Wednesday, 13 November 2019

Mas Djadug: dari NGeK hingga "Tujuh Kali Sampai Mati".


Saya salah satu pengagum mendiang Djadug Ferianto, sebagai musisi, khususnya saat tergabung di Orkes Sinten Remen dan Kua Etnika. Tapi pertemuan pertama saya justru saat beliau berkolaborasi dengan Emha Ainun Nadjib dan Gamelan Kyai Kanjeng yang melakukan konser di TIM tahun 1994. Emha kala itu sedang pentas keliling dengan karya terbarunya, Abracadabra Kita Ngumpet. Saya, mahasiswa baru FSUI yang baru saja naik ke semester tiga, hadir sebagai penonton di hari pertama. Sebagai anak ingusan yang juga suka bermusik dan sedang mengeksplorasi music tradisional yang relijius, saya terkesiap dengan kolaborasi itu. Khususnya Tombo Ati yang dibawakan dengan begitu ekspresif.
Segera, saya, yang masih terngiang-ngiang pertunjukan itu, ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman yang seide--di antaranya JJ Rizal, Agung Pribadi, dan Musa Emyus--dan kemudian lahirlah NGeK, sebuah band etnis dengan nuansa relijius. Dan tentunya, “Tombo Ati” menjadi salah satu lagu yang kami garap. Untuk menggambarkan konteks, saat itu, pertengahan 1990an, wacana yang berkembang adalah musik itu haram dan nasyid begitu popular, tanpa terlalu banyak alternatif lainnya. Dan pendirian band dengan alat music (keyboard dan biola) oleh anak-anak rohis seperti saya adalah hal yang progresif bahkan ofensif bagi “kaum hijau”. Konser malam itu, dan tentu dengan mengumpulkan bukti-bukti tentang ketidakharaman musik (terima kasih untuk, di antaranya, DR. Yusuf Qardhawi), membuat saya mantap dengan “jalan sunyi” ini: NGeK.
Pertemuan kedua adalah malam tahun baru 1997, Pasar Seni Ancol. NGeK sepanggung dengan Mas Djadug dkk! Beliau sempat menyapa saya dan menyatakan senang ada “anak-anak kota” yang membawakan lagu-lagu tradisional (yang berkonotasi “kampung” macam Lir-Ilir dan Wajid Ngaji). Tentu saja, satu panggung dengan Mas Djadug adalah sebuah kebanggaan, sebagaimana saya bangga bisa sepanggung dengan Kantata Takwa (yang main akustikan live di FSUI 1998), bahkan saya main di keyboard Mas Jockie S
Pertemuan kedua ini juga membekas. Saat itu sudah mulai krisis ekonomi. Dan pada 1998 awal, gejolak mulai timbul dan gerakan mahasiswa mulai turun ke jalan. Saya,yang kala itu baru lulus S1 pada Februari 1998, juga ikutan. Di antaranya, ikut lenong keliling Teater Sastra UI dan ikut bantu-bantu JJ Rizal yang membentuk “Dari Kumpulannya yang Terbuang”. Saat diskusi soal yel atau lagu yang eye-catching untuk dibawakan saat demo, kami teringat dengan sebuah lagu yang dibawakan Mas Djadug di malam tahun baru 1997 itu: seingat saya, sayalah yang mengusulkan irama lagu “Lima linting Limalinting”. Lantas dibahas, termasuk oleh Agung Pribadi dan JJ Rizal. Dalam diskusi itu, Rizal mengusulkan nadanya agak disederhanakan, menirukan When The Saints Go Marching In”. dan jadilah lagu legendaris yang acap menggema di demonstrasi 1998 itu:”Tujuh Kali….Tujuh Kali…Tujuh Kali Sampai Mati…”.
Selamat Jalan, Mas Djadug,
Berikut "Tombo Ati" yang terpengaruh oleh Gamelan Kyai Kanjeng 1994 yang Mas Djadug berperan penting di dalamnya:

Friday, 26 July 2019

DUA GARIS BIRU DAN BAGAIMANA JIKALAU

Subuh pagi itu saya bangun, dan beberapa adegan Dua Garis Biru, yang saya tonton malam sebelumnya, dengan erat masih terngiang-ngiang dan mencengkeram benak.  

