(Spoiler warning. Tapi masak iya udah seminggu lebih masih dianggap spoiler?)
Dari menit-menit awal, saya merasa kurang nyaman menonton film Star Wars VII ini. Ada yang mengganggu, misalnya dari segi karakter dan penokohan. Lho kok ini karakter mirip Darth Vader (tapi gak jelas alasannya kenapa dia pake topeng, wong dia segar bugar dan sehat gitu—kecuali kalau dia pemuja Darth Vader)? Lha terus ini ada lagi yang ngikutin Luke Skywalker, seorang penyendiri di gurun pasir yang jago utak atik mesin, dan (langsung atau tidak langsung) mencari (atau menanti) asal usul dirinya, dan “tiba-tiba” kedatangan seorang “mentor”? Eh ada Han Solo wannabe juga. Bahkan R2D2 juga ada karakter yang menyerupainya, dan dia juga diberikan tugas membawa pesan rahasia nan penting.
Dan plot serta adegannya? Lha kok formulanya sama dengan A New Hope, plus juga dari 2 seri orisinalnya di sana sini. (cek link ini) Salah satunya, ada juga adegan mirip-mirip “I am your father” lengkap di jembatan sempit di Death Star, eh Star Killer. Saya paham, namanya juga film genre yang formulaik ya, tentu ada rumus dan pakemnya. Dan tidak ada yang baru di bawah langit. Tapi…duileee segitunye. Apa gak bisa lebih kreatif lagi, yak? Cari aman? Untung gak nonton yang versi 3D.
Maaf ya bagi yang suka film ini. Namanya juga selera. CMIIW. BTW, saya suka Star Wars, khususnya 3 versi originalnya.
Nyanyi dulu ah: “ku ingin mencintaimu…. Tapi tak beginiiiii…..”
Dalam Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film? (Kompas, 29/11), Richard oh banyak mendedel tentang kekecewannya terhadap profesi yang bertajuk kritikus film. Pendek kata: tidak setara dengan sineas. Namun, sebenarnya kupasan bahwa kritikus film masih jauh dari harapan dan fungsinya yang ideal bukanlah sebuah keluhan yang baru. Membahas soal kesepadanan, pengamat film seperti Roger Ebert adalah sosok yang disegani oleh para sineas bahkan meraih Pulitzer (mungkinkah kritikus film kita meraih Khatulistiwa Award di bidang non-fiksi, misalnya?). Figur semacam Andre Bazin menghasilkan madzhab Cahiers du Cinema dan menelurkan murid sekelas Kritikus film Godard dan Truffaut, yang kemudian menjadi motor bagi gelombang baru sinema Prancis. Tokoh semacam Tony Ryans dan Tadao Sato tidak jarang membantu sineas Asia Tenggara untuk menyemir hasil akhir karyanya. Orang semacam Anchalee Chaiworaporn dan Alexis Tioseco menjadi juru bicara negaranya dengan menulis di Cahiers du Cinema edisi khusus 2007 yang membuat Thailand dan Philiphina mendapatkan dua halaman pemetaan sinema dunia, sedangkan Ben Slater mengupas perkembangan mutakhir Malaysia. Dalam majalah legendaris itu, Indonesia sama sekali tidak disinggung, kecuali alamat situs Jiffest. Mungkin karena keduanya menulis dalam bahasa Inggris di situsnya masing-masing (Thaicinema.org danCriticine.com). Yang “menakjubkan”, jubir film Indonesia di Festival Film Venice adalah seorang Italia bernama Paolo Bertolin (Rumahfilm.org, 16/6 08).
Bagaimana dengan Indonesia? Kita pernah punya beberapa majalah 1950 dan 1960an semacam Dunia Film dan Film Varia (juga belasan judul lainnya, saya temukan di perpustakaan KITLV, Leiden) yang mengulas khusus perfilman dengan serius namun popular. Terakhir, pernah ada majalah F yang nasibnya kurang beruntung. Nama-nama seperti DA Peransi, JB Kristanto, Salim Said, Arya Gunawan, dan Seno Gumira Ajidarma juga menjadi mitra tanding yang sejajar dengan filmmaker. Nama besar Usmar Ismail dan Asrul Sani juga pengulas film yang andal. Dan ada fenomena menarik, beberapa kritikus film--dari Andjar Asmara, Hasmanan, hingga Joko Anwar--beralih profesi menjadi sutradara.
