(Spoiler warning. Tapi masak iya udah seminggu lebih masih dianggap spoiler?)
Dari menit-menit awal, saya merasa kurang nyaman menonton film Star Wars VII ini. Ada yang mengganggu, misalnya dari segi karakter dan penokohan. Lho kok ini karakter mirip Darth Vader (tapi gak jelas alasannya kenapa dia pake topeng, wong dia segar bugar dan sehat gitu—kecuali kalau dia pemuja Darth Vader)? Lha terus ini ada lagi yang ngikutin Luke Skywalker, seorang penyendiri di gurun pasir yang jago utak atik mesin, dan (langsung atau tidak langsung) mencari (atau menanti) asal usul dirinya, dan “tiba-tiba” kedatangan seorang “mentor”? Eh ada Han Solo wannabe juga. Bahkan R2D2 juga ada karakter yang menyerupainya, dan dia juga diberikan tugas membawa pesan rahasia nan penting.
Dan plot serta adegannya? Lha kok formulanya sama dengan A New Hope, plus juga dari 2 seri orisinalnya di sana sini. (cek link ini) Salah satunya, ada juga adegan mirip-mirip “I am your father” lengkap di jembatan sempit di Death Star, eh Star Killer. Saya paham, namanya juga film genre yang formulaik ya, tentu ada rumus dan pakemnya. Dan tidak ada yang baru di bawah langit. Tapi…duileee segitunye. Apa gak bisa lebih kreatif lagi, yak? Cari aman? Untung gak nonton yang versi 3D.
Maaf ya bagi yang suka film ini. Namanya juga selera. CMIIW. BTW, saya suka Star Wars, khususnya 3 versi originalnya.
Nyanyi dulu ah: “ku ingin mencintaimu…. Tapi tak beginiiiii…..”
Dalam Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film? (Kompas, 29/11), Richard oh banyak mendedel tentang kekecewannya terhadap profesi yang bertajuk kritikus film. Pendek kata: tidak setara dengan sineas. Namun, sebenarnya kupasan bahwa kritikus film masih jauh dari harapan dan fungsinya yang ideal bukanlah sebuah keluhan yang baru. Membahas soal kesepadanan, pengamat film seperti Roger Ebert adalah sosok yang disegani oleh para sineas bahkan meraih Pulitzer (mungkinkah kritikus film kita meraih Khatulistiwa Award di bidang non-fiksi, misalnya?). Figur semacam Andre Bazin menghasilkan madzhab Cahiers du Cinema dan menelurkan murid sekelas Kritikus film Godard dan Truffaut, yang kemudian menjadi motor bagi gelombang baru sinema Prancis. Tokoh semacam Tony Ryans dan Tadao Sato tidak jarang membantu sineas Asia Tenggara untuk menyemir hasil akhir karyanya. Orang semacam Anchalee Chaiworaporn dan Alexis Tioseco menjadi juru bicara negaranya dengan menulis di Cahiers du Cinema edisi khusus 2007 yang membuat Thailand dan Philiphina mendapatkan dua halaman pemetaan sinema dunia, sedangkan Ben Slater mengupas perkembangan mutakhir Malaysia. Dalam majalah legendaris itu, Indonesia sama sekali tidak disinggung, kecuali alamat situs Jiffest. Mungkin karena keduanya menulis dalam bahasa Inggris di situsnya masing-masing (Thaicinema.org danCriticine.com). Yang “menakjubkan”, jubir film Indonesia di Festival Film Venice adalah seorang Italia bernama Paolo Bertolin (Rumahfilm.org, 16/6 08).
Bagaimana dengan Indonesia? Kita pernah punya beberapa majalah 1950 dan 1960an semacam Dunia Film dan Film Varia (juga belasan judul lainnya, saya temukan di perpustakaan KITLV, Leiden) yang mengulas khusus perfilman dengan serius namun popular. Terakhir, pernah ada majalah F yang nasibnya kurang beruntung. Nama-nama seperti DA Peransi, JB Kristanto, Salim Said, Arya Gunawan, dan Seno Gumira Ajidarma juga menjadi mitra tanding yang sejajar dengan filmmaker. Nama besar Usmar Ismail dan Asrul Sani juga pengulas film yang andal. Dan ada fenomena menarik, beberapa kritikus film--dari Andjar Asmara, Hasmanan, hingga Joko Anwar--beralih profesi menjadi sutradara.
