Saya salah satu pengagum mendiang Djadug Ferianto, sebagai musisi, khususnya saat tergabung di Orkes Sinten Remen dan Kua Etnika. Tapi pertemuan pertama saya justru saat beliau berkolaborasi dengan Emha Ainun Nadjib dan Gamelan Kyai Kanjeng yang melakukan konser di TIM tahun 1994. Emha kala itu sedang pentas keliling dengan karya terbarunya, Abracadabra Kita Ngumpet. Saya, mahasiswa baru FSUI yang baru saja naik ke semester tiga, hadir sebagai penonton di hari pertama. Sebagai anak ingusan yang juga suka bermusik dan sedang mengeksplorasi music tradisional yang relijius, saya terkesiap dengan kolaborasi itu. Khususnya Tombo Ati yang dibawakan dengan begitu ekspresif.
Segera, saya, yang masih terngiang-ngiang pertunjukan itu, ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman yang seide--di antaranya JJ Rizal, Agung Pribadi, dan Musa Emyus--dan kemudian lahirlah NGeK, sebuah band etnis dengan nuansa relijius. Dan tentunya, “Tombo Ati” menjadi salah satu lagu yang kami garap. Untuk menggambarkan konteks, saat itu, pertengahan 1990an, wacana yang berkembang adalah musik itu haram dan nasyid begitu popular, tanpa terlalu banyak alternatif lainnya. Dan pendirian band dengan alat music (keyboard dan biola) oleh anak-anak rohis seperti saya adalah hal yang progresif bahkan ofensif bagi “kaum hijau”. Konser malam itu, dan tentu dengan mengumpulkan bukti-bukti tentang ketidakharaman musik (terima kasih untuk, di antaranya, DR. Yusuf Qardhawi), membuat saya mantap dengan “jalan sunyi” ini: NGeK.
Pertemuan kedua adalah malam tahun baru 1997, Pasar Seni Ancol. NGeK sepanggung dengan Mas Djadug dkk! Beliau sempat menyapa saya dan menyatakan senang ada “anak-anak kota” yang membawakan lagu-lagu tradisional (yang berkonotasi “kampung” macam Lir-Ilir dan Wajid Ngaji). Tentu saja, satu panggung dengan Mas Djadug adalah sebuah kebanggaan, sebagaimana saya bangga bisa sepanggung dengan Kantata Takwa (yang main akustikan live di FSUI 1998), bahkan saya main di keyboard Mas Jockie S
Pertemuan kedua ini juga membekas. Saat itu sudah mulai krisis ekonomi. Dan pada 1998 awal, gejolak mulai timbul dan gerakan mahasiswa mulai turun ke jalan. Saya,yang kala itu baru lulus S1 pada Februari 1998, juga ikutan. Di antaranya, ikut lenong keliling Teater Sastra UI dan ikut bantu-bantu JJ Rizal yang membentuk “Dari Kumpulannya yang Terbuang”. Saat diskusi soal yel atau lagu yang eye-catching untuk dibawakan saat demo, kami teringat dengan sebuah lagu yang dibawakan Mas Djadug di malam tahun baru 1997 itu: seingat saya, sayalah yang mengusulkan irama lagu “Lima linting Limalinting”. Lantas dibahas, termasuk oleh Agung Pribadi dan JJ Rizal. Dalam diskusi itu, Rizal mengusulkan nadanya agak disederhanakan, menirukan When The Saints Go Marching In”. dan jadilah lagu legendaris yang acap menggema di demonstrasi 1998 itu:”Tujuh Kali….Tujuh Kali…Tujuh Kali Sampai Mati…”.
Selamat Jalan, Mas Djadug,
Berikut "Tombo Ati" yang terpengaruh oleh Gamelan Kyai Kanjeng 1994 yang Mas Djadug berperan penting di dalamnya:
Berikut "Tombo Ati" yang terpengaruh oleh Gamelan Kyai Kanjeng 1994 yang Mas Djadug berperan penting di dalamnya: