Wednesday, 28 August 2013

Pendaftaran Program&Presentasi Program Pendampingan Beasiswa Dosen/Caldos ke AS

Program ASSISTANCE IN APPLYING TO US GRADUATE SCHOOLS ini menyediakan bantuan kepada Dosen/Calon Dosen dari perguruan tinggi manapun di Indonesia yang berminat untuk melanjutkan studi ke program pascasarjana di Amerika Serikat (AS) melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana LN Ditjen Dikti. 

Program ini memberikan kesempatan kepada Dosen/Calon Dosen untuk mendapatkan bantuan dan kemudahan dalam mendaftar ke program pascasarjana di AS sampai mendapatkan konfirmasi penerimaan (Letter of Acceptance) dari universitas pilihan di AS untuk dapat dilanjutkan dengan proses pendaftaran untuk Beasiswa Pendidikan Pascasarjana LN Ditjen Dikti.

Calon peserta harus memenuhi syarat sebagai berikut:
•Calon dosen atau dosen di universitas di Indonesia

•Akan mendaftar untuk menempuh program S2/S3 di AS untuk periode Spring 2014

•Akan mendaftar Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Luar Negeri – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi setelah mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari universitas di AS

•Telah memiliki skor TOEFL®iBT min. 79 atau IELTSTM min. 6.5 atau TOEFL®ITP min. 550.

Program ini meliputi biaya-biaya berupa:
 Biaya mengikuti ujian yang diperlukan (TOEFL®iBT dan/atau GRE®) sebagai bagian dari persyaratan untuk pendaftaran ke universitas di AS.

 Biaya pendaftaran ke universitas-universitas pilihan di AS: program ini akan mengganti biaya pendaftaran ke maksimum 3 universitas pilihan.

 Surat pengantar: Peserta akan mendapatkan Surat Pengantar dari Kantor Kedutaan AS di Jakarta dan IIEF sebagai bagian dari proses pendaftaran ke setiap universitas yang dituju.

 Konsultasi dan pendampingan selama proses pendaftaran ke universitas yang dituju. 

IIEF akan mengadakan roadshow presentasi di beberapa kota dibawah ini:
1.SURABAYA : 28 Agustus 2013
2.PADANG : 30 Agustus 2013
3.YOGYAKARTA : 4 September 2013
4.MEDAN : 11 September 2013
5.JAKARTA : 12 September 2013

Untuk informasi lebih lanjut mengenai program dan pendaftaran mengikuti acara presentasi, silahkan menghubungi:
Indonesian International Education Foundation (IIEF)
Menara Imperium, Lantai 28, Suite A-B; Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan 12980
T: (62-21) 8317330 (ext 102,104, 113, 118); F: (62-21) 8317331; Email: scholarship@iief.or.id
atau akses langsung website IIEF di www.iief.or.id.

FYI, Berlinale Talent Campus #12 — Talent Press Call for Applications

Berlinale Talent Campus #12 — Talent Press Call for Applications   

ELIGIBLE ARE

Young film critics or journalists 
— Fluent in English (in writing and speaking); 
— Eager to report on films screened at the Berlin International Film Festival and on events held during the Berlinale Talent Campus 2014; 
— Having published articles in newspapers, film magazines, on websites or at universities.


good luck!

FYI, IFFR Trainee Project for Young Film Critics - Application:

IFFR Trainee Project for Young Film Critics - Application:  http://www.filmfestivalrotterdam.com/professionals/press/iffr_trainee_project_young_film_critics/application_iffr_trainee_project_for_young_film_critics/

Criteria for application
- Age under 30 years

- Fluent command of the English language (written and spoken)

- Demonstrable experience in film criticism (print or online media)

- Not yet established enough to profit from facilities as attending international film festivals outside your country

- Have agreement(s) with relevant print and/or online media to publish reports on International Film Festival Rotterdam 2014

How to apply
Your application should include digital versions (Word, jpg or pdf) of the following documents and information:

- A motivation letter to support your application: explain why this project and the Rotterdam festival appeals to you and what you can offer the festival

- Your resume (CV) including your contact details and date of birth.

- Up to three proofs of recent work you published on (independent) film or film festivals. If not in English, provide the original articles with English translations to demonstrate your command of this language

- Information about your affiliation(s): title, name of chief editor, postal address, phone number, email account, periodicity, circulation, web address, estimated unique page views per month.

- A recommendation letter (on company letterhead) of your principal affiliation’s chief editor assigning you to cover IFFR 2014 and confirming that your report will be published.

- Please send in your application by e-mail to press@filmfestivalrotterdam.com or by land mail to IFFR Press Office, PO Box 21696, 3001 AR Rotterdam, The Netherlands. The deadline is Friday November 1, 2013. You will receive notificiation on the selection Friday December 6 at the latest.

Monday, 19 August 2013

Arab Autumn

So, here comes Arab autumn, where everything is going backward.  Unfortunately Arab spring did not have chance to say good bye to summer.

