. Ide memasyarakatkan Dinar dan Dirham itu asalnya dari negaramu!".
Buka puasanya juga agak unik. Dua tahun lalu, kami sekeluarga berkesempatan ifthar di sini beberapa kali (sambil coba juga di tempat lain). Di sini cukup "British". Pertama, makanan pembuka (pembatal puasa) seperti susu dan korma. tapi tak ada yang menyentuh makan hingga adzan selesai dikumandangkan. Setelah appetizer, shalat dulu. Lantas makanan utama, disantap dengan berjamaah (satu piring besar untuk 4-6 orang. setelah itu, sambil santai menunggu Isya, dihidangkanlah teh dan kopi, makanan ringan dan, kalau cukup beruntung, es krim sebagai hidangan penutup.
Khutbah Jumatnya sangat mengenyangkan otak dan rohani saya. Kadang sang Kyai mengomentari hal-hal yang sedang hangat dibahas. Misalnya, soal ISIS, dengan tegas, di atas mimbar, sang Imam berkata: "itu bukan jihad. itu pembunuhan!".
Dan kadang, kalau nongkrong besama mereka sehabis shalat jumat, diskusinya sangat menarik. kalau bahas musik, misalnya, mereka malas bahas nasyid (karena acapella mengingatkan mereka pada gospel, yang dekat dengan agama lama mereka), tapi malah bahas Jack White dan Neil Young. karena kedua musisi itu, menurut mereka, mencari spiritualitas dalam musik mereka yang "raw". Bahkan mereka punya komunitas musik, lengkap dengan alat musik dan sound system. Dan tentu saja selera musiknya nyambung dengan saya: rock dan blues. Saya pernah diajak buat jam session, tapi belum sempat terlaksana.
Di lain kesempatan, sang Imam memposting link film They Live (film cult, yang menceritakan bahwa penonton bisa melihat "maksud sebenarnya" dari dialog/pidato para karakternya atau iklan/media lainnya yg terpampang).
Ah ya, dari segi fiqih, mereka bermadzab Maliki. Saya jadi minoritas dan itu terlihat saat shalat, khususnya saat posisi berdiri (berbeda dengan lainnya, tangan saya bersedekap) dan duduk takhiyat akhir (posisi kaki kiri saya menjorok ke kaki kanan).
Eh, jadi ngelantur. Silahkan dinikmati klip 4 menit ini:
A Very British Ramadan - Channel 4 - Norwich Muslim Community
http://www.downvids.net/a-very-british-ramadan-channel-4-norwich-muslim-community-559523.html
Info masjid dan toko halal: klik di sini
Ini cuplikan "A Very British Ramadan" dari Channel 4 tahun 2013. Episode ini fokusnya pada jamaah Ihsan Mosque, Norwich, tempat saya biasa shalat jumat (kalau tidak berada di kampus) dan shalat lainnya (kalau lagi main di city center).
Imam masjidnya (Syeikh Abdassamad) diwawancara. Dia mualaf, tapi apakah kita bisa mengatakan seseorang "mualaf" kalau orangnya masuk Islam 40 tahun lalu dan menguasai kajian Islam (dan menerapkannya, tentunya) lebih dari sebagian Muslim Indonesia yang saya kenal?
Masjid ini berbeda dengan masjid lainnya (khususnya di kampus yang didominasi mahasiswa dari timur tengah) karena pendekatannya yang sufistik dan intelektual. masjid ini multikultural dan didominasi "mualaf" , warga asli UK dan juga kulit hitam. mereka ada tarekatnya--selain "tahlilan"/shalawat dengan suara yang dikeraskan--yang sifatnya agak tertutup, dengan alasan tidak mau menimbulkan fitnah dan perdebatan. juga punya lingkaran studi yang ilmiah, salah satunya tentang sejarah semacam "Early Madinah" dan juga fiat money dan pentingnya kebangkitan dinar dan dirham (saya agak buta soal ekonomi Islam, karena itu konsep fiat money ini baru dan sangat menarik bagi saya). Berkaitan dengan soal ini, dalam suatu kesempatan, seorang tokoh Muslim dari Birmingham pernah berkunjung ke sini, dan saya diperkenalkan sebagai orang Indonesia, dan dia berkomentar: "Dari Indonesia? Wah, seharusnya Anda bangga. Ide memasyarakatkan Dinar dan Dirham itu asalnya dari negaramu!".
Buka puasanya juga agak unik. Dua tahun lalu, kami sekeluarga berkesempatan ifthar di sini beberapa kali (sambil coba juga di tempat lain). Di sini cukup "British". Pertama, makanan pembuka (pembatal puasa) seperti susu dan korma. tapi tak ada yang menyentuh makan hingga adzan selesai dikumandangkan. Setelah appetizer, shalat dulu. Lantas makanan utama, disantap dengan berjamaah (satu piring besar untuk 4-6 orang. setelah itu, sambil santai menunggu Isya, dihidangkanlah teh dan kopi, makanan ringan dan, kalau cukup beruntung, es krim sebagai hidangan penutup.
Khutbah Jumatnya sangat mengenyangkan otak dan rohani saya. Kadang sang Kyai mengomentari hal-hal yang sedang hangat dibahas. Misalnya, soal ISIS, dengan tegas, di atas mimbar, sang Imam berkata: "itu bukan jihad. itu pembunuhan!".
Dan kadang, kalau nongkrong besama mereka sehabis shalat jumat, diskusinya sangat menarik. kalau bahas musik, misalnya, mereka malas bahas nasyid (karena acapella mengingatkan mereka pada gospel, yang dekat dengan agama lama mereka), tapi malah bahas Jack White dan Neil Young. karena kedua musisi itu, menurut mereka, mencari spiritualitas dalam musik mereka yang "raw". Bahkan mereka punya komunitas musik, lengkap dengan alat musik dan sound system. Dan tentu saja selera musiknya nyambung dengan saya: rock dan blues. Saya pernah diajak buat jam session, tapi belum sempat terlaksana.
Di lain kesempatan, sang Imam memposting link film They Live (film cult, yang menceritakan bahwa penonton bisa melihat "maksud sebenarnya" dari dialog/pidato para karakternya atau iklan/media lainnya yg terpampang).
Ah ya, dari segi fiqih, mereka bermadzab Maliki. Saya jadi minoritas dan itu terlihat saat shalat, khususnya saat posisi berdiri (berbeda dengan lainnya, tangan saya bersedekap) dan duduk takhiyat akhir (posisi kaki kiri saya menjorok ke kaki kanan).
Eh, jadi ngelantur. Silahkan dinikmati klip 4 menit ini:
A Very British Ramadan - Channel 4 - Norwich Muslim Community
http://www.downvids.net/a-very-british-ramadan-channel-4-norwich-muslim-community-559523.html
Info masjid dan toko halal: klik di sini
Subscribe to:
Posts (Atom)