Kembali pada kualitas kritikus film dewasa ini, saya tak mau berpusing-pusing persoalan Deleuze dan Simularca. Saya hanya berbicara dunia nyata, tentang dunia kritikus dan wartawan film yang dekat dengan keseharian saya. Ada beberapa hal yang patut dicermati juga dalam hal ini.Pertama, pernyataan “semakin mudah menjadi kritikus film”. Saya kira Richard Oh sedang membahas tentang ulasan film di media massa, khususnya yang ditulis oleh wartawannya sendiri. Yang harus diingat adalah, sangat sedikit wartawan yang mengkhususkan diri pada film—kecuali wartawan majalah film. Tentu saja pengembangan diri dan kredibilitas seseorang tergantung dari yang bersangkutan. Namun fakta bahwa, kecuali dalam media yang khusus membahas film, ada aturan untuk bertukar rubrik. Tak selamanya seseorang mengurusi rubrik film, misalnya. Faktor lain, mengutip Eric Sasono, kebanyakan majalah menempatkan film di rubrik budaya dan bukan seni, hal yang menggambarkan kebijakan redaksi. Juga keterbatasan halaman, hanya sekitar 800 hingga seribu kata, atau 6 ribu karakter, misalnya, sehingga terkadang tulisan disunting dan tulisan tidak paripurna.
Lantas, benarkah semudah itu? Bagi para kritikus film yang ingin menulis lebih dalam mengkaji film, sangat sulit untuk menemukan ruang yang tepat. Tentu saja media massa dari harian hingga bulanan bukan tepat yang cocok dengan kebijakan redaksi untuk mengulik film secara filosofis, antroplogis, sosiologis, psikoanalisis, atau teori ilmiah lainnya—kalau pun ada hanya minoritas. Sehingga, Richard OH sepertinya “salah sasaran” atau katakanlah, “salah kamar”. Sebagian media tidak menerima tulisan dari luar karena sudah ditulis oleh wartawannya sendiri. Juga, langkanya rubrik yang secara dalam mengupas film. belum lagi keharusan mengikuti selera redaktur yang tentunya berbeda satu media dengan lainnya. Karena itu, sepertinya harus melihat media lain di luar majalah atau koran. Jika kita melihat jurnal-jurnal akademis kita akan menemukan nama seperti Intan Paramadita atau Sita Aripurnami, sebagai contoh. Dalam berbagai seminar internasional, ada nama seperti Budi Irawanto atau Tito Imanda. Belum lagi para akademisi lintas-disipliner seperti Amrih Widodo. Jika kesulitan mengakses jurnal cetak, silahkan cari di situs sejenis Clea, Kunci Cultural Studies Insideindonesia.org atau ejumpcut.org—dan tentu saja Rumahfilm.org.Yang tak kalah menarik, beberapa blogger juga secara berkala menulis film, dan di antara mereka ada yang menulis secara dalam dan mengasyikkan, salah satunya karena kebebasan yang mereka punya.
Tentu saja pembaca tidak mau tahu tentang kendala-kendala kerja wartawan di atas. Mereka hanya melihat hasil tulisannya. Sebagaimana, tentu saja, penonton juga tidak mau tahu tentang kendala-kendala dalam pembuatan film. Dalam konteks “betapa mudahnya menjadi kritikus film”, penonton sebenarnya merasakan “betapa mudahnya menjadi sutradara”. Kalau kita lihat, betapa banyak film diproduksi, tidak sedikit yang berkualitas buruk. Tetapi makin banyak saja kuantitas produksi film. apa ini tandanya bahwa siapa saja bisa menjadi pembuat film dengan “mudah”? Sehingga sejauh ini saya bisa menyatakan bahwa “betapa mudahnya menjadi kritikus film” tidak jauh beda dengan “betapa mudahnya menjadi sutradara film”. Pun, “Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?” bisa diganti menjadi “Siapa Lagi Ingin Menjadi Sutradara?”. Untunglah ada film semacam May, Fiksi., Kantata Takwa, dan Laskar Pelangi. Tentu saja, ini adalah tema yang berbeda. Tetapi, kemudahan menjadi sineas sama mudahnya atau lebih mudah daripada menjadi kritikus film. ditambah lagi, menjadi filmmaker tentu mendapatkan keuntungan financial yang lebih daripada kritikus film.