Kembali pada kualitas kritikus film dewasa ini, saya tak mau berpusing-pusing persoalan Deleuze dan Simularca. Saya hanya berbicara dunia nyata, tentang dunia kritikus dan wartawan film yang dekat dengan keseharian saya. Ada beberapa hal yang patut dicermati juga dalam hal ini.Pertama, pernyataan “semakin mudah menjadi kritikus film”. Saya kira Richard Oh sedang membahas tentang ulasan film di media massa, khususnya yang ditulis oleh wartawannya sendiri. Yang harus diingat adalah, sangat sedikit wartawan yang mengkhususkan diri pada film—kecuali wartawan majalah film. Tentu saja pengembangan diri dan kredibilitas seseorang tergantung dari yang bersangkutan. Namun fakta bahwa, kecuali dalam media yang khusus membahas film, ada aturan untuk bertukar rubrik. Tak selamanya seseorang mengurusi rubrik film, misalnya. Faktor lain, mengutip Eric Sasono, kebanyakan majalah menempatkan film di rubrik budaya dan bukan seni, hal yang menggambarkan kebijakan redaksi. Juga keterbatasan halaman, hanya sekitar 800 hingga seribu kata, atau 6 ribu karakter, misalnya, sehingga terkadang tulisan disunting dan tulisan tidak paripurna.
Lantas, benarkah semudah itu? Bagi para kritikus film yang ingin menulis lebih dalam mengkaji film, sangat sulit untuk menemukan ruang yang tepat. Tentu saja media massa dari harian hingga bulanan bukan tepat yang cocok dengan kebijakan redaksi untuk mengulik film secara filosofis, antroplogis, sosiologis, psikoanalisis, atau teori ilmiah lainnya—kalau pun ada hanya minoritas. Sehingga, Richard OH sepertinya “salah sasaran” atau katakanlah, “salah kamar”. Sebagian media tidak menerima tulisan dari luar karena sudah ditulis oleh wartawannya sendiri. Juga, langkanya rubrik yang secara dalam mengupas film. belum lagi keharusan mengikuti selera redaktur yang tentunya berbeda satu media dengan lainnya. Karena itu, sepertinya harus melihat media lain di luar majalah atau koran. Jika kita melihat jurnal-jurnal akademis kita akan menemukan nama seperti Intan Paramadita atau Sita Aripurnami, sebagai contoh. Dalam berbagai seminar internasional, ada nama seperti Budi Irawanto atau Tito Imanda. Belum lagi para akademisi lintas-disipliner seperti Amrih Widodo. Jika kesulitan mengakses jurnal cetak, silahkan cari di situs sejenis Clea, Kunci Cultural Studies Insideindonesia.org atau ejumpcut.org—dan tentu saja Rumahfilm.org.Yang tak kalah menarik, beberapa blogger juga secara berkala menulis film, dan di antara mereka ada yang menulis secara dalam dan mengasyikkan, salah satunya karena kebebasan yang mereka punya.
Tentu saja pembaca tidak mau tahu tentang kendala-kendala kerja wartawan di atas. Mereka hanya melihat hasil tulisannya. Sebagaimana, tentu saja, penonton juga tidak mau tahu tentang kendala-kendala dalam pembuatan film. Dalam konteks “betapa mudahnya menjadi kritikus film”, penonton sebenarnya merasakan “betapa mudahnya menjadi sutradara”. Kalau kita lihat, betapa banyak film diproduksi, tidak sedikit yang berkualitas buruk. Tetapi makin banyak saja kuantitas produksi film. apa ini tandanya bahwa siapa saja bisa menjadi pembuat film dengan “mudah”? Sehingga sejauh ini saya bisa menyatakan bahwa “betapa mudahnya menjadi kritikus film” tidak jauh beda dengan “betapa mudahnya menjadi sutradara film”. Pun, “Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?” bisa diganti menjadi “Siapa Lagi Ingin Menjadi Sutradara?”. Untunglah ada film semacam May, Fiksi., Kantata Takwa, dan Laskar Pelangi. Tentu saja, ini adalah tema yang berbeda. Tetapi, kemudahan menjadi sineas sama mudahnya atau lebih mudah daripada menjadi kritikus film. ditambah lagi, menjadi filmmaker tentu mendapatkan keuntungan financial yang lebih daripada kritikus film.
