Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, Januari 2011.
Jalan-jalan ke Vietnam adalah menemukan surga belanja bagi orang Indonesia. Saya mengalaminya, pada 30 Juni-5 Juli 2010. Dan belanja murah adalah kesan pertama saya tentang Saigon alias Ho Chi Minh City.
Bayangkan, Dong, mata uang sana, kurang lebih adalah separuhnya Rupiah. Dan harga di sana, bahkan sebelum dirupiahkan, tergolong murah. Dan, tidak perlu pusing-pusing ke konter penukaran uang, cukup pakai kartu debit Anda dan tarik uang di ATM mana pun. Asyik, kan?
Sebenarnya saya tidak benar-benar berlibur. Saya ke sana dalam rangka konperensi Aseacc (Annual South East Asian Cinema Conference). Saya hadir bersama beberapa akademisi yang mendalami film, seperti Intan Tito Imanda, Paramaditha, dan Veronika Kusuma. Dan di sana saya juga bertemu dengan pakar sinema Asia Tenggara lainnya seperti Thomas Barker dan Gaik Cheng Khoo. Ada pula produser Meiske Taurisina dan penulis skenario Prima Rusdi.
Namun, asyiknya, acaranya dilangsungkan di distrik satu, alias pusat kota yang menyajikan banyak hal untuk turis. Cukup berjalan 10 menit, maka kita akan tiba di Pasar Ben Tanh, pasar murah serba ada yang mirip Tanahabang. Dan ada banyak waktu luang di malam hari, juga ada waktu sehari sebelum dan sesudah konperensi. Maka jadilah saya dan rekan-rekan mengeksplorasi Saigon. Asyiknya lagi, di sana berjalan kaki, walau kadang ada “ancaman” dari kendaraan yang semrawut, tapi terasa aman,walau pun di malam hari.
Kembali ke soal belanja, dari awal istri saya sudah wanti-wanti untuk dibelikan mukena. Menemukan peralatan shalat di tengah-tengah kota komunis, mungkin seperti mencari jarum dalam jerami? Lihat saja, kota itu waktu itu dipenuhi oleh pernak pernik komunisme, mulai dari palu arit hingga bintang kuning-- Maklum, kala itu sedang peringatan besar-besaran 80 tahun komunisme di sana. Waktu saya diminta mencari mukena, tentu saja reaksi saya adalah: “Hah? Demi apa?”. Tapi dia bilang, temannya pernah dibelikan mukena di sana, dengan kualitas bagus dan harga murah. Cari punya cari, saya hampir tak ketemu. Saya sudah coba banyak kosakata: “prayer rug, mukena, muslim dress for praying”, mereka tidak mengerti—ah ya, banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris, termasuk pihak restoran dan hotel—sampai tiba pada satu kata: “telekong!”. Ah, rupanya banyak turis Malaysia yang berbelanja di sini. Hal lain yang saya beli tentu saja adalah buah tangan untuk keluarga dan kolega kerja. Di pasar ini memang cukup lengkap untuk kebutuhan apa pun: baju tradisional Vietnam, bunga, makanan dan minuman, emas, souvenir, sandal, hingga perhiasan
Saya mendengar kabar dari Prima Rusdi, ada toko poster bernama Dogma. Isinya adalah poster propaganda waktu perang Vietnam. Sayangnya, setibanya di sana, kami mendapati harganya $30 ke atas. Maka, kami pun urung membeli, dan lebih melirik souvenir lain yang harganya lebih merakyat, yang tokonya tersebar di sekitar sana.
Bagaimana dengan makanan? Wisata kuliner adalah sensasi berikutnya. Saya dan kawan-kawan diajak Gaik,yang sudah lebih dulu di sana, untuk makan jajanan pinggir jalan. Maka jadilah kami makan Ipho, makanan khas Vietnam, berisi mie, bakso,daging dan taoge, dengan tambahan irisan cabe. Sekilas mirip dengan gerobak bakso yang mangkal di ujung gang dekat rumah. Rasanya, mengutip Pak Bondan: Maknyus! Dan, sekali lagi: murah! Di malam pertama, kami diundang panitia konperensi ke restoran India halal, Tandoor Bistro (6 Hai Ba Trung, district 1). Di sana, untuk pertama kalinya, saya minum jus manggis. Rasanya kental-kental kecut manis.
Hal lain yang menyenangkan adalah, jarak tempuh Jakarta- Ho Chi Minh City tidak panjang—sama seperti Jakarta- Bandung, kurang lebih, dan tidak ada perbedaan waktu. Bandara Tan Son Nhat juga cukup bersahabat. Dan taksi pun tidak terlalu mahal. Seingat saya, yang termahal adalah ongkos taksi Bandara-Hotel, yaitu 300 ribu Dong alias Rp 150 ribu, untuk dua taksi. Dan itu pun, menurut saya, masih jauh lebih murah di bandingkan di Jakarta.
Bicara soal jarak tempuh, jika kita berada di pusat kota seperti daerah Ben Tanh Market, maka kita bisa mengunjungi museum atau tempat-tempat hiburan dengan cukup berjalan kaki. Misalnya, di tepi sungai bernama Dam Sen Water Park. Sepanjang perjalanan, banyak orang berjualan kaos souvenir, $10 untuk 3 buah. Juga ada biji kopi dengan berbagai variasi. Tempat lain adalah berbagai museum dan Gedung Opera. Dan, ini yang menarik, taman kota ada di mana-mana, gratis, rindang, dan besar. Bandingkan dengan Jakarta si kota berjuta mal alias hutan beton.
