Thursday 7 July 2016

Lima Hal Seputar Lagu “Hari Lebaran” Karya Ismail Marzuki

“Minal Aidin wal Faizin,
Maafkan Lahir dan Batin,
Selamat Para Pemimpin,
Rakyatnya makmur terjamin”.

Lirik lagu di atas adalah refrain dari lagu “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki. Lagu yang popular di era 1950an oleh Lima Seirama  ini masih tetap terkenal hingga di era sekarang. Apa saja hal-hal menarik tentang lagu ini?
1.      Minal Aidin = Maaf Lahir Batin?
Setiap mau Hari Raya Idul Fitri, banyak orang yang memperingatkan bahwa “Minal Aidin” itu bukanlah bermakna “Maaf Lahir Batin”.  Juga ada yang sibuk menerangkan bahwa saling memaafkan di Hari Raya tidak lazim di banyak tempat, dan hanya terjadi di Indonesia (dan juga Malaysia).  Biasanya, dianjurkan untuk mengucapkan “Taqabballallu Minna Wa Minkum” (Semoga Allah menerima <Ibadah> kami dan kalian). Dalam tradisi lainnya, ada ucapan “Eid Mubarak” atau “Eid Said” (Selamat Hari Raya), dan “Kullu ‘Amin Wa Antum Bikhoirin” (Semoga Kita mendapatkan kebaikan sepanjang tahun”.

Tentu saja, “Minal Aidin” adalah juga bagian dari doa Hari Raya, yang intinya adalah mendoakan “Semoga kita semua termasuk dalam golongan yang kembali (ke fitrah) dan mendapatkan Kemenangan (Takwa)”.  Doa ini, kabarnya,  pertama kali diucapkan oleh   seorang penyair pada masa keemasan Andalusia,  Shafiyuddin Al-Huli. Ucapan ini, dan juga tradisi saling memaafkan, masih bisa diperdebatkan, tapi saya berpendapat bahwa ini bersifat kultural, seperti ucapan Kullu Amin atau Eid Mubarak.
Lepas dari perdebatan di atas, saya menduga, lagu ini adalah yang turut mempopulerkan dan/atau menangkap jiwa zaman 1950an istilah “Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Batin”,  yang sekarang lazim diucapkan saat Idul Fitri di bumi nusantara.

2.      Termasuk Paling Banyak Didaurulang
Lagu ini sangat terkenal, bahkan hingga ke negeri jiran. Malaysia. Seniman terbesar negeri itu, P Ramlee menyanyikan lagu ini di tahun 1977, dengan sedikit  penyesuaian lirik berdasarkan Bahasa Melayu (“Maafkan Zahir dan Batin”, misalnya). Lagu ini juga turut mempopulerkan istilah “Lebaran”, yang khas Jawa,” di sena, yang sebelumnya hanya mengenal “Aidil Fitri”. (https://www.youtube.com/watch?v=hazmjUUTy1M).


Di Indonesia, banyak yang menyanyikannya lagi. Penyanyi cilik Tasya Kamila juga menyanyikannya juga  di akhir 1990an (https://www.youtube.com/watch?v=QgtqmNPoX8E).  


Belakangan, Gita Gutawa juga mendendangkannya, 2013 (https://www.youtube.com/watch?v=OtaJ1N_DvYs  ).

3.      …Namun, Sedikit yang Memasukkan Lirik Bagian  ketiga.
Ismail Marzuki, yang orang Betawi asli, memperlihatkan kelihaiannya menulis lirik yang tajam dan kritis, namun jenaka,  dalam memandang fenomena sosial. Berikut bagian kedua dan ketiganya:

“Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perei
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pade lecet babak belur berabe

Maafkan lahir dan batin, ulang taon idup prihatin
Cari uang jangan bingungin, bulan Syawal kita ngawinin

Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri


Maafkan lahir dan batin, ‘lan  taon idup prihatin
Kondangan boleh kurangin, kurupsi jangan kerjain”

Di bagian kedua terlihat bagaimana Ismail meledek fenomena orang kampung merayakannya, naik tram, jalan-jalan hingga “kaki pincang”…” lecet babak belur berabe”.
Sedangkan bagian ketiga sangat aktual hingga saat ini. Dengan berani, Ismail membeberkan kelakuan orang kota yang “berjudi”, “main ceki mabuk Brandi”, “kalah main pukul istri”.
Dan lagu ini ditutup dengan pernyataan yang sangat kuat: “kondangan boleh kurangin, korupsi jangan kerjain”.

Hampir semua musisi yang menyanyikan ulang lagu ini enggan untuk menaruh bagian terakhir dari lirik lagu. Padahal, menurut saya, disitulah nilai lebih lagu ini.
Lirik lagu utuhnya marak beredar di media social sekitar lebaran 1-2 tahun lalu.

4.      Kecuali Deredia
Pada 16 Juli 2015, Deredia, band yang mengkhususkan pada music periode 1950an,  menggunggah rekaman live mereka Ke Youtube. (https://www.youtube.com/watch?v=W3V5E6awazA), dan belakangan makin tersebar di media sosial menjelang Idul Fitri. Kali ini, mereka menyanyikan liriknya secara utuh, karena, seperti terbaca di kanal mereka,  “Bagian akhir dari lagu ini sangat menarik karena masih berkaitan dengan kondisi saat ini”.


Sebelumnya, di era 1960an, Didi dan Orkes Mus Mualim atau  Kwartet DBP Mascan juga telah mendaurulang lagu ini secara lengkap (https://www.youtube.com/watch?v=FaLrRClzpV4)

5.      Termasuk Lagu Sindiran

Denny Sakrie, dalam bukunya, mengutip buku Musik Indonesia dan Permasalahannya (JA Dungga dan L Manik, 1952) yang memetakan ada 4 lagu di era revolusi. Salah satunya adalah lagu-lagu sindiran yang “…melukiskan keburukan-keburukan dalam masyarakat Indonesia di masa perjuangan”. Salah satunya adalah “Ibu, Aku Tak Sudi Tukang Catut”. Lagu jenis ini tak banyak,, dibandingkan lagu tanah air berupa mars, lagu tanah air bersuasana tenang. Dan lagu-lagu percintaan, dan  acap tak diketahui pengarangnya.
Saya kira, lagu ini, walau beredar beberapa tahun setelah era revolusi, masih termasuk dalam kategori lagu sindiran yang pedas. Dan, karena itulah, saya merasakan nuansa yang berbeda, sedikit ngenyek gaya Betawi,  saat menyanyikan bait :”Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin”.

(Dari berbagai sumber)
Dimuat di JakartaBeat 

No comments:

Post a Comment