Thursday, 11 February 2016

"Babi Buta yang Ingin Terbang" : Babi-Babi Buta yang Membabi Buta Ingin Dicintai

Babi Buta yang Ingin Terbang :
Babi-Babi Buta yang Membabi Buta Ingin Dicintai
oleh Ekky Imanjaya
Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta
02/10/2009 15:12:38
www.rumahfilm.org



No New Year's Day to celebrate
No chocolate covered candy hearts to give away
No first of spring
No song to sing
In fact here's just another ordinary day

No April rain
No flowers bloom
No wedding Saturday within the month of June
But what it is, is something true
Made up of these three words that I must say to you

I just called to say I love you

(I just called to say I love you, Stevie Wonder, dinyanyikan ulang oleh Ramondo Gascaro)

Suatu hari, Linda kecil (Clarine Baharrizki ) bertanya pada Cahyono cilik (Darren Baharrizki):”Kalau sudah besar mau jadi apa?” Cahyono menjawab: ”Apa aja, asal jangan Cina”.

Kedua anak ini memang mendapatkan banyak pengalaman buruk hanya karena mereka Cina. Padahal, Cahyono bukan Cina, tapi Jepang. Suatu saat, keduanya diganggu anak-anak nakal teman sekolah mereka, dan Linda menemukan obat mujarab untuk mengusir ketidaknyamanan itu: petasan. Linda, generasi keempat keturunan Cina di Indonesia, meyakini bahwa petasan bisa mengusir hantu-hantu, termasuk hantu sumber alergi dan kebencian terhadap Cina sepertinya dirinya.

Sejak itu, Linda selalu ditemani petasan. Bahkan, ia didatangi oleh seorang wartawan hiburan (diperankan Cesa David) karena mengukir rekor baru: gadis yang berani makan petasan! Linda memasukkan petasan itu ke dalam roti hotdog seperti layaknya sosis, mulai menyulut sumbu, dan…dor!

Linda (saat dewasa diperankan oleh Ladya Cherryl) berbuat apa saja untuk mengatasi masalah-masalah akibat identitas kecinaannya. Tujuannya satu: agar ia bisa dinyanyikan lagu I just called to say I love you, agar ia dicintai. Itulah sebabnya, ia dan orang-orang di sekitarnya selalu menyanyikan lagu dari Stevie Wonder itu, dengan harapan agar orang lain ikut menyanyi. Mereka cukup senang mendengarkan orang lain menyatakan cinta kepada mereka apa adanya, tanpa syarat kecuali mereka manusia dan layak dimanusiakan, walau hanya dalam bentuk syair belaka.

Linda melakukan segala hal agar ia diterima di lingkungannya. Dalam kasusnya, paling tidak agar tak ada lagi yang menganggunya hanya karena mata sipit dan kulit putihnya. Juga orang-orang di sekitarnya. Misalnya Verawati (Fajrin?), ibunya (Elizabeth Maria), yang mewakili Indonesia sebagai pebulutangkis, dan acap memenangi banyak piala, namun tidak mendapatkan penghargaan selayaknya. Ia tetap dipandang Cina, yang (seolah) adalah bukan warga Negara Indonesia yang utuh. (“Mana yang Indonesia, mana yang Cina,” celetuk salah satu penonton).

Kecewa dengan celetukan itu, ia berhenti bermain. Namun, bahkan di rumah pun, ia memakai kaos seragam bertuliskan Indonesia itu. Ia bergumul dengan persoalan identitas. Komentar penonton itu, seorang anak kecil, begitu menganggu batinnya, rupanya.

Yang paling fenomenal adalah Halim (Pong Harjatmo), sang ayah. Ia malu dengan fisiknya, khususnya matanya yang sipit. Maka, sang dokter gigi itu pun selalu memakai kacamata hitam, menutupi matanya –bahkan menyiletnya. Belakangan, dari keterangan di situs film ini, saya baru tahu kalau Halim buta. Ia juga mengganti nama Cinanya menjadi nama Melayu, masuk Islam, menikah lagi dengan seorang muslimah Jawa (Andhara Early) yang saat ikut Planet Idol memakai jilbab. Dan, demi cintanya pada istrinya yang ingin menjadi selebriti dan menang kontes itu, dan juga agar ia bisa hijrah ke sebuah tempat yang menerimanya apa adanya, ia melakukan pengorbanan apa pun.

Dan lihatlah, bagaimana ia dikerjai oleh sepasang homoseksual yang gemar atribut militer (pasangan mantan pejabat bernama Helmy dan Yahya ...ah, Edwin sedang bercanda nih ...atau geram?), supaya sang istri manggung dan ia mendapatkan green card ke Amerika. Dari belakang, analnya disodomi. Dari depan, ia harus melakukan oral seks. Adegan itu berlangsung cukup lama, dan Linda menyaksikannya diam-diam. Terlalu lama, malah. Mungkin saya terlalu kolot atau konservatif, tapi pertanyaan menyeruak tak terbendung di benak: apakah perlu adegan tersebut selama itu? Atau, apakah perlu adegan sedetail dan sevulgar itu? Atau, apakah perlu adegan itu?

Bukan hanya karakter-karakter di film Babi Buta yang Ingin Terbang melakukan apa pun agar ia diterima dan dicintai apa adanya. Agaknya, sang sutradara, Edwin, juga. Edwin sepertinya sadar bahwa ia sedang mengusung sebuah tema yang sensitif: identitas minoritas Cina di Indonesia. Dan, agaknya, agar temanya terterima, ia menggandeng isu sensitif seputar minoritas lainnya: kaum homoseksual.

Masalahnya, isu identitas Cina telah menemukan momentumnya, saat Mei 1998, dan pada 2008 sudah mulai banyak film yang merepresentasikaan mereka. Dari May, 9808, hingga film pendek seperti Papaku Hua dan Pacarku Lina yang diputar di Psychocinema 2008, di Atmajaya. Sementara, gerakan gay belum sepopuler itu, dan sepertinya masyarakat belum bisa menerima isu-isu mereka. Apalagi dalam menerima perilaku seksual, yang masuk wilayah privat, dipaparkan dengan gamblang dalam film yang ditonton ramai-ramai di ruang publik.

Saya bisa merasakan dan memahami kegeraman Edwin terhadap isu keterterimaan ras Cina di negeri ini. Tak hanya simbolis, ia juga menyelipkan pesan persaudaraan (bagaimana menghormati tetangga, misalnya) secara verbal dan eksplisit lewat khotbah agama Kristen di televisi yang selalu hadir di ruang tamu berulang-ulang.

Film ini terasa sangat personal –diawali dengan lokasi di Surabaya, tempat Edwin dibesarkan (tengok Jembatan Merah dan plat kendaraannya), hingga pengalaman hidupnya yang terungkap dalam wawancara dengan RF (LINK:http://www.rumahfilm.org/wawancara/wawancara_jokoedwin_1.htm). Dari sekadar bergurau, Edwin juga terlihat geram dan satir.

Bayangkan, Cahyono (Carlo Genta) yang bekerja sebagai editor program kriminal di televisi itu menyunting gambar-gambar kerusuhan Mei 1998 untuk peringatan 10 tahun Reformasi dengan latar lagu I Just Called To Say I Love You. Lagu tema ini memang selalu diulang-ulang di sekujur film, yang bagi sebagian penonton begitu mengganggu (mungkin saja itu reaksi yang diinginkan!).

Satu lagi, tidak cukup dengan karakter-karakter manusia sebagai penyampai pesan, Edwin juga merekam seekor babi di Gunung Bromo. Tentu saja ini metafor yang pas. Tidak hanya sebagai makanan khas kaum Tionghoa, babi, di masyarakat mayoritas Muslim di negeri ini, adalah sesuatu yang haram. Seperti itu pula saudara-saudara Cina kita (pernah dan mungkin hingga sekarang masih) diperlakukan oleh sebagian rakyat Indonesia. Semuanya dikemas dengan sangat personal.

Tidak masalah, memang, mengangkat tema dan gaya personal. Beberapa film mengangkat hal yang sama, seperti Years I was a Child-nya John Torres. Namun film sebaiknya juga memerhatikan penontonnya, paling tidak berupaya bagaimana agar film-filmnya dipahami oleh setidaknya kelompok tertentu. Apa lagi kalau ada pesan penting yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, respon yang diinginkan adalah dinyanyikan dan dibisikkan kata-kata cinta dan perhatian: “I just called to say I love you”.

Dalam konteks ini, berpanjang-panjang dalam scene gay, misalnya, adalah sebuah tindakan kontraproduktif. Karena, sebagian penonton boleh jadi akan lebih mempersoalkan adegan sekitar lima menit itu dari pada keseluruhan pesan “identitas Cina-Indonesia” yang sudah digelontorkan sejak awal. Kecuali kalau sang sutradara tidak peduli dan jalan terus (dan asyik sendiri) dengan ide-idenya.

…Oke, semuanya: I just called to say I love you, I just called to say how much I care, I just called to say I love you, and I mean it from the bottom of my heart.***

Babi Buta yang Ingin Terbang (2008)

Sutradara & penulis: Edwin

Pemain: Ladya Cherryl, Carlo Genta, Pong Harjatmo. 

No comments:

Post a Comment