Masih segar dalam ingatan saya, tidak hanya adegannya, tapi bahasa audio-visualnya (misalnya, kapan kamera diam dan kapan bergerak) dan unsur-unsur yang ada dalam layar (mise-en-scene) yang sekilas  mungkin terkesan remeh temeh namun turut menentukan pemaknaan: ondel-ondel, stoberi, lagu Jikalau-nya Naif, bahkan suara dari GPS “Jalan buntu. Putar balik”.

Semua adegan-adegan itu berlompatan dalam benak saya dengan keterkaitannya dengan satu dan hanya satu pertanyaan “What If”:  “Bagaimana jika  putri saya mengalami apa yang dialami Dara, hamil di luar nikah di saat masih sekolah?”.

Bagaimana jika putri saya, yang ceria dan bersahabat, penuh percaya diri, dan punya segudang impian, kemudian harus dibebani dengan problematika yang sangat berat: menjadi gunjingan sekitar,  potensi mengalami hal-hal buruk dari segi kesehatan akibat  hamil di usia dini, barangkali kawin muda dan terbatasnya upaya eksplorasi kehidupan dari perspektif seorang remaja karena harus mengasuh anak, dan…kemungkinan mengubur semua impiannya yang sudah di depan mata yang sudah ia bangun sedari kecil? Masa depan suram? Bukti kegagalan menjadi orang tua?

Saat penonton, sahabat saya yang nobar di samping saya punyaconcern yang serupa. Baginya, dan bagi saya juga, film ini bisa menjadi semacam film horor.

Bagaimana jikalau?

Oh ya, sebagai penyegar ingatan, ini kisah Bima dan Dara, dua siswa  SMA yang bersiap ujian kelulusan, yang pacaran dan “kecelakaan”. Bima yang prestasi akademisnya buruk, dari keluarga yang paspasan, tinggal di gang Jakarta, dari kelurga relijius. Sebaliknya, Dara anak cemerlang, juara kelas, keluarga kaya yang punya kolam renang di halaman belakang, dan tidak terlalu agamis. Dari sini saja sudah terbayang bagaimana konflik demi konflik akan terjadi.

Agak “gagal paham” bagi saya kalau ada pendapat yang menyatakan film ini “berbahaya” karena dianggap menganjurkan seks bebas. Apalagi bagi yang sudah menonton. Karena tidak ada adegan erotis atau raniang apapun  dalam film ini. Adegan “kecelakaan” itu hanya terjadi di lima menit pertama, itu pun tidak diperlihatkan sama sekali.

Sebaliknya, film ini menunjukkan dampak-dampak buruk jika hamil di usia remaja. Juga diskursus terkait kesehatan reproduksi dan istilah-istilah umum terkait. Bisa dibilang, ini sebuah pendidikan seks (bedakan dengan “pengajaran seks”) yang amat baik, dan bisa menjadi pemicu diskusi antara orang tua dengan anak-anak ABG-nya.

Tapi, saya maklum jika isu “pendidikan seks”, seperti kesehatan reproduksi, masih terasa tabu di Indonesia, walau amat penting dilakukan. Di sekolah putri saya di Bristol, Inggris yang adalah negara maju, isu ini juga cukup sensitif. Saat wacana ini hendak  diperkenalkan ke anak kelas 3 SD, saya ikut rapat sosialisasinya. Intinya, agar anak-anak SD tahu nama-nama organ tubuh, dan perbedaan tubuh pria dan wanita dan agar mereka tidak memperbolehkan orang lain (selain lingkaran dalam keluarga yang terpercaya dan dokter jika mesti diperiksa) melihat dan menyentuh bagian-bagian intim mereka. Tiba-tiba seorang emak-emak gempal bertato berdiri dan setengah menghardik: “Apa-apaan ini? Anak saya terlampau kecil untuk paham soal ini. Apakah hal ini tidak terlalu dini?”. Namun, sekarang, pelajaran itu menjadi wajib, di bagian biologi, walau cuma beberapa pertemuan dan hanya membahas hal-hal mendasar saja
Kembali ke Dua Garis Biru.

Penggambaran Jakarta adalah hal lain yang menarik. Saat saya mengulas Eliana-Eliana dan Rindu Kami Pada-Mu dalam tesis S2, saya memakai istilah “Pintu Belakang Jakarta” (meminjam istilah dari Mas Seno Gumira Ajidarma saat memberikan kata pengantar untuk buku skenario Eliana Eliana) dan “Mental Landscape”.