Restoran lain yang kami kunjungi adalah rumah makan khusus makanan khas Vietnam Tengah, Quan An Hue (52 Hai Ba Trung). Di sini, mungkin kondisinya mirip dengan Kemang, harga-harga cukup tinggi. Dari catatan Veronika di blognya, karena saya terlalu malas mencatat detil-detil, nasi dan makanan berat berharga minimal 75,000 dong, minuman jus 20,000 ke atas, teh 5,000 dong, pancake 45,000 dong (bandingkan dengan harga di jalan, 10,000 dong). Kalau ingin merasakan sensasi restoran cina ala Mangga Besar, coba ke distrik 7, di Lien Thai Tra Gia. Di sini, dengan berbagai lauk pauk, kami bersepuluh menghabiskan 530,000 dong.
Kudapan lain yang saya rasakan di sana adalah panekuk khas berisi taoge, irisan bawang Bombay dan hewan laut, yang berukuran besar. Kali ini saya dan rombongan Indonesia ditraktir kak Yati Passeng, dari Universitas Hawaii di Com Nieu Sai Gon (6C Tu Xuong). Sepertinya inilah restoran terlezat selama pengalamanan saya di sana.
Kala itu, demam Piala Dunia sedang melanda. Dan untunglah, Saigon adalah kota yang cukup gila bola. Kami berombongan pun ingin melihat pertandingan, karena televisi di hotel tidak menyediakannya, hanya ada TV kabel. Ada kafe Vasco (74 Hai Ba Trung), dan ternyata penuh. Kami pun menikmati pertandingan di bar Phacaran di ujung gedung Opera untuk nonton pertandingan Belanda-Brazil. Suasana lain saya rasakan saat pertandingan Jerman-Argentina. Kami menonton bersama ratusan,mungkin ribuan, warga lokal di sebuah lapangan besar, dekat gereja Notre Dame. Layarnya berukuran raksasa. Mereka semua duduk rapi di kursi, dan berteriak-teriak mendukung kesebelasan favoritnya. Gerai makanan dan minuman bertaburan di mana-mana. Mirip dengan kala kita menonton layar tancap.
Bicara soal kafe, di sini begitu banyak kafe bertebaran. Kehidupan malam juga marak. Saya beberapa kali nongkrong di salah satu kafe dekat tempat acara, untuk sekadar minum teh dan bercengkrama dengan teman baru dari berbagai penjuru dunia.
Sebagai pengamat film, tentu kami tak lewatkan merasakan sensasi gedung bioskop. Maka kami pun beramai-ramai hadir ke Dongda Cinema di district 7. Untuk ini, mau tak mau kami menyewa taksi. Kami memilih Fools of Love, film komedi romantic karya Charlie Nguyen (seorang Vietnam yang tinggal lama di Los Angeles). Pada salah satu sesi di ASEACC, terkuak bahwa banyak sutradara muda asal Saigon yang lahir dan besar di AS dan membuat film a la Hollywood di negeri aslinya. Dan asyiknya, ada teks bahasa Inggrisnya, sehingga kita bisa mengikuti jalan cerita. Dan siapakah pemeran utamanya? Dustin Nguyen. Yup, aktor yang di sini dikenal lewat serial TV 21 Jump Street. Harga tiketnya 50 ribu dong.
Satu lagi pertunjukan khas Saigon adalah Water Puppet Show alias wayang air. Walau tak mengerti bahasanya, tapi kami semua menikmati sajian kisah dongeng klasik Vietnam yang begitu atraktif. Panggungnya adalah sebuah kolam besar, dan di pinggirannya para musisi membawakan score dan original soundtract. Mirip wayang golek, tapi ini dilakukan di air. Saya hingga sekarang masih bingung, bagaimana cara mengoperasikan boneka-boneka itu? Apakah para dalangnya menyelam, atau ada kayu atau tali panjang di bawah air? Harga tiketnya Cuma 80 ribu dong. “Belum ke Water Puppet Show, artinya belum ke Vietnam”, demikian promosi mereka di buklet, sepertinya ada benarnya juga.
Sayangnya, saya tak banyak mengunjungi museum. Walau tak sempat ke Reunification Palace, tapi saya dan Nadi Tofighian, orang Iran yang warga Negara Swedia, mengunjungi Revolutionary Museum yang berubah menjadi Museum Kota. Di sana, artefak dan arsip seolah bertutur tentang sejarah panjang negeri ini, yang mengalami beberapa perang besar. Tentu saja, fokusnya adalah Paman Ho Chi Minh lengkap dengan foto-foto dan berbagai peninggalan perang dan kepahlawanannya. Mereka begitu menghargai tokoh-tokoh yang berjasa bagi kota itu. Sebenarnya museum ini gabungan dari Museum Jayakarta di Kota Tua dengan museum Gajah dan Museum Satria Mandala yang banyak memamerkan kendaraan perang.
Sayang sekali, saya tak sempat mampir ke situs-situs di luar kota, seperti Chu Chi Tunnel yang membutuhkan waktu seharian untuk menikmatinya. Tapi, cukup di dalam kota, kita bisa puas mengeksplorasi keunikan dan kekhasan Ho Chi Minh City. (Ekky Imanjaya)
Dimuat di majalah Esquire