Thursday, 24 December 2015

Kritikus Film yang Mana? Sineas yang Mana? Media yang Mana?

Tulisan lama. :)

22 December 2008 at 13:32
Dalam Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film? (Kompas, 29/11), Richard oh banyak mendedel tentang kekecewannya terhadap profesi yang bertajuk kritikus film. Pendek kata: tidak setara dengan sineas. Namun, sebenarnya kupasan bahwa kritikus film masih jauh dari harapan dan fungsinya yang ideal bukanlah sebuah keluhan yang baru. Membahas soal kesepadanan, pengamat film seperti Roger Ebert adalah sosok yang disegani oleh para sineas bahkan meraih Pulitzer (mungkinkah kritikus film kita meraih Khatulistiwa Award di bidang non-fiksi, misalnya?). Figur semacam Andre Bazin menghasilkan madzhab Cahiers du Cinema dan menelurkan murid sekelas Kritikus film Godard dan Truffaut, yang kemudian menjadi motor bagi gelombang baru sinema Prancis. Tokoh semacam Tony Ryans dan Tadao Sato tidak jarang membantu sineas Asia Tenggara untuk menyemir hasil akhir karyanya. Orang semacam Anchalee Chaiworaporn dan Alexis Tioseco menjadi juru bicara negaranya dengan menulis di Cahiers du Cinema edisi khusus 2007 yang membuat Thailand dan Philiphina mendapatkan dua halaman pemetaan sinema dunia, sedangkan Ben Slater mengupas perkembangan mutakhir Malaysia. Dalam majalah legendaris itu, Indonesia sama sekali tidak disinggung, kecuali alamat situs Jiffest. Mungkin karena keduanya menulis dalam bahasa Inggris di situsnya masing-masing (Thaicinema.org danCriticine.com). Yang “menakjubkan”, jubir film Indonesia di Festival Film Venice adalah seorang Italia bernama Paolo Bertolin (Rumahfilm.org, 16/6 08).

Bagaimana dengan Indonesia? Kita pernah punya beberapa majalah 1950 dan 1960an semacam Dunia Film dan Film Varia (juga belasan judul lainnya, saya temukan di perpustakaan KITLV, Leiden) yang mengulas khusus perfilman dengan serius namun popular. Terakhir, pernah ada majalah F yang nasibnya kurang beruntung. Nama-nama seperti DA Peransi, JB Kristanto, Salim Said, Arya Gunawan, dan Seno Gumira Ajidarma juga menjadi mitra tanding yang sejajar dengan filmmaker. Nama besar Usmar Ismail dan Asrul Sani juga pengulas film yang andal. Dan ada fenomena menarik, beberapa kritikus film--dari Andjar Asmara, Hasmanan, hingga Joko Anwar--beralih profesi menjadi sutradara.



Kembali pada kualitas kritikus film dewasa ini, saya tak mau berpusing-pusing persoalan Deleuze dan Simularca. Saya hanya berbicara dunia nyata, tentang dunia kritikus dan wartawan film yang dekat dengan keseharian saya. Ada beberapa hal yang patut dicermati juga dalam hal ini.Pertama, pernyataan “semakin mudah menjadi kritikus film”. Saya kira Richard Oh sedang membahas tentang ulasan film di media massa, khususnya yang ditulis oleh wartawannya sendiri. Yang harus diingat adalah, sangat sedikit wartawan yang mengkhususkan diri pada film—kecuali wartawan majalah film. Tentu saja pengembangan diri dan kredibilitas seseorang tergantung dari yang bersangkutan. Namun fakta bahwa, kecuali dalam media yang khusus membahas film, ada aturan untuk bertukar rubrik. Tak selamanya seseorang mengurusi rubrik film, misalnya. Faktor lain, mengutip Eric Sasono, kebanyakan majalah menempatkan film di rubrik budaya dan bukan seni, hal yang menggambarkan kebijakan redaksi. Juga keterbatasan halaman, hanya sekitar 800 hingga seribu kata, atau 6 ribu karakter, misalnya, sehingga terkadang tulisan disunting dan tulisan tidak paripurna.

Lantas, benarkah semudah itu? Bagi para kritikus film yang ingin menulis lebih dalam mengkaji film, sangat sulit untuk menemukan ruang yang tepat. Tentu saja media massa dari harian hingga bulanan bukan tepat yang cocok dengan kebijakan redaksi untuk mengulik film secara filosofis, antroplogis, sosiologis, psikoanalisis, atau teori ilmiah lainnya—kalau pun ada hanya minoritas. Sehingga, Richard OH sepertinya “salah sasaran” atau katakanlah, “salah kamar”. Sebagian media tidak menerima tulisan dari luar karena sudah ditulis oleh wartawannya sendiri. Juga, langkanya rubrik yang secara dalam mengupas film. belum lagi keharusan mengikuti selera redaktur yang tentunya berbeda satu media dengan lainnya. Karena itu, sepertinya harus melihat media lain di luar majalah atau koran. Jika kita melihat jurnal-jurnal akademis kita akan menemukan nama seperti Intan Paramadita atau Sita Aripurnami, sebagai contoh. Dalam berbagai seminar internasional, ada nama seperti Budi Irawanto atau Tito Imanda. Belum lagi para akademisi lintas-disipliner seperti Amrih Widodo. Jika kesulitan mengakses jurnal cetak, silahkan cari di situs sejenis Clea, Kunci Cultural Studies Insideindonesia.org atau ejumpcut.org—dan tentu saja Rumahfilm.org.Yang tak kalah menarik, beberapa blogger juga secara berkala menulis film, dan di antara mereka ada yang menulis secara dalam dan mengasyikkan, salah satunya karena kebebasan yang mereka punya.