Masalahnya adalah, ini kita bicara filmmaker yang mana? Sutradara debutan? Sutradara kejar tayang? Sutradara komersil? Sutradara asal? Atau, sutradara idealis yang ingin menyampaikan gagasan, memperlakukan film seperti seni, dan menjadi pencerita yang baik bagi penontonnya? Pertanyaan serupa tentu menyeruak jika kita membicarakan kritikus film. kritikus film yang mana? Richard Oh menyebutkan “Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film”, tapi saya kira itu terlalu gebyah uyah. Yang amatiran atau yang benar-benar serius mendalaminya? Juga, kategori yang mana? Yang wartawan pemula, wartawan kawakan, wartawan khusus film, kritikus film yang lebih serius, akademisi film, yang mana?
Tiga Level Kritikus
Di hari pertama saya hadir di kelas Film Theory, di Universitas Amsterdam, saya langsung disuguhi tiga tingkatan teori film oleh kordinator pengajar yang kini menjadi ketua jurusannya, Patricia Pisters. Dan saya kira ini bisa diterapkan juga dalam kritik film. pertama, teori film awal. Dari ontologis, film dianggap sebagai sulapan atau seni. Dari sisi epistemologi, pengkajian dilihat dari sudut aspek spiritual dan vitalitas kehidupan, dari segi estetis, ia preskriptif. Pertanyaan dasarnya: Seperti apa film yang baik. Pendekatannya biasanya Impressionistik dan puitis.
Yang kedua, teori film modern yang secara ontologis memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup dan berpandangan film sebagai ilusi dari realitas. Secara epistemologis, ia menilik relasi ideologis kehidupan. Dari sisi estetika, ia deskriptif. Pertanyaan basisnya: “bagaimana sebuah film menciptakan makna (tersembunyi). Pendekatan Semiotik, Psychoanalysis, Naratologi, Feminisme, dan (Post)kolonial acap dilakukan di sini, juga sistem Hollywood Klasik (Elsaesser) dan self-reflexivity.
Yang terakhir adalah temuan kiwari, yaitu teori film baru. Di sini, film adalah prosthesis dari tubuh dan pikiran. Ia membalik teori modern,yaitu mengupas film sebagai realitas dari ilusi. Ia membahas relasi mikropolitis, juga puisi rasa (senses) dan afek. Di Eropa, ia membahas tentang hubungan film dan ilmu syaraf, misalnya. Pertanyaan awalnya adalah: apa yang bisa dilakukan sebuah film pada saya? Apa yang membuat saya mengalami (experience) film? Pendekatan ini dilakukan oleh Sobchack dan Cavell (Phenomenology ) serta Deleuze (dwilogi Cinema , dan schizoanalysis).
Ditilik dari ketiga level tersebut, ada tiga tingkatan penilaian: bagus-jelek, memproduksi makna, dan mengalami film. Umumnya pengamat film negeri ini “barulah” sebatas menyatakan film ini bagus atau jelek, layak atau tidak untuk ditonton. Pendek kata: panduan bagi pembaca. Bahkan, banyak juga yang belum sampai ke tingkat ini. Kebanyakan hanya menulis sinopsis atau ringkasan cerita (malah copy-paste dari siaran pers!). tentu saja hal ini lebih baik, dibandingkan Cuma eksploitasi hidup pribadi bintang film bernama gosip.
Untuk ke tingkat teratas, saya kira masih merupakan barang mewah, walau masih bisa diterapkan (misalnya bagaimana sebuah film bisa menggerakkan emosi penonton). Saya kira, yang diperlukan masyarakat Indonesia adalah bagaimana sebuah film bisa ditafsirkan kandungan maknanya (encoding/decoding, istilah Stuart Hall). Bagaimana kritikus film menjadi jembatan bagi pembacanya untuk menggali makna dan pesan dari sutradara.
Hal lain yang bisa diambil dari tiga level di atas adalah: bahwa untuk memaknai atau “membaca film, ada banyak pintu-pintu teori sebagai alat analisa—tidak hanya atau harus Deleuze.
Dan saya kira ada satu hal penting yang harus dipunyai oleh kritikus yang dilontarkan Gayus Siagian: syarat pertama kritikus film adalah mencintai media film itu sendiri. Harus ada vocation, panggilan jiwa.
Tahun ini, saya sekeluarga mengalami banyak kejadian yang, boleh
disebut, keluar dari Zona Nyaman. Pertama, kami pindah ke Bristol, dari Norwich.