“Pintu Belakang” yang dimaksud adalah sisi lain Jakarta yang (kala itu) jarang diperlihatkan di sinema Indonesia), suasana mal yang mau tutup, perkampungan kumuh, pasar tradisional, dan sebagainya. Sedangkan “Mental Landscape” adalah sebuah lansekap yang tidak hanya menggambarkan gedung fisik dan kota besar yang mati dan tanpa nama, namun, mengutip Asrul Sani, “Jakarta yang memotret hidup, pandangan, dan aspirasi dari penduduk Jakarta kelas-kelas tertentu” (Jufri (eds.) 1992: 21), bukan yang mengesankan Jakarta yang “penuh kekosongan akan hal-hal spiritual”, dengan karakter yang stereotype dan tidak menangkap kondisi dan situasi masyarakat urban yang sebenarnya. 

Dalam istilah Jaques Decornoy: Jakarta yang menjadi kota dengan identitas abstrak.  Andre Bazin mempunyai istilah lain: “vitalitas spiritual” dari sebuah kota. Saat membela Voyage to Italy karya Rossellini, Bazin menyatakan bahwa, walaupun tidak disyut di lokasi yang sebenarnya, tapi Naples di kota itu tidak palsu karena punya kualitas dari keutuhan (the quality of wholeness) dari sebuah kota dan disaring dari kesadaran dan perilaku karakter utamanya  (Bazin 1972: 98-99). Dan karena itulah Bazin menjuluki Rosselini sebagai “seorang seniman dengan vitalitas spiritual yang langka”. Pendek kata: kota yang tergambar adalah kota yang menggarisbawahi pencapaian dan kemajuan manusia.

Dua Garis Biru, dalam konteks ini, berhasil  mengetengahkan “mental landscape” dengan mengeksplorasi ruang-ruang kumuh, seperti perumahan dan gang-gang yang sempit dan selalu dilalui motor, jembatan. Dalam beberapa adegan ketika para tokoh utama  melewati gang-gang itu, tampak  pemetaan tipologi penduduk dan tradisi di antara mereka. Misalnya, terbetik berbagai problematika rumah tangga dan perkara keuangan. Juga keguyuban yang masih terjaga, seperti yang tercermin saat salah satu warganya ada yang wafat.  Tidak hanya kelas bawah, film ini juga menggambarkan sisi kelas atas.

Singkatnya, Ini adalah salah satu film Indonesia terbaik  tahun ini yang saya tonton sejauh ini. Tontonlah selagi masih di gedung bioskop.

Dan adegan-adegan itu masih saja bergentayangan dalam benak saya. Bagaimana jikalau….



Jikalau telah datang waktu yang dinanti

Ku pasti bahagiakan dirimu seorang

Kuharap dikau sabar menunggu.


(Naif, Jikalau)***

Catatan: Tulisan aslinya dimuat di Pabrikultur, 16 Juli 2019.


Thursday, 27 June 2019

The Significance of Garin Nugroho

My article in 2019 Taipei Film Festival Programme Catalogue (English and Chinese version), related to their program titled "Filmmaker in Focus: Garin Nugroho".

Click here

Sunday, 23 June 2019

Lima Alasan Mengapa Do Re Mi& You Asyik


Image result for doremi&you
Bukan resensi proper, dan bukan berbayar. Hanya kesan saya sehabis menonton: 


1.       Ini film semua umur. Orang dewasa bisa membawa anak-anak (anak sendiri, keponakan, dll). Bisa merayakan sinema Indonesia bersama-sama, jadi acara keluarga.

2.       Tidak hanya film anak-anak. Tapi ini juga musikal (atau, setidaknya, penuh dengan lagu dan tari).  Dengan koreografi tari yang ciamik. Dan musik ditangani Andi Rianto yang  saya suka karya-karyanya (misalnya dalam Biarkan Bintang Menari, Pocong the Origin, Mendadak Dangdut).
3.       Tidak hanya musikal. Tapi film ini juga berkisah tentang buku-buku yang terkait musik. Ada beberapa judul buku terkait musik yang dicari Putri dkk untuk tampil di ajang DoReMi&You.  Dan internet hanya menjadi alat untuk mencari buku-buku itu di perpustakaan. Semoga film ini membuat anak-anak makin dekat dengan buku (cetak) dan perpustakaan, sebagaimana AADC menyuburkan semangat anak muda berpuisi lewat karakter Rangga dan buku Aku-nya Syumanjaya.
4.       Film ini mengetengahkan semangat hidup dalam kebhinekaan, kemajukan, yang menjadi ciri khas Indonesia. Dari karakternya, kita bisa melihat berbagai suku dan agama, misalnya dengan pemakaian jilbab dan kalung salib. Juga dengan nama sekolah “Bhinneka Jaya”.
5.       Film ini juga bercerita tentang cinta monyet. Saat saya menonton bersama ratusan anak-anak, mereka spontan bereaksi dengan tepuk tangan atau teriakan “cieee…” saat idola mereka dengan malu-malu saling melirik atau hal-hal yang mengarah ke soal naksir-menaksir.  Bagi  orang dewasa (orang tua, kakek/nenek, om/tante), akan dipaksa untuk mengenang cinta monyet  mereka, entah di SMP atau SMA.


Tuesday, 28 May 2019

NGeK di YouTube

Image result for ngek wajib ngaji





Entah siapa orangnya, ada yang mengunggah beberapa lagu NGeK di YouTube.
Berikut linknya:

1. Wajib Ngaji


2. Ya Rasulallah


3. Rasul Pilihan


4. Barudati


5. Rindu Ramadhan


6. Sifat 20

7. Tombo Ati

Friday, 10 May 2019

Kerontjong: Yasmin Ahmad's Hujan and P Ramlee's Alunan Biola

Just found out that Yasmin Ahmad's Hujan (in Mukhsin) is a tribute to P Ramlee's Alunan Biola (Antara Dua Darjat) (1960). Keroncong and Rain, what a combination!

Alfatihah for Kak Yasmin and Tan Sri Puteh Ramlee
Suddenly I remember Kak Yasmin told me that after the screening of Mukhsin in JAFF, 2007, a journalist ("from the biggest newspaper in Indonesia", she said), stood and asked her fiercely: "Yasmin, why did you steal our keroncong?". "I was scared", Kak Yasmin Said.

Come on, Indonesians, be more humble. We share arts, culinary, cultures with neighboring countries, and influence each others. That's a common thing. As if Keroncong is originally from Indonesia. As If Indonesia did not borrow anything from other cultures.






Wednesday, 8 May 2019

Tentang Film "Pocong the Origin"

Gara2 nonton "Pocong The Origin" karya Monty Tiwa (ingat "Keramat", 2009?), jadi terngiang2 terus lagu "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" yang, di antaranya dibawakan oleh Sundari Soekotjo. 



Sudah lama tidak melihat film horor lokal yang membuat buku kuduk merinding.

Salah satu eksplorasi film ini adalah kekuatn suara (suara sayup2 memanggil, suara ketukan pintu dan ketika dibuka tidak ada orang yang mengetuk, suara gitar dan gumamam yang mengikuti suara gitar atau gumamam entah dari mana, dengan tata suara yang seolah-olah suara2 itu bisa berpindah2 dari samping kita ke belakang).

Satu lagi adalah kembalinya rural horror, yang berlokasi di pedesaan, lengkap dengan logat Jawa dan Sunda, setelah sekian lama genre horor dikuasai urban legend dan serba kota besar.
 Juga berbagai elemen khas horor pedesaan nusantara: ajian ilmu hitam, kesurupan, keranda mayat, lantunan ayat suci.
OST aslinya, Bumi, juga keren. Berikut lagunya:




Penggubahnya Monty juga. Dia memang musisi, dan beberapa karya musiknya okay juga, misalnya bebeberapa lagu di lagu "Mendadak Dangdut"

Thursday, 21 March 2019

Visiting The Beatles' Sites

I am lucky enough to visit The Beatles' historical sites. Of course, I visited Abbey Road in London, in early 2013 or 2014.



And Liverpool Beatles tour are the best. Please click this link, too.

But I also (accidentally) visited Brian Eipstein's office in London, around 2016.


And when I was in Montreal, I also visited John's and Yoko's room at Hilton, in March 2015.


