Sunday 27 December 2020

Catatan 2020: Surat terbuka untuk jamaah masjid di Era COVID yang tidak mematuhi Protokol Kesehatan

Catatan 2020

Tahun 2020, tahun pandemic. Semua orang dipaksa untuk menjalani normal baru, norma baru. Jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, hand sanitizer, Work From Home. Di seluruh dunia. Dan yang paling saya garisbawahi adalah banyaknya jamaah di masjid yang, tidak hanya tak mematuhi protokol Kesehatan, tapi cenderung meremehkan yang memakai masker dan jaga jarak. Hal ini penting digarisbawahi karena mereka berlindung denngan dalih takdir Allah atau alasan yang bagi mereka itu sangat syar’i, padahal bagi saya justru mereka tidak mematuhi sunnah nabi dan para sahabat terkait kondisi di kala wabah penyakit.

Simak obrolan ini:

“Wah, pak, pahalanya berkurang nih kayaknya”, kata seorang jamaah masjid, kepada mertua saya.

“Memang kenapa?”, tanya bapak mertua saya.

“Itu, bapak pake masker. Kan senyum itu ibadah. Kalau ketutupan masker, pahalanya berkurang, dong” jawab si jamaah tadi.

Bapak mertua saya tak mau kalah. Ia menangkis argument itu. “Eh, pahala paling afdhol itu kalua yang tidak kelihatan. Ente kan gak tahu,  kalau saya sedang senyum , walau pake masker. Jadi, pahalanya justru nambah, dong”.  Skat mat!

Adik ipar saya juga kena. Dalam salah satu ceramah, ada yang, sepertinya dengan sengaja, bertanya apa hukumnya shalat dengan berjarak, tidak merapatkan barisan seperti yang dicontoh nabi.

Saya sendiri kalau terpaksa shalat Jumat di sebuah masjid, pernah disuruh merapatkan barisan, padahal sudah dikasih tanda silang. Sejak itu, say acari masjid yang mematuhi protokol kesehatan, seperti di kompleks orang tua saya di Rawamangun, atau di KAmpus Binus Alam Sutera (yang sangat taat menjalani protocol bahkan dianjurkan membawa sajadah sendiri dan sudah berwudhu saat tiba di lokasi). Atau, kalau terpaksa, saya berdiri dan shalat di jalanan dengan membawa sajadah sendiri.

Alasan takdir ini seolah-olah begitu heroik. Sebuah stasiun televisi berlabel “Islam”, atau seorang mantan petinggi militer, dengan nada sama menyatakan bahwa justru di saat pandemi seperti ini saatnya semua orang beramai-ramai ke masjid untuk berdoa. “Kalau sudah kehendak Allah, kita pasti mati. Kalau belum saatnya, tidak akan mati”, kata mereka. Sekilas benar, tapi terasa ada yang kurang dalam argumentasi ini. Saya akan bahas di bawah ini.   

Lha, naik haji saya sempat dilarang di bulan-bulan pertama pandemic tahun ini. Shalat jumat saja sempat dilarang. Bahkan kalau hujan, saya dengar ceramah dari Habib Quraish Syihab, dibolehkan shalat di rumah, dan adzannya ada kalimat tambahan “sholluu di buyuutikum”. Sekarang peraturan itu sudah agak kendor, sudah ada shalat jumat berjamaah, dan umroh dengan protocol ketat. Maka sudah sepatutnya  patuhilah protokol Kesehatan. Dan niatkan itu untuk menghidupkan dan mengikuti sunnah nabi.

Sebaiknya kita meneladani sikap dan pendapat Rasulullah kala dilanda pandemi. Bagaimana nabi melihat kondisi kala wabah melanda?

 

Berikut pesan nabi terkait wabah.

(1)   , “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim). Sargh adalah sebuah desa di ujung Syam yang berbatasan dengan Hijaz. (An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj). Dalam riwayat lain: ada yang tanya: “melawan takdir?”. Jawab: Saya menghindari takdir yang ini untuk menuju takdir yang lain?

 

Ini menangkis tudingan tentang alasan takdir di atas. Hal lainnya, terkait takdir adalah adanya sebuah Riwayat seorang Arab Badui yang tidak mau mengikut kudanya dengan alasan “saya tawakkal (put your trust in god) kepada Allah”. Nabi menyatakan: Qil (ikat dulu), tsumma tawakal.

 

Satu lagi terkait takdir:

Firman Allah:

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ

إِنَّ ٱللهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ  

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS al-Baqarah: 195)

Dengan tegas kita diwajibkan untuk tidak menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Kalau sudah tahu itu penyakit menular berbahaya, tentunya kalau masih “nekad” tidak taat pada protokol Kesehatan, tentu ini sudah menjurus pada “kebinasaan”.

 

(2)     Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mua'llaq dari hadits Abu Hurairah dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda:
"Hindarilah orang yang terkena lepra seperti halnya kalian menghindari seekor singa."

Ini juga argumen UStadz Abdul Shamad saat ditanya hukum shalat berjamaah di masjid kala pandemic. Beliau kala itu  lebih memilih shalat di rumah sampai kondisi memungkinkan.

 (3)   Sementara dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

"Janganlah (unta) yang sakit itu didekatkan dengan (unta) yang sehat."

 

Artinya, perlu adanya jaga jarak bahkan karantina.

 

(4)   “Dari Siti Aisyah RA, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukannya, ‘Zaman dulu tha’un adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’” (HR Bukhari).

Setelah ikhtiyar, berusaha sebaik mungkin untuk berlindung, barulah kita bisa tawakkal dan percaya bahwa kalau pun wafat ganjarannya adalah mati syahid. Hal ini perlu dilakukan supaya Kesehatan mental kita juga terjaga.

 

Terkait karantina:

Kata "karantina" aslinya adalah Bahasa Italia "quarantine", yang bermakna 40 hari.  Karantina 40 hari, setelah sebelumnya 30 hari (Trentino) ini diterapkan sekitar tahun 1400 oleh Pemda  Venesia kepada seluruh ABK yang berlabuh di Pelabuhan Ragusa supaya mereka bersih dari penyakit campak. Ide karantina (mengurung diri 40 hari) ini diambil dari pemikiran Ibnu Sina, filsuf dan pakar kedokteran asal Persia yang memakai istilah al-Arba'iniya ("empat puluh") yang secara harfiah berarti quarantine dalam Bahasa Italia.

 

Norma Baru sebagai Ma’ruf

 

Harus diakui, memang susah mengubah perilaku di era normal baru, norma baru. Apalagi dalam waktu mendadak. Norma baru saya terjemahkan dengan ma’ruf, yaitu segala sesuatu yang baik yang sudah diketahui secara umum. Protokol Kesehatan sepatutnya kita perlakukan atau jadikan sebagai hal yang makruf.  Jika kepatuhan untuk protokol kesehatan ini dianggap sebagai hal yang ma'ruf dan sunnah (meneladani nabi), diharapkan banyak jamaah yang   "insyaf" memakai masker, jaga jarak, dan bawa sajadah sendiri.

Semoga saja jamaah yang tidak mematuhi protokol kesehatan ini tidak sebanyak yang saya duga. Kabarnya banyak masjid di berbagai tempat  yang masih mematuhi protokol kesehatan. Alhamdulilalh kalau benar.



Dimodifikasi dari Khutbah Jumat 6 November 2020 di Masjid Kampus Binus Alam Sutera


No comments:

Post a Comment