Masalahnya adalah, ini kita bicara filmmaker yang mana? Sutradara debutan? Sutradara kejar tayang? Sutradara komersil? Sutradara asal? Atau, sutradara idealis yang ingin menyampaikan gagasan, memperlakukan film seperti seni, dan menjadi pencerita yang baik bagi penontonnya? Pertanyaan serupa tentu menyeruak jika kita membicarakan kritikus film. kritikus film yang mana? Richard Oh menyebutkan “Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film”, tapi saya kira itu terlalu gebyah uyah. Yang amatiran atau yang benar-benar serius mendalaminya? Juga, kategori yang mana? Yang wartawan pemula, wartawan kawakan, wartawan khusus film, kritikus film yang lebih serius, akademisi film, yang mana?
Tiga Level Kritikus
Di hari pertama saya hadir di kelas Film Theory, di Universitas Amsterdam, saya langsung disuguhi tiga tingkatan teori film oleh kordinator pengajar yang kini menjadi ketua jurusannya, Patricia Pisters. Dan saya kira ini bisa diterapkan juga dalam kritik film. pertama, teori film awal. Dari ontologis, film dianggap sebagai sulapan atau seni. Dari sisi epistemologi, pengkajian dilihat dari sudut aspek spiritual dan vitalitas kehidupan, dari segi estetis, ia preskriptif. Pertanyaan dasarnya: Seperti apa film yang baik. Pendekatannya biasanya Impressionistik dan puitis.
Yang kedua, teori film modern yang secara ontologis memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup dan berpandangan film sebagai ilusi dari realitas. Secara epistemologis, ia menilik relasi ideologis kehidupan. Dari sisi estetika, ia deskriptif. Pertanyaan basisnya: “bagaimana sebuah film menciptakan makna (tersembunyi). Pendekatan Semiotik, Psychoanalysis, Naratologi, Feminisme, dan (Post)kolonial acap dilakukan di sini, juga sistem Hollywood Klasik (Elsaesser) dan self-reflexivity.
Yang terakhir adalah temuan kiwari, yaitu teori film baru. Di sini, film adalah prosthesis dari tubuh dan pikiran. Ia membalik teori modern,yaitu mengupas film sebagai realitas dari ilusi. Ia membahas relasi mikropolitis, juga puisi rasa (senses) dan afek. Di Eropa, ia membahas tentang hubungan film dan ilmu syaraf, misalnya. Pertanyaan awalnya adalah: apa yang bisa dilakukan sebuah film pada saya? Apa yang membuat saya mengalami (experience) film? Pendekatan ini dilakukan oleh Sobchack dan Cavell (Phenomenology ) serta Deleuze (dwilogi Cinema , dan schizoanalysis).
Ditilik dari ketiga level tersebut, ada tiga tingkatan penilaian: bagus-jelek, memproduksi makna, dan mengalami film. Umumnya pengamat film negeri ini “barulah” sebatas menyatakan film ini bagus atau jelek, layak atau tidak untuk ditonton. Pendek kata: panduan bagi pembaca. Bahkan, banyak juga yang belum sampai ke tingkat ini. Kebanyakan hanya menulis sinopsis atau ringkasan cerita (malah copy-paste dari siaran pers!). tentu saja hal ini lebih baik, dibandingkan Cuma eksploitasi hidup pribadi bintang film bernama gosip.
Untuk ke tingkat teratas, saya kira masih merupakan barang mewah, walau masih bisa diterapkan (misalnya bagaimana sebuah film bisa menggerakkan emosi penonton). Saya kira, yang diperlukan masyarakat Indonesia adalah bagaimana sebuah film bisa ditafsirkan kandungan maknanya (encoding/decoding, istilah Stuart Hall). Bagaimana kritikus film menjadi jembatan bagi pembacanya untuk menggali makna dan pesan dari sutradara.