Tuesday, 19 February 2019

27 Steps of May: Trauma, Isolasi Diri, dan Dunia Sulap


Rayya Makarim berhasil  menyajikan  sebuah skenario menarik  mengenai seorang korban perkosaan yang mengalami trauma berkepanjangan.


Trauma itu begitu mendalam, sedemikian rupa sehingga May, begitu nama gadis itu, tak pernah lagi beranjak keluar  dari rumahnya. Bahkan, ketika ada kejadian kebakaran sekalipun.  Delapan tahun lalu, saat  masih berusia 14 tahun,  dia diperkosa secara massal dan brutal secara tak terduga, dan kini May  menciptakan mekanismenya sendiri untuk mengatasinya.  Dia mengisolasi dan mengalienasi dirinya dari kehidupan sosial dan memblokade emosi dan memori. Dia menciptakan rutinitasnya yang ia jalani lagi dan lagi. Berbusana sama setiap hari, menyeterika, mendandani boneka-boneka selemari, bermain lompat tali. Ia seakan berharap bahwa rutinitas bisa membuat hidupnya terhindar dari hal-hal yang tak tertebak, dan berupaya melupakan masa lalunya. Jika ada satu saja hal yang berbeda dari ritual hariannya, atau yang membuatnya teringat dengan kejadian traumatis itu, maka ia pun melukai dirinya sendiri, mengiris pergelangan tangannya. “Karena tak seperti kenangan buruk yang abstrak,  rasa sakit bisa ia kontrol” terang Rayya Makarim, sang penulis skenario yang juga produser film 27 Steps of May arahan Ravi Bharwani.
Selama 8 tahun, May cari aman, menjalani hal yang itu-itu saja dengan rigid dan penuh kehati-hatian, menghindari masa silamnya. Sampai pada suatu hari, sesaat setelah kebakaran,  ia melihat tetangganya yang seorang pesulap dari lubang tembok kamarnya. Ia seakan melihat dunia baru yang lain, yang menawarkan misteri yang juga tak terduga, tapi tak mampu memadamkan rasa ingin tahunya. Tentu saja, saat tombol emosi dan memorinya sudah aktif, dia dipaksa untuk merasakan kembali kepedihan di malam itu, dan sebagai konsekuensinya, siklus aktivitasnya juga terancam terputus. Sejauh apa dunia sulap mengubah ritus  kesehariannya yang ketat  itu?
Menurut kritikus film  Chai Hee Suk, di film yang mini kata-kata ini, ketakutan akan ketakterdugaan, seperti yang terjadi 8 tahun lalu, bertemu dengan fenomena baru penuh kejutan yang mempesonanya: dunia sulap yang magis. Tapi, seperti halnya kemahiran bersulap, menyembuhkan luka mendalam juga perlu latihan, perjuangan, dan disiplin. Saya sepakat dengannya, dengan satu tambahan: film ini juga melibatkan penonton yang peduli dan cemas dengan sang karakter utama bila tak memenuhi lingkaran rutinitas hidupnya.
Tapi kisah May bukanlah satu-satunya cerita yang kuat. Cerita sang ayah, juga tak kalah menarik. Selama 8 tahun, ia  mencoba menyembuhkan trauma putrinya, namun selalu gagal. Ia lantas menyalahkan dirinya: petinju yang tak mampu melindungi anak semata wayangnya. Dia melarutkan dirinya dalam pekerjaan yang dia sangat kuasai: bertarung. Yang penting menyakiti, meledakkan energi ketakberdayaan dan rasa bersalahnya yang mendalam.   Ia juga menjadi pendiam dan menutup diri, menghindari pembahasan seputar malam jahanam di pasar malam itu, kecuali pada Sang Kurir yang acap mengantarkan segembolan boneka untuk May. Namun, begitu sampai rumah, ia menjelma menjadi lembut dan melayani rutinitas sang putri. Kedua cerita ini beberapa kali bertemu dalam satu muara. Dan perlahan, tindakan Sang Ayah yang agresif itu menyebabkannya pulang tak sesuai jadwal rutin dan itu, tentu saja, mengganggu ritual May.