Arab Saudi and other Gulf countries support Egypt government, and . Mubarak is going to be released, and Mursi is found guilty by the court. And hundreds or even thousands people were killed, and hunted in Cairo, even though they are running to the mosque. And they did this massacre openly, shown in global television.

I guess. Egypt prison does not change much since they tortured and made Sayyid Quthb and his colleagues sentenced to death penalty. Or perhaps, just perhaps, we should go back way further for a reflection,  when Pharaohs were the Kings.

PS:  I am not a member of Islamic Brotherhood. But, as human being (which hold Islamic values as way of life), I can not stand hundreds people are being  tortured, hunted like animals, and killed. I do believe that violence and injustice should be stopped, whoever the victims are, whomever the criminals are.

Friday, 2 August 2013

Sinetron Islami Tapi Tak Islami , Kok Bisa?

Oleh Ekky Imanjaya

Berita menarik hadir pertengahan April 2013 lalu.  Sejumlah  kelompok masyarakat memprotes tayangan beberapa sinetron berlabel Islami dengan alasan isi dan jalan ceritanya merendahkan simbol islam, khususnya status haji. Pada situs resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disebutkan, bahwa Masyarakat Televisi Sehat Indonesia, mengadukan keresahan tersebut pada KPI Pusat, melalui perwakilannya Ardy Purnawansani dan Bayu Prioko, yang juga didampingi Fahira Idris dari Rumah Damai Indonesia.  Mereka mengkritisi sinetron seperti Haji Medit (SCTV),  Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Ustad Foto Copy (SCTV),  dan Islam KTP (SCTV), yang semuanya “…menggunakan judul dengan terminologi Islami, tapi isi dan jalan ceritanya jauh dari perilaku islami”. Bagi mereka, hal ini meresahkan masyarakat Muslim karena memunculkan persepsi buruk tentang tokoh panutan dalam agama Islam, khususnya yang bergelar haji.  Sementara itu  Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) juga protes kepada RCTI dan SCTV dan  dengan keras meminta sinetron penghinaan kepada status Haji itu , seperti Tukang Bubur Naik Haji dan Berkah, segera dihentikan. Kedua stasiun swasta itu segera merespons dengan positif.  Salah satu hasilnya: Haji Muhidin, dari sinetron Tukang Bubur, mendadak menjadi karakter yang lebih baik. Walau pun, sebagaimana dilansir situs KPI,  ada juga sinetron religi yang tak berubah juga, walau sudah lama diperingatkan KPI, seperti Islam KTP.