Hal lain yang bisa diambil dari tiga level di atas adalah: bahwa untuk memaknai atau “membaca film, ada banyak pintu-pintu teori sebagai alat analisa—tidak hanya atau harus Deleuze.
Dan saya kira ada satu hal penting yang harus dipunyai oleh kritikus yang dilontarkan Gayus Siagian: syarat pertama kritikus film adalah mencintai media film itu sendiri. Harus ada vocation, panggilan jiwa.
Tahun ini, saya sekeluarga mengalami banyak kejadian yang, boleh
disebut, keluar dari Zona Nyaman. Pertama, kami pindah ke Bristol, dari Norwich.
Dalam bidang akademis, supervisor saya menyarankan saya
untuk mempresentasikan bab-bab saya di dua dari konperensi terbaik di bidang
Kajian Film, yaitu SCMS (Society for Cinema and Media Studies) dan MECCSA
(Media, Cultural, and Communication Studies Association), dan saya berhasil
melaksanakanya. SCMS, sejauh ini, adalah konperensi terbaik yang pernah saya
ikuti. Saya mendapatkan jaringan-kerja yang sangat luas dan kelas dunia. Panel
saya didatangi oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, yang sebelumnya saya cuma
tahu di media social, atau baca karyanya (misalnya, Kate Egan, Austin Fisher,
dan Johnny Walker ). Dan,lebih banyak lagi nama besar yang saya temui
(Barbara Klinger, Linda Williams, Tom Gunning, Andrew Dudley, Matt Hill, dan
banyak lagi), yang sebelumnya Cuma saya ketahui lewat bacaan-bacaan saja.
Mengapa “keluar dari Zona NYaman?”, karena keduanya adalah yang terbaik di
bidang kajian sinema, dan kajiannnya lebih umum sifatnya (tidak seperti
Cine-Excess, atau Global Exploitation Cinema, yang sangat spesifik ke topik
tesis saya, misalnya), dan tidak banyak akademisi di bidang kajian sinema tahu
tentang sinema Indonesia. Sebaliknya, sedikit sekali akademisi dari Kajian Area
(Kajian Indonesia, atau Asia Tenggara) yang minat dengan sinema.
Dan, alhamdulillah, saya 2 penghargaan
dari kampus saya, University of East Anglia (UEA), yaitu Student Award (UEA engagement award)
dan Public Engagement Prize (UEA Graduate School Prizes 2015).
front cover of Plaridel Journal i guest-edited
Selain itu, saya diberi kesempatan
untuk menjadi penyunting tamu jurnal Plaridel. Untuk pertama kalinya, saya
merasakan kerepotan dan kewalahan mengelola sebuah jurnal ilmiah, namun sangat
menikmati prosesnya, karena saya boleh membingkai topik dan mengundang
orang-orang penting menulis sesuatu yang berkaitan dengan bidang riset yang
sedang saya geluti. Saya menerima banyak
tulisan menarik dan orang-orang keren, termasuk Prof. Xavier Mendik (salah satu
Begawan di bidang cult cinema). Dan juga, bersentuhan (lagi) dengan orang-orang
keren yang mau membantu sebagai reviewer.
Tahun ini pula, saya mendapat kehormatan untuk berkorespondensi
dan menjadi salah satu panitia serta menjadi moderator dari Henry Jenkins,
salah satu tokoh utama di bidang fan culture studies, aca/fan, dan participatory culture.
Urusan non-akademis juga tak kalah menarik tahun ini. Yang
paling berkesan adalah mengunjungi Studio Harry Potter, dan menikmati seri
terbaru Doctor Who (Semoga saya bisa mengunjungi studionya di Cardiff, tahun
depan).
Kekurangan saya, salah satunya, adalah kebanyakan konperensi
(buat networking juga) serta membuat acara-acara (termasuk co-organizer di
Workshop on Indonesian Cinema di SOAS dan London Indonesian Film Screenings), dan kurang fokus pada penerbitan paper
di jurnal. Jadi, salah satu resolusi utama saya tahun 2016 adalah menerbitkan
salah satu (atau dua) bab dalam tesis saya di jurnal ilmiah internasional. Resolusi kedua
utama saya: lulus kuliah, atau
setidaknya menyerahkan draft final tesis saya.