Dalam bidang akademis, supervisor saya menyarankan saya
untuk mempresentasikan bab-bab saya di dua dari konperensi terbaik di bidang
Kajian Film, yaitu SCMS (Society for Cinema and Media Studies) dan MECCSA
(Media, Cultural, and Communication Studies Association), dan saya berhasil
melaksanakanya. SCMS, sejauh ini, adalah konperensi terbaik yang pernah saya
ikuti. Saya mendapatkan jaringan-kerja yang sangat luas dan kelas dunia. Panel
saya didatangi oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, yang sebelumnya saya cuma
tahu di media social, atau baca karyanya (misalnya, Kate Egan, Austin Fisher,
dan Johnny Walker ). Dan,lebih banyak lagi nama besar yang saya temui
(Barbara Klinger, Linda Williams, Tom Gunning, Andrew Dudley, Matt Hill, dan
banyak lagi), yang sebelumnya Cuma saya ketahui lewat bacaan-bacaan saja.
Mengapa “keluar dari Zona NYaman?”, karena keduanya adalah yang terbaik di
bidang kajian sinema, dan kajiannnya lebih umum sifatnya (tidak seperti
Cine-Excess, atau Global Exploitation Cinema, yang sangat spesifik ke topik
tesis saya, misalnya), dan tidak banyak akademisi di bidang kajian sinema tahu
tentang sinema Indonesia. Sebaliknya, sedikit sekali akademisi dari Kajian Area
(Kajian Indonesia, atau Asia Tenggara) yang minat dengan sinema.
Dan, alhamdulillah, saya 2 penghargaan
dari kampus saya, University of East Anglia (UEA), yaitu Student Award (UEA engagement award)
dan Public Engagement Prize (UEA Graduate School Prizes 2015).
front cover of Plaridel Journal i guest-edited
Selain itu, saya diberi kesempatan
untuk menjadi penyunting tamu jurnal Plaridel. Untuk pertama kalinya, saya
merasakan kerepotan dan kewalahan mengelola sebuah jurnal ilmiah, namun sangat
menikmati prosesnya, karena saya boleh membingkai topik dan mengundang
orang-orang penting menulis sesuatu yang berkaitan dengan bidang riset yang
sedang saya geluti. Saya menerima banyak
tulisan menarik dan orang-orang keren, termasuk Prof. Xavier Mendik (salah satu
Begawan di bidang cult cinema). Dan juga, bersentuhan (lagi) dengan orang-orang
keren yang mau membantu sebagai reviewer.
Tahun ini pula, saya mendapat kehormatan untuk berkorespondensi
dan menjadi salah satu panitia serta menjadi moderator dari Henry Jenkins,
salah satu tokoh utama di bidang fan culture studies, aca/fan, dan participatory culture.
Urusan non-akademis juga tak kalah menarik tahun ini. Yang
paling berkesan adalah mengunjungi Studio Harry Potter, dan menikmati seri
terbaru Doctor Who (Semoga saya bisa mengunjungi studionya di Cardiff, tahun
depan).
Kekurangan saya, salah satunya, adalah kebanyakan konperensi
(buat networking juga) serta membuat acara-acara (termasuk co-organizer di
Workshop on Indonesian Cinema di SOAS dan London Indonesian Film Screenings), dan kurang fokus pada penerbitan paper
di jurnal. Jadi, salah satu resolusi utama saya tahun 2016 adalah menerbitkan
salah satu (atau dua) bab dalam tesis saya di jurnal ilmiah internasional. Resolusi kedua
utama saya: lulus kuliah, atau
setidaknya menyerahkan draft final tesis saya.
Tetapi tak ada yang lebih membahagiakan saya daripada
melihat Medina, anak saya yang baru berusia 4 tahun itu, selesai fase toilet
training. Dan kini, dia sedang sibuk membaca (tepatnya; mengeja) buku cerita. Medina juga suka sekali dengan dongeng dan
buku cerita. Buku horror pertamanya adalah Killer Gorilla. Dia senang
ditakut-takuti dengan buku itu. Bukan takut dalam arti “takut” sewaktu menonton
Doctor Who (yang ada banyak makhluk anehnya), tapi takut-takut senang nagih
gitu. J
Terima kasih semuanya! Terima kasih kepada para tamu yang berkunjung! Alhamdulillah
people literally carrying a house in Men who Saved the World
Non-Indonesia
Inside Out
Lelaki Harapan Terakhir/Men Who Saved the World
Kurt Cobain: Montage of Heck
Mad Max: Fury Road
Jurrasic World PK
Indonesia
Siti (Eddie Cahyono)
The Look of Silence (Joshua Oppenheimer)
Filosofi Kopi (Angga Sasongko)
Pendekar Tongkat Emas (Ifa Isfansyah)
As a state-funded
student with a family , I have very limited time (and money) to watch movies. and It is even more difficult for me to watch Indonesian films,
Thus, I missed many movies: Carol, Crimson Peak, Macbeth, Steve Jobs, Bridge of
Spies, It Follows, Tehran Taxi, Assassin,
Tjokro, , A Copy of My Mind, Toba Dreams, Kapan Kawin?, And I deliberately exclude Star Wars Episode VII: The Force Awakens and Spectre.
