Friday, 26 July 2019

DUA GARIS BIRU DAN BAGAIMANA JIKALAU

Subuh pagi itu saya bangun, dan beberapa adegan Dua Garis Biru, yang saya tonton malam sebelumnya, dengan erat masih terngiang-ngiang dan mencengkeram benak.  

Masih segar dalam ingatan saya, tidak hanya adegannya, tapi bahasa audio-visualnya (misalnya, kapan kamera diam dan kapan bergerak) dan unsur-unsur yang ada dalam layar (mise-en-scene) yang sekilas  mungkin terkesan remeh temeh namun turut menentukan pemaknaan: ondel-ondel, stoberi, lagu Jikalau-nya Naif, bahkan suara dari GPS “Jalan buntu. Putar balik”.

Semua adegan-adegan itu berlompatan dalam benak saya dengan keterkaitannya dengan satu dan hanya satu pertanyaan “What If”:  “Bagaimana jika  putri saya mengalami apa yang dialami Dara, hamil di luar nikah di saat masih sekolah?”.

Bagaimana jika putri saya, yang ceria dan bersahabat, penuh percaya diri, dan punya segudang impian, kemudian harus dibebani dengan problematika yang sangat berat: menjadi gunjingan sekitar,  potensi mengalami hal-hal buruk dari segi kesehatan akibat  hamil di usia dini, barangkali kawin muda dan terbatasnya upaya eksplorasi kehidupan dari perspektif seorang remaja karena harus mengasuh anak, dan…kemungkinan mengubur semua impiannya yang sudah di depan mata yang sudah ia bangun sedari kecil? Masa depan suram? Bukti kegagalan menjadi orang tua?

Saat penonton, sahabat saya yang nobar di samping saya punyaconcern yang serupa. Baginya, dan bagi saya juga, film ini bisa menjadi semacam film horor.

Bagaimana jikalau?

Oh ya, sebagai penyegar ingatan, ini kisah Bima dan Dara, dua siswa  SMA yang bersiap ujian kelulusan, yang pacaran dan “kecelakaan”. Bima yang prestasi akademisnya buruk, dari keluarga yang paspasan, tinggal di gang Jakarta, dari kelurga relijius. Sebaliknya, Dara anak cemerlang, juara kelas, keluarga kaya yang punya kolam renang di halaman belakang, dan tidak terlalu agamis. Dari sini saja sudah terbayang bagaimana konflik demi konflik akan terjadi.

Agak “gagal paham” bagi saya kalau ada pendapat yang menyatakan film ini “berbahaya” karena dianggap menganjurkan seks bebas. Apalagi bagi yang sudah menonton. Karena tidak ada adegan erotis atau raniang apapun  dalam film ini. Adegan “kecelakaan” itu hanya terjadi di lima menit pertama, itu pun tidak diperlihatkan sama sekali.

Sebaliknya, film ini menunjukkan dampak-dampak buruk jika hamil di usia remaja. Juga diskursus terkait kesehatan reproduksi dan istilah-istilah umum terkait. Bisa dibilang, ini sebuah pendidikan seks (bedakan dengan “pengajaran seks”) yang amat baik, dan bisa menjadi pemicu diskusi antara orang tua dengan anak-anak ABG-nya.

Tapi, saya maklum jika isu “pendidikan seks”, seperti kesehatan reproduksi, masih terasa tabu di Indonesia, walau amat penting dilakukan. Di sekolah putri saya di Bristol, Inggris yang adalah negara maju, isu ini juga cukup sensitif. Saat wacana ini hendak  diperkenalkan ke anak kelas 3 SD, saya ikut rapat sosialisasinya. Intinya, agar anak-anak SD tahu nama-nama organ tubuh, dan perbedaan tubuh pria dan wanita dan agar mereka tidak memperbolehkan orang lain (selain lingkaran dalam keluarga yang terpercaya dan dokter jika mesti diperiksa) melihat dan menyentuh bagian-bagian intim mereka. Tiba-tiba seorang emak-emak gempal bertato berdiri dan setengah menghardik: “Apa-apaan ini? Anak saya terlampau kecil untuk paham soal ini. Apakah hal ini tidak terlalu dini?”. Namun, sekarang, pelajaran itu menjadi wajib, di bagian biologi, walau cuma beberapa pertemuan dan hanya membahas hal-hal mendasar saja
Kembali ke Dua Garis Biru.

Penggambaran Jakarta adalah hal lain yang menarik. Saat saya mengulas Eliana-Eliana dan Rindu Kami Pada-Mu dalam tesis S2, saya memakai istilah “Pintu Belakang Jakarta” (meminjam istilah dari Mas Seno Gumira Ajidarma saat memberikan kata pengantar untuk buku skenario Eliana Eliana) dan “Mental Landscape”.

“Pintu Belakang” yang dimaksud adalah sisi lain Jakarta yang (kala itu) jarang diperlihatkan di sinema Indonesia), suasana mal yang mau tutup, perkampungan kumuh, pasar tradisional, dan sebagainya. Sedangkan “Mental Landscape” adalah sebuah lansekap yang tidak hanya menggambarkan gedung fisik dan kota besar yang mati dan tanpa nama, namun, mengutip Asrul Sani, “Jakarta yang memotret hidup, pandangan, dan aspirasi dari penduduk Jakarta kelas-kelas tertentu” (Jufri (eds.) 1992: 21), bukan yang mengesankan Jakarta yang “penuh kekosongan akan hal-hal spiritual”, dengan karakter yang stereotype dan tidak menangkap kondisi dan situasi masyarakat urban yang sebenarnya. 

Dalam istilah Jaques Decornoy: Jakarta yang menjadi kota dengan identitas abstrak.  Andre Bazin mempunyai istilah lain: “vitalitas spiritual” dari sebuah kota. Saat membela Voyage to Italy karya Rossellini, Bazin menyatakan bahwa, walaupun tidak disyut di lokasi yang sebenarnya, tapi Naples di kota itu tidak palsu karena punya kualitas dari keutuhan (the quality of wholeness) dari sebuah kota dan disaring dari kesadaran dan perilaku karakter utamanya  (Bazin 1972: 98-99). Dan karena itulah Bazin menjuluki Rosselini sebagai “seorang seniman dengan vitalitas spiritual yang langka”. Pendek kata: kota yang tergambar adalah kota yang menggarisbawahi pencapaian dan kemajuan manusia.

Dua Garis Biru, dalam konteks ini, berhasil  mengetengahkan “mental landscape” dengan mengeksplorasi ruang-ruang kumuh, seperti perumahan dan gang-gang yang sempit dan selalu dilalui motor, jembatan. Dalam beberapa adegan ketika para tokoh utama  melewati gang-gang itu, tampak  pemetaan tipologi penduduk dan tradisi di antara mereka. Misalnya, terbetik berbagai problematika rumah tangga dan perkara keuangan. Juga keguyuban yang masih terjaga, seperti yang tercermin saat salah satu warganya ada yang wafat.  Tidak hanya kelas bawah, film ini juga menggambarkan sisi kelas atas.

Singkatnya, Ini adalah salah satu film Indonesia terbaik  tahun ini yang saya tonton sejauh ini. Tontonlah selagi masih di gedung bioskop.

Dan adegan-adegan itu masih saja bergentayangan dalam benak saya. Bagaimana jikalau….



Jikalau telah datang waktu yang dinanti

Ku pasti bahagiakan dirimu seorang

Kuharap dikau sabar menunggu.


(Naif, Jikalau)***

Catatan: Tulisan aslinya dimuat di Pabrikultur, 16 Juli 2019.