Tetapi tak ada yang lebih membahagiakan saya daripada
melihat Medina, anak saya yang baru berusia 4 tahun itu, selesai fase toilet
training. Dan kini, dia sedang sibuk membaca (tepatnya; mengeja) buku cerita. Medina juga suka sekali dengan dongeng dan
buku cerita. Buku horror pertamanya adalah Killer Gorilla. Dia senang
ditakut-takuti dengan buku itu. Bukan takut dalam arti “takut” sewaktu menonton
Doctor Who (yang ada banyak makhluk anehnya), tapi takut-takut senang nagih
gitu. J
Terima kasih semuanya! Terima kasih kepada para tamu yang berkunjung! Alhamdulillah
people literally carrying a house in Men who Saved the World
Non-Indonesia
Inside Out
Lelaki Harapan Terakhir/Men Who Saved the World
Kurt Cobain: Montage of Heck
Mad Max: Fury Road
Jurrasic World PK
Indonesia
Siti (Eddie Cahyono)
The Look of Silence (Joshua Oppenheimer)
Filosofi Kopi (Angga Sasongko)
Pendekar Tongkat Emas (Ifa Isfansyah)
As a state-funded
student with a family , I have very limited time (and money) to watch movies. and It is even more difficult for me to watch Indonesian films,
Thus, I missed many movies: Carol, Crimson Peak, Macbeth, Steve Jobs, Bridge of
Spies, It Follows, Tehran Taxi, Assassin,
Tjokro, , A Copy of My Mind, Toba Dreams, Kapan Kawin?, And I deliberately exclude Star Wars Episode VII: The Force Awakens and Spectre.
So, this is not the list of the best movies. But, my favorite films i watched in 2015 so far.
Most anticipated movies of 2016:
1. Muhammad The Messenger of God (Majid Majidi)
2. Ada Apa dengan Cinta 2 (Riri RIza)
3. Batman Vs. Superman: Dawn of Justice
4. Kung Fu Panda 3
5. Suicide Squad
6, The H8tful
7. Fantastic Beast and Where to Find Them
8. Ip Man 3
9. The Assasin
10. Joko Anwar's A Copy of My Mind
11. Bachtiar Siagian's Violetta
12. Mo Brothers' Headshot
13. Gareth Evans' Blister
14. Yosef Anggi Noen's biopic of Wiji Tukul
15. Angga Sasongko's biopic of Munir
Resensi Singkat
Non-Indonesia
Lelaki Harapan Dunia (Liew Seng Tat)
Film ini begitu pas untuk menafsirkan Indonesia kiwari. Seluruh
penduduk pria membopong sebuah rumah (dalam artian literal), dan percaya begitu
saja dengan mitos, berita burung, tanpa mencoba verifikasi dan berbaik sangka. Dan
balutan komedi (hitam) di film ini adalah pilihan senjata yang jitu. Lihat saja aksi para pria macho yang menyamar sebagai ibu-ibu bertudung..
Inside Out
Sudah lama saya tidak
menitikkan air mata saat menonton. Dan film ini--sepertinya karena kesederhanaan dan kedekatan cerita dengan keseharian--berhasil membuat saya terharu,
berkali-kali.
Kurt Cobain: Montage of
Heck
Kelebihan dari film ini
adalah pemakaian arsip sebagai bahannya. Khususnya rekaman
video masa kecil Kurt serta masa-masa punya bayi, dan rekaman kaset awal-awal karirnya (yang diberi
jiwa dengan adegan-adegan animasi yang ciamik).
Mad Max: Fury Road
Film ini menciptakan
sendiri semestanya dengan reka-percaya tingkat tinggi. Dan kisah yang bagus,
ditambah penggambaran karakter-karakternya yang kuat dan liyan, tentu mengundang banyak penafsiran, seperti
halnya dalam film ini.