Tentu saja pembaca tidak mau tahu tentang kendala-kendala kerja wartawan di atas. Mereka hanya melihat hasil tulisannya. Sebagaimana, tentu saja, penonton juga tidak mau tahu tentang kendala-kendala dalam pembuatan film. Dalam konteks “betapa mudahnya menjadi kritikus film”, penonton sebenarnya merasakan “betapa mudahnya menjadi sutradara”. Kalau kita lihat, betapa banyak film diproduksi, tidak sedikit yang berkualitas buruk. Tetapi makin banyak saja kuantitas produksi film. apa ini tandanya bahwa siapa saja bisa menjadi pembuat film dengan “mudah”? Sehingga sejauh ini saya bisa menyatakan bahwa “betapa mudahnya menjadi kritikus film” tidak jauh beda dengan “betapa mudahnya menjadi sutradara film”. Pun, “Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?” bisa diganti menjadi “Siapa Lagi Ingin Menjadi Sutradara?”. Untunglah ada film semacam May, Fiksi., Kantata Takwa, dan Laskar Pelangi. Tentu saja, ini adalah tema yang berbeda. Tetapi, kemudahan menjadi sineas sama mudahnya atau lebih mudah daripada menjadi kritikus film. ditambah lagi, menjadi filmmaker tentu mendapatkan keuntungan financial yang lebih daripada kritikus film.

Masalahnya adalah, ini kita bicara filmmaker yang mana? Sutradara debutan? Sutradara kejar tayang? Sutradara komersil? Sutradara asal? Atau, sutradara idealis yang ingin menyampaikan gagasan, memperlakukan film seperti seni, dan menjadi pencerita yang baik bagi penontonnya? Pertanyaan serupa tentu menyeruak jika kita membicarakan kritikus film. kritikus film yang mana? Richard Oh menyebutkan “Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film”, tapi saya kira itu terlalu gebyah uyah. Yang amatiran atau yang benar-benar serius mendalaminya? Juga, kategori yang mana? Yang wartawan pemula, wartawan kawakan, wartawan khusus film, kritikus film yang lebih serius, akademisi film, yang mana?

Tiga Level Kritikus

Di hari pertama saya hadir di kelas Film Theory, di Universitas Amsterdam, saya langsung disuguhi tiga tingkatan teori film oleh kordinator pengajar yang kini menjadi ketua jurusannya, Patricia Pisters. Dan saya kira ini bisa diterapkan juga dalam kritik film. pertama, teori film awal. Dari ontologis, film dianggap sebagai sulapan atau seni. Dari sisi epistemologi, pengkajian dilihat dari sudut aspek spiritual dan vitalitas kehidupan, dari segi estetis, ia preskriptif. Pertanyaan dasarnya: Seperti apa film yang baik. Pendekatannya biasanya Impressionistik dan puitis.

Yang kedua, teori film modern yang secara ontologis memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup dan berpandangan film sebagai ilusi dari realitas. Secara epistemologis, ia menilik relasi ideologis kehidupan. Dari sisi estetika, ia deskriptif. Pertanyaan basisnya: “bagaimana sebuah film menciptakan makna (tersembunyi). Pendekatan Semiotik, Psychoanalysis, Naratologi, Feminisme, dan (Post)kolonial acap dilakukan di sini, juga sistem Hollywood Klasik (Elsaesser) dan self-reflexivity.

Yang terakhir adalah temuan kiwari, yaitu teori film baru. Di sini, film adalah prosthesis dari tubuh dan pikiran. Ia membalik teori modern,yaitu mengupas film sebagai realitas dari ilusi. Ia membahas relasi mikropolitis, juga puisi rasa (senses) dan afek. Di Eropa, ia membahas tentang hubungan film dan ilmu syaraf, misalnya. Pertanyaan awalnya adalah: apa yang bisa dilakukan sebuah film pada saya? Apa yang membuat saya mengalami (experience) film? Pendekatan ini dilakukan oleh Sobchack dan Cavell (Phenomenology ) serta Deleuze (dwilogi Cinema , dan schizoanalysis).

Ditilik dari ketiga level tersebut, ada tiga tingkatan penilaian: bagus-jelek, memproduksi makna, dan mengalami film. Umumnya pengamat film negeri ini “barulah” sebatas menyatakan film ini bagus atau jelek, layak atau tidak untuk ditonton. Pendek kata: panduan bagi pembaca. Bahkan, banyak juga yang belum sampai ke tingkat ini. Kebanyakan hanya menulis sinopsis atau ringkasan cerita (malah copy-paste dari siaran pers!). tentu saja hal ini lebih baik, dibandingkan Cuma eksploitasi hidup pribadi bintang film bernama gosip.

Untuk ke tingkat teratas, saya kira masih merupakan barang mewah, walau masih bisa diterapkan (misalnya bagaimana sebuah film bisa menggerakkan emosi penonton). Saya kira, yang diperlukan masyarakat Indonesia adalah bagaimana sebuah film bisa ditafsirkan kandungan maknanya (encoding/decoding, istilah Stuart Hall). Bagaimana kritikus film menjadi jembatan bagi pembacanya untuk menggali makna dan pesan dari sutradara.

Hal lain yang bisa diambil dari tiga level di atas adalah: bahwa untuk memaknai atau “membaca film, ada banyak pintu-pintu teori sebagai alat analisa—tidak hanya atau harus Deleuze.

Dan saya kira ada satu hal penting yang harus dipunyai oleh kritikus yang dilontarkan Gayus Siagian: syarat pertama kritikus film adalah mencintai media film itu sendiri. Harus ada vocation, panggilan jiwa. 

No comments:

Post a Comment