Rayya, yang sudah lama berkolaborasi dengan Ravi, menyatakan bahwa ide awalnya adalah membuat film tentang keterasingan dan alienasi, sebuah tema favorit sang sutradara Impian Kemarau dan Jermal. “Semua film Ravi berisi soal isolasi  dan alienasi”. Tak terkecuali film ini. Lantas, muncul ide soal mengangkat kasus  Perkosaan Mei 1998. “Tetapi bukan tentang pemerkosaan massalnya, lebih ke cerita personal, bagaimana sang korban setelah kejadian,” terangnya. Dikembangkan sejak sekitar 6 tahun lalu, semua hal dibahas dalam persiapan. “Karena itu, menulis skenarionya hanya sekitar 2-3 draft saja, karena kami sudah menyepakati setiap detil adegan”.  Setiap adegan dan dialog tertulis dalam skenario dan siap untuk dieksekusi.
Dunia sulap terpilih karena, menurut Rayya,   “untuk menyembuhkan luka, persoalan harus dihadapi dan dituntaskan, dan untuk memulainya, perlu hal lain, hal yang asing tapi memukau dan jauh berbeda dengan dunianya,  yang membuatnya terhisap ke dunia asing itu”, ujarnya. Proses bagaimana May bisa menyimpang dari ritual harian yang ia ciptakan sendiri, baik secara disengaja atau tidak disengaja, baik akibat si Pesulap atau sang Ayah, adalah sebuah kecemasan (atau keasyikan?) tersendiri yang dirasakan penonton. Memang, pada cerita film ini, penonton seolah dipaksa untuk merasakan apa yang dirasakan oleh May dan ayahnya.   
Dan yang paling sulit adalah menuliskan adegan perkosaannya. “Saya merasa jijik dan tersiksa saat  menuliskannya. Kami diskusi banyak hal, tapi berupaya menghindari diskusi soal ini. Sampai pada akhirnya kita memutuskan untuk mau tidak mau harus duduk dan menuliskannya,” ungkap Rayya yang sebelumnya sudah menelurkan enam  skenario film panjang itu. Sebelumnya, riset dilakukan dengan membaca data dan laporan terkait  korban perkosaan massal 1998 yang berdampak secara fisik, psikis, dan emosi.
Tema siklus kekerasan dan korban perkosaan adalah hal penting yang patut diungkap. Dalam film ini, walau tak secara eksplisit, tapi bisa terlihat bagaimana May adalah  korban kekerasan dan perkosaan dan sang ayah yang justru melakukan kekerasan di ring tinju karena merasa tak berdaya menghadapi kenyataan. Saat diputar perdana di Festival Film Busan, Rayya menyatakan ada satu wanita penonton yang bertanya sambil menahan tangis, dan berterima kasih atas film ini karena telah membuat hatinya tergerak. “Rupanya, dia juga korban perkosaan”, ujar Rayya. Tapi, sang penanya tadi menegaskan kalau sekarang dia sudah baik-baik saja.
Dua cerita yang sama kuat dan mengalir, tentang karakter-karakter dan profesi-profesi yang tak lazim,  tentang hubungan ayah dan anak yang sama-sama menutup diri, dan bagaimana untuk melupakan kelamnya masa lalu adalah dengan menghadapinya. Hal-hal ini adalah beberapa yang membuat skenario film ini dinobatkan menjadi pemenang dalam Festival Film Tempo kali ini (Ekky Imanjaya, dosen jurusan Film, Universitas Bina Nusantara)

Tulisan versi editnya dimuat di Majalah Tempo, 6 Desember 2018.
Tautan: https://majalah.tempo.co/read/156701/trauma-isolasi-diri-dan-dunia-sulap?fbclid=IwAR0Xx4erFRu9ELXMVmcxw93E2h_g7OMfiOrs6Ty2ba0L5NXIQu98EvBXOpM


Dan dimuat ulang di Pabrikultur: http://majalah.pabrikultur.com/film/92/27-Steps-of-May

Tuesday, 1 January 2019

Best of 2018: Family Time

What a year!

There's the best of 2018 of The Imanjayas

February
Winter Trip:  Edinburgh (and a day trip to Glasgow)

May
Medina won second place of Eid Card Competition

July
Medina Won Best Friend Award

August
Summer Trip: Swansea and Rhosilli Beach


November
Medina's first proper short story.

December
The first reunion