Jurrasic World
Tujuan utama film ini,
menurut saya, adalah membuat penontonnya seperti berada dalam roller-coaster,
mau dibuat tegang, dibikin terkejut. Dan, bagi saya, itu berhasil.
PK
Film Bollywood ini juga sukses membuat saya terharu. Idenya cukup unik, seorang alien yang buta soal agama dan budaya melakukan "riset" yang terpaksa ia lakukan (agar bisa pulang), dan hasilnya: ia menyimpulkana tentang definisi agama dan keberagamaan, dengan gayanya yang "asing" dan tak lazim. Sci-fi ala E.T. bertemu genre film religi!
Indonesia
Siti
Adegan awalnya saja adalah magnit: penggerebekan karaoke oleh sekelompok polisi. Dan kita pun diajak untuk mengeksplorasi Yogya dari “pintu belakang”.
Selain cerita, sinematografinya yang memilih untuk hitam putih berhasil memperkuat kisah kemandirian srikandi modern.
The Look of Silence
Saya lebih suka film ini dari pada The act of Killing. Di film ini--berbeda dengan TAOK yang cenderung one dimensional approach, merayakan sang jagal, dan lebih berkutat pada “bagaimana” daripada “mengapa”--kedua belah pihak (yang dibunuh dan yang membunuh), dipertemukan dan terjadi dialog. Dan penonton dipersilahkan memaknainya.
Filosofi Kopi
Cerita yang renyah. Dan dua karakter utamanya yang saling bertolak belakang, Jody dan Ben, begitu natural dan sangat “tektok”. Dan keduanya, serta El, bermuara pada tiga hal: kopi, passion, dan orang tua.
Pendekar Tongkat Emas
Film silat selalu menjadi favorit saya. Dan Sumba Timur begitu menghipnotis.
In 1990s, Muslim essayist and artist Emha Ainun Nadjib wrote:“If people feel that they are being oppressed or jobless for a long time, or want to go away from poverty, where should they address to share their feelings and emotions? Are Islamic institutions such as NU (Nahdhatul Ulama, the awakening of Islamic Scholars) or Muhammadiyah willing to help them?”. He mentioned the two biggest Indonesian Islamic organization. Surely this is just a rhetorical questions since the institutions have many social programs.
Nowadays, many Muslims in Indonesia highlight Islamic teachings more to shariah and fiqih. For me, Islam is more than that, Islam is way of life: attitude, ethics and values (such as justice, honesty, unity, peace, respect, discipline, etc), brotherhood, etc. Thus,people with fiqih-shariat-minded mostly make reduction of the holy religion.
Al Quran already remind Muslims:'They were overwhelmed with opprobrium in wherever they are, unless they adhere to the religion of God and the covenant with man.''(Surat Ali 'Imran: 112).
According to Muslim scholar Nurcholis Madjid, Islam is not just having a concept of “jihadagainst” but also “jihad for”--in this case jihad for eradicating poverty, corruption, and injustice, and defend poor, weak, and oppressed people.
Term of Kiri Islam is not rooted from “Ashabul Yamin (right party, the ones who go to heaven) and Ashabul Syimal (left right, which belong to hell) in Quranic term, nor “Kiri” as Communism and “Kanan” as the right wing. Hassan Hanafi, intelectual from Egypt, is the one who remind us about Al Yasar Al Islami (Leftish Islam), in 1981. He used the term “left” because, related to academical image, the word means “struggle” and “criticisme”. The esence of al Yasar al Islami is to focus all potential resources to face the recent problems, which are imperialism, zionism, and capitalism (as external threads) and poverty, opression and setbacks (as internal threads).
“Al Yassar al Islami belongs to repressed, opressed, poor people, to defend the need of all mankind, to take over the right of poor people from rich people, to empower the weak and to make human being equal, and make no difference between us except related to takwa and piety” Hanafi writes.
From 1930s, HOS Tjokroaminoto, figure of Sarekat Islam (the first organization that underlines nationalism, it had thousand members from many ethnical groups all over Indonesia) wrote a book titled “ Islam and Socialism”. Sarekat Islam later divided into two: Sarekat Islam Merah (Red SI) and putih (White SI). Red SI was closer to communism, and later many of its member joined Indonesian Communist Party. There is an Islamic figure, Haji Misbach,who combines Islam and Marxism to fight against colonialism. And in 1950s, Masjumi, the biggest Islamic party in 1955 election, had close relation with Partai Sosialis Indonesia.