Memang, label “sinetron Islami” membuka ruang lebar intepretasi, yang sering disalahgunakan untuk kepentingan pencarian keuntungan semata. Pernah ada tren sinetron reliji yang kental dengan mistik serta azab dan berkah. Dan kini, representasi buruk tokoh masyarakat yang bergelar haji. Kesalahan utama, tentu saja ada pada konten, tapi bahwa hal itu semua dilakukan di frekuensi milik public juga menjadi masalah tersendiri.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga sebab, yang semuanya saling terkait.
Pertama adalah sistem kejar tayang.  Industri televisi, termasuk sinetron, kebanyakan memakai sistem tripping ini, tak terkecuali sinetron berlabel reliji. Sebagai gambaran ekstrim: jika episode 516 sedang disyut, maka sang penulis skenario pada saat itu juga menulis episode lanjutannya. Dan jika kemudian sang bintang utama berhalangan secara mendadak karena urusan pribadinya, bisa saja plot berubah drastis, sang tokoh utama diceritakan sedang pulang kampung atau sakit keras, dan cerita berganti fokus pada tokoh lainnya. Hal seperti ini tentunya tidak kondusif untuk membuat cerita yang matang, utuh, dan bagus.  Tim  kreatif tidak terlalu sempat untuk meriset dan menggodok cerita, dan para actor tidak sempat untuk observasi karakter dan latihan membaca naskah bersama-sama.  Bandingkan diengan sebuah film layar lebar bermutu yang skenarionya direvisi hingga berkali-kali bahkan sampai belasan kali, dan para bintangnya bahkan perlu dikarantina untuk mendapatkan klik kimiawi antar mereka, seperti yang dilakukan oleh film Ada Apa dengan Cinta, misalnya.
Sedikitnya waktu ini membuat tim kreatif tidak sempat, atau mungkin tidak peduli, dengan penokohan. Misalnya,  ihwal penokohan pengembangan karakter. Dalam cerita yang baik, karakter berkembang, bahkan dalam serial televisi. Di serial komedi situasi (sitcom) semacam The Big Bang Theory Theory, misalnya, kita akan melihat tokoh Sheldon Cooper yang punya karakter kuat dan unik yang tetap bertahan hingga akhir, namun social skill-nya menjadi lebih baik seiring dengan berjalannya waktu dan interaksi sosial dengan teman-teman dekatnya.  Pun dengan  Leonard Hofstadter  (tokoh paling “normal”) , Howard Wolowitz (masih tinggal dengan ibunya, dan satu-satunya yang tak bergelar PhD dan karenanya acap diolok-olok), dan  Rajesh Koothrappali (tak bisa bicara dengan wanita). Jika kita penggemar berat sitcom ini, kita akan mengetahui tanggal lahir, asal universitas dan daerah, dan kebiasaan unik mereka, misalnya kegemaran mereka akan komik di sci-ci.
Dalam How I Met Your Mother, kita diiming-imingi bahwa akhirnya sang tokoh utama akan bertemu istri yang adalah ibu dari anak-anaknya  Ted Mosby, dn perlahan plot cerita bergerak ke sana, dan karakter berkembang. Tokoh utamanya--Marshall Eriksen, Lily Adrian, Robin Scherbatsky,dan Barney Stinson--punya karakter yang kuat dan unik, bahkan punya latar belakang cerita  yang kaya dan akar keluarga yang sudah dipersiapkan--dan setiap penonton punya favoritnya sendiri. Karakter tokoh Barney, ikon acara ini, sebagai contoh,  berubah pelan tapi pasti dari seorang playboy menjadi orang yang bertekad menikahi Robin dan menghilangkan sifat buruknya itu.
Tentu saja, di sini kedua serial itu menjadi contoh kasus dalam penokohan dan cara bertutur, bukan membahas isinya. Mengapa membahas dua contoh dari Amerika, karena dalam beberapa tahun belakangan ini, dunia pertelevisian Paman Sam itu maju pesat dan bisa dibilang sedang mencapai masa kejayaannya. Mengapa tidak bisa diterapkan di sini?
Cerita berkembang (dan maju ke depan) karena para karakter berkembang, dan sebaliknya. Dan pada akhirnya akan berhenti di suatu titik akhir. Dan semuanya seharusnya dikonsep dengan matang sejak awal. Sementara, dalam sistem kejar tayang dan sistem rating,  yang umumnya dilakukan adalah mengulur-ulur dan memperpanjang-panjang cerita yang tidak perlu. Dalam kasus para haji ini, karakter mereka hitam putih. Misalnya, dari judulnya saja, Haji Medit, kita sudah bisa menebak adanya sosok satu dimensi, bukan banyak-dimensi sebagaimana manusia normal. Tentu sangat manusiawi jika ada seorang haji yang khilaf dan salah, namun jika dituturkan bahwa sang haji tak ada kerjaan lain selain bergosip, membicarakan orang lain, dengki, dan menghasut, dan itu diceritan di setiap episode tanpa ada perubahan atau sifat baiknya, tentu lain persoalan.
Cerita dan penokohan tidak harus realis, tapi yang pasti harus meyakinkan. Dunia fiksi yang hadir harus make-believe (reka-percaya), menciptakan semesta dunianya sendiri.  Pemirsa harus diyakinkan bahwa tokoh itu benar-benar masuk akal, dan bahkan mungkin membuat penontonnya berpikir bahwa itu adalah refleksi dari dirinya (“itu gue banget”)  atau proyeksi ideal baginya (“andai saya bisa seperti itu”).
Contoh  sinetron atau serial televisi yang tidak melakukan system kejar tayang,  salah satunya,  adalah Dunia Tanpa Koma.
Sistem rating adalah masalah berikutnya.  Semakin baik rating sebuah program televise, semakin banyak produk yang mau beriklan di sana. Rating TV adalah ukuran atau evaluasi untuk menilai seberapa banyak prosentasi suatu acara televise ditonton opada saat ditayangkan. Jika rating jelek, kemungkinan program itu terhapus atau disingkirkan ke jam tayang yang tak popular makin besar.  Tidak sedikit yang menjadikan rating menjadi “tuhan” dan tujuan utama, dan melupakan hal lainnya. Akibatnya, tidak terlalu masalah bila cerita atau  kedodoran bahkan terkesan diulur-ulur, sementara penokohannya juga amburadul.
Terakhir, adalah budaya gagap yang masih saja menggejala sebagai perilaku tim kreatif dan pembuat kebijakan acara televisi. Akibatnya, dan karena “bertuhankan” rating, maka mereka memilih untuk mengikuti acara yang sedang menjadi tren dan terkadang terkesan “copy paste” sekadarnya saja.
 Bagaimana pun, ini adalah industri yang berjalan dengan logikanya. Dan jeleknya mutu sinetron dan TV seri tidak hanya eksklusif untuk sinetron bertema religi. Tpi, mengapa di Amerika Serikat, bidang ini begitu maju pesat, khususnya dalam konteks cerita dan  production value?
Karena itulah, berita protes sejumlah kelompok masyarakat adalah angin segar. Harus ada orang-orang yang mengawasi pertelevisian dan mendukung serta memperkuat KPI.  Dan merupakan pekerjaan rumah bersama untuk mewjudukan acara yang sehat dan positif-- tidak hanya sinetron, tapi juga kuis, talk show, variety show, reality show, dan masih banyak lagi. Dan, teguran KPI tidak selamanya berhasil, atau konsisten diikuti. Contohnya: Empat Mata yang pernah diminta untuk menghentikan tayangannya hanya berganti nama dengan nama Bukan Empat Mata.

Dimuat di ESQ Media no. 2/Agustus 2013