Saturday, 25 July 2020

Nongkrong Bareng #4: Gayatri Nadya/Kolektif Film: Serba-Serbi Alternatif...

Nongkrong Bareng #4
NB: Gayatri Nadya (Kolektif Film)
Barangkali, distribusi adalah “makhluk” yang paling gelap dalam ekosistem perfilman di Indonesia. Nongkrong Bareng kali ini menampilkan Gayatri Nadya (nana) dari Kolektif Film yang berkecimpung di dunia distribusi film.
Kita ngobrol ngalor ngidul tentang bagaimana memenuhi kebutuhan penonton akan film-film di luar arusutama, termasuk film-film hasil restorasi dan film klasik lainnya. Juka terkait sirkulasi film di luar Pulau Jawa, dengan tantangannya yang berbeda-beda, khususnya di tempat-tempat yang belum ada bioskop. Yang menarik juga adalah soal peredaran film Indonesia di luar negeri, termasuk penyediaan subtitle yang juga menjadi masalah tersendiri.

Tentu saja kami membahas pengalaman Asmayani Kusrini (Bakulkultur, Belgia) bekerjasama dengan Kolektif yang melakukan penayangan rutin film Indonesia di bioskop Cinema Aventure Brussels selama setahun. Di antaranya pemutaran "Sunya", "Turah", dan "Ziarah".

Tak ketinggalan juga tentang nyaris tertundanya "Film Musik Makan 2020”, mensiasai kelambanan pengiriman film di era pandemi, dan upaya melebarkan sayap keluar komunitas dan perusahaan non-film
https://www.youtube.com/watch?v=IFZqmLxGIBA

Sunday, 19 July 2020

Selamat Jalan, Pak Sapardi

Pagi ini saya kaget membaca berita duka. Pak Sapardi Djoko Damono (SDD) telah wafat di usia 80 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga husnul khatimah. Alfatihah. Saya mengenal Pak Sapardi saat kuliah di Fakultas Sastra UI, sebagai dosen dan satrawan. Saat itu, mulailah saya berkenalan dan bahkan mencoba menulis puisi (dan mengirimkannya untuk "bakal calon" kekasih"). Dan pada 1995 hingga 1999, adalah saat beliau menjadi Dekan FSUI. Itulah saat saya produktif berkesenian dan menulis. Saat saya rajin ke berbagai acara pembacaan puisi, diskusi budaya, dan juga musik, dan diskusi keagamaan. Termasuk di PUALAM (Pentas Umum Teater Kolam) yang merupakan acara rutin FSUI. Dan puisi-puisi pak Sapardi tentu adalah salah satu yang mempengaruhi saya. Adanya musikalisasi puisi Ari-Reda yang mengangkat puisi-puisi SDD juga menambah kecintaan saya pada medium puisi, dan pada karya-karya SDD. Tentu "Aku Ingin" adalah favorit banyak orang, yang memakainya untuk gombalan ke gebetannya hingga mencetaknya di berbagai surat undangan pernikahan. Tapi judul lain tak kalah mempesonanya: Di antaranya: "Hujan Bulan Juni", "Ku Hentikan Hujan", dan "Pada Suatu Hari Nanti".
Hingga sekarang, saya masih terkagum-kagum dengan pemilihan diksi dan imajinasinya. Termasuk dalam puisi "Bunga, 1" (1975): "Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api…." Saat saya menjadi redaktur majalah D'Maestro, pertengahan 2000an, saat menyusun pertanyaan untuk reporter saya yang ditugaskan mewawancarai SDD, saya secara spesifik menulis 1 pertanyaan seputar mengapa diksi-diksinya begitu "ajaib", termasuk pemilihan kata "geraham". Kalau tidak salah, terakhir ketemu di Dia.Lo.Gue tahun lalu. Dan baru ngeh kalau beliau produktif dalam menerbitkan buku. Saya tak sempat meminta tanda tangan atau lupa apakah pernah berfoto bersama beliau. Jadi, saya tak bisa menaruh kenang-kenangan itu di medsos. Tapi, sebagai Dekan FSUI, beliaulah yang menorehkan tanda tangan di ijasah S1 saya. Dan itu sudah cukup bagiku. Selamat jalan pak Sapardi. Pada Suatu Hari Nanti (1991) "Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri". (Musikalisasi oleh Ari Reda - Pada Suatu Hari Nanti) https://www.youtube.com/watch?v=1671IvrZsQU