In modern Indonesia, Islamic figure and leader of Islamic boarding school in Rembang,KH Mustafa Bisri, wrote a book titled Saleh Sosial, Saleh Ritual (Social piety, ritual piety) which highlights the need to act rather than just being alone in a mosque.
In Islam, there are many teachings about those matters above. Many verses in Islam to protect, defense, and empower poor and weak people, orphan children, both Dhuafa (the weak) and mustad’afin (the oppressed, forced to be weak).
For example, The Messenger Muhammad (Peace be upon Him) stated: “Be afraid, from the curse of the oppressed as there is no screen between his prayer and Allah”. In al-Qashas 5, God remind us: “And We wished to be Gracious to those who were being depressed in the land, to make them leaders (in Faith) and make them heirs”. Prophet Muhammad said: “The highest jihad is to talk the truth in front of dictator regime”. Ali bin Abi Thalib, the fourth caliph said: “If poverty is a man, I will kill him!”.
Let’s we reflect ourselves toward the saying of Muhammad below:
Help your brother, whether he is an oppressor or he is an oppressed one.” People asked, "O Allah's Apostle! It is all right to help him if he is oppressed, but how should we help him if he is an oppressor?" The Prophet said, "By preventing him from oppressing others”.
Tiba-tiba trio Bom Bali I yang baru dieksekusi (9/11) mendapat banyak simpati. Tidak sedikit yang menganggap Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas pahlawan. Ratusan orang mengiringinya ke pemakaman. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya mati syahid termasuk salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Ridwan (Inilah.com, 9/11). MUI pun perlu berembuk apakah ketiganya itu mujahid atau teroris (Inilah.com, 9/11). Sebelumnya, banyak wacana tentang Jihad vs Teroris antara lain yang digelar TV One (29/10) antara Guntur Romli (Jaringan Islam Liberal) dengan Abu Jibriel (wakil amir Majelis Mujahidin). Padahal bagi saya sangat jelas beda antara kafir dzimmi (non-Muslim di lingkungan mayoritas Islam yang harus dilindungi) dengan kafir harbi (kafir yang harus diperangi di medan laga). Saya tak habis pikir, kok bisa? Belum lagi kekerasan bernafaskan agama yang diniatkan untuk “membela Islam” tapi tidak sedikit yang menganggapnya varian lain lagi premanisme. Sebenarnya, bagaimana representasi kekerasan berjubah agama dalam film?
Dengan gagah, Imam Samudra menulis surat wasiat yang sangat keras: “ Bercita-citalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir”. Bandingan dengan dialog ini: “Hanya ada satu Tuhan, Tuhannya Bani Israel! Dan Dia Maha Keras dan penuh dendam. Dan kita telah sekian lama mengejek-Nya , dan kini Dia minta ganti rugi dengan darah!”. Ucapan ini dilontarkan oleh Mrs Carmody, sosok fundamentalis agama di film The Mist hasil adaptasi novela Stephen King yang diedarkan Ramadhan silam. Sosok cult itu menyatakan bahwa bencana itu hadir karena agama dilecehkan dan “syariat” dilanggar oleh kaum pembela aborsi, dan hanya dengan cara berkorban di jalan agamalah (berdasarkan penafsirannya) solusinya. Mirip dengan Jerry Falwell saat kejadian 9/11 yang menyalahkan tragedi itu kepada kaum paganis, aborsionis, feminis, dan gay serta lesbian. Sosok Carmody itu sangat karismatis dan pada akhirnya punya banyak penganut yang akan menuruti apapun “fatwa”-nya, termasuk membunuh di jalan Tuhan. Ia bahkan menyatakan bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan.