So, this is not the list of the best movies. But, my favorite films i watched in 2015 so far.
Most anticipated movies of 2016:
1. Muhammad The Messenger of God (Majid Majidi)
2. Ada Apa dengan Cinta 2 (Riri RIza)
3. Batman Vs. Superman: Dawn of Justice
4. Kung Fu Panda 3
5. Suicide Squad
6, The H8tful
7. Fantastic Beast and Where to Find Them
8. Ip Man 3
9. The Assasin
10. Joko Anwar's A Copy of My Mind
11. Bachtiar Siagian's Violetta
12. Mo Brothers' Headshot
13. Gareth Evans' Blister
14. Yosef Anggi Noen's biopic of Wiji Tukul
15. Angga Sasongko's biopic of Munir
Resensi Singkat
Non-Indonesia
Lelaki Harapan Dunia (Liew Seng Tat)
Film ini begitu pas untuk menafsirkan Indonesia kiwari. Seluruh
penduduk pria membopong sebuah rumah (dalam artian literal), dan percaya begitu
saja dengan mitos, berita burung, tanpa mencoba verifikasi dan berbaik sangka. Dan
balutan komedi (hitam) di film ini adalah pilihan senjata yang jitu. Lihat saja aksi para pria macho yang menyamar sebagai ibu-ibu bertudung..
Inside Out
Sudah lama saya tidak
menitikkan air mata saat menonton. Dan film ini--sepertinya karena kesederhanaan dan kedekatan cerita dengan keseharian--berhasil membuat saya terharu,
berkali-kali.
Kurt Cobain: Montage of
Heck
Kelebihan dari film ini
adalah pemakaian arsip sebagai bahannya. Khususnya rekaman
video masa kecil Kurt serta masa-masa punya bayi, dan rekaman kaset awal-awal karirnya (yang diberi
jiwa dengan adegan-adegan animasi yang ciamik).
Mad Max: Fury Road
Film ini menciptakan
sendiri semestanya dengan reka-percaya tingkat tinggi. Dan kisah yang bagus,
ditambah penggambaran karakter-karakternya yang kuat dan liyan, tentu mengundang banyak penafsiran, seperti
halnya dalam film ini.
Jurrasic World
Tujuan utama film ini,
menurut saya, adalah membuat penontonnya seperti berada dalam roller-coaster,
mau dibuat tegang, dibikin terkejut. Dan, bagi saya, itu berhasil.
PK
Film Bollywood ini juga sukses membuat saya terharu. Idenya cukup unik, seorang alien yang buta soal agama dan budaya melakukan "riset" yang terpaksa ia lakukan (agar bisa pulang), dan hasilnya: ia menyimpulkana tentang definisi agama dan keberagamaan, dengan gayanya yang "asing" dan tak lazim. Sci-fi ala E.T. bertemu genre film religi!
Indonesia
Siti
Adegan awalnya saja adalah magnit: penggerebekan karaoke oleh sekelompok polisi. Dan kita pun diajak untuk mengeksplorasi Yogya dari “pintu belakang”.
Selain cerita, sinematografinya yang memilih untuk hitam putih berhasil memperkuat kisah kemandirian srikandi modern.
The Look of Silence
Saya lebih suka film ini dari pada The act of Killing. Di film ini--berbeda dengan TAOK yang cenderung one dimensional approach, merayakan sang jagal, dan lebih berkutat pada “bagaimana” daripada “mengapa”--kedua belah pihak (yang dibunuh dan yang membunuh), dipertemukan dan terjadi dialog. Dan penonton dipersilahkan memaknainya.
Filosofi Kopi
Cerita yang renyah. Dan dua karakter utamanya yang saling bertolak belakang, Jody dan Ben, begitu natural dan sangat “tektok”. Dan keduanya, serta El, bermuara pada tiga hal: kopi, passion, dan orang tua.
Pendekar Tongkat Emas
Film silat selalu menjadi favorit saya. Dan Sumba Timur begitu menghipnotis.