Memang, kekerasan spiritual--dari yang verbal hingga aksi pembunuhan--adalah fenomena global. Di Indonesia juga sungguh terasa, walau tidak sama persis. Bedanya, belum ada sebuah film Indonesia yang mengangkat isu ini--kecuali beberapa, seperti Kala dari Joko Anwar yang menyajikan dengan gaya komedi satir (ingat adegan “preman berjubah putih” merusak panti pijat tuna netra?) dan dalam hitungan menit saja.
Mungkin saja kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan pemaksaan itu niatnya baik. Demi dakwah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Tapi bagaimana pun, niat yang baik jika dikerjakan dengan cara yang tidak baik di mata orang awam, tentu citranya memburuk. Maka, tak sedikit yang menyebut mereka preman berjubah putih.
Mengapa timbut gejala menghalalkan kekerasan itu? Ada beberapa faktor yang mungkin. Alasan pertama adalah ingin bertausyiah (saling mengingatkan) dalam kebenaran dan kesabaran, seperti yang sering disitir para khatib. Tapi ada yang agak luput soal tausyiah ini: Bertaushiah dalam kesabaran dan kasih sayang (marhamah) (Al-Balad 17). Di sini, kata “sabar” diulang lagi. Artinya, dituntut kesabaran ekstra untuk mengubah keadaan. Shobron ala shobron seperti kata Allahyarham KH Rahmat Abdullah dalam Sang Murabbi (Zul Ardhia, 2008). Yang tak kalah penting, ada satu konsep yang yang urgen untuk disebarkan: marhamah. Bukankah kita diminta untuk berjidal (berdebat) dengan cara yang ahsan (lebih baik), dan bermauidzah hasanah (perkataan yang baik). Kasih sayang juga sering diulang, seperti dalam surat Maryam 96 atau Thaha 44. Bahkan secara tersurat disebutkan: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Mumtahanah, 7). Mengapa sepatutnya berlaku lembut dan tidak kasar? Karena “…disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereda dalam urusan itu” (Ali Imran 159).
Jadi, ada banyak ayat kasih sayang, walau pun itu tidak menafikan ayat-ayat yang tegas seperti “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (Al Mujaadalah 22). Tetapi betapa banyak kisah dalam sejarah yang menunjukkan hal ini. Misalnya, bagaimana dua pasang cucu nabi, Hasan dan Husain, tidak langsung menegur orang tua yang salah berwudhu, tetapi salah satunya pura-pura salah dan lainnya membetulkan. Atau bagaimana Rasulullah membiarkan ada anak kecil yang buang air kecil di masjid karena “najis itu bisa dibersihkan, tapi bentakan kita akan tetap ada di hatinya tak bisa dilenyapkan”.
Kemungkinan kedua, kelompok itu merasa diri paling benar dan suci dan yang paling berhak masuk surga. Padahal sudah tegas diingatkan bahwa “…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang laing mengetahui tentang orang yang bertakwa” (An-Najm: 32). Untuk soal ini, saya teringat dengan adegan favorit saya di film Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Saat itu, seorang napi menasihati Fahri yang sedang jatuh mentalnya. “ Istighfar, Indonesia! Kau sombong, Fahri! Kau merasa dirimu paling suci, bahkan di hadapan istrimu sendiri! Allah sedang berbicara denganmu!”. Sepertinya, sang napi tidak hendak menegur Fahri seorang, tapi, sesuai dengan dialognya, seluruh bangsa Indonesia. Apalagi ada celetukannya bahwa Tuhan tidak hanya milik orang-orang suci tapi juga para pendosa.
Ketiga, syariah-minded,atau fiqih-oriented. Adegan penjara di atas sesungguhnya mengajarkan kita kesabaran dan keikhlasan. Masalahnya, apakah sabar dan ikhlas otomatis kita dapatkan jika kita telah menguasai ilmu fiqih dan syariat bahkan mengamalkannya? Tidak! Sekali kali, tidak! Keduanya di dapat dari dimensi spiritualitas atau tasawuf. Tanpa sisi keruhanian (dan akhlak) yang membuahkan kesadaran, hukum-hukum positif ditakutkan akan kering dan sekadar “menggugurkan kewajiban”. Artinya, Islam tidak hanya fiqih dan syariat, tetapi juga ukhuwah, akhlak, politik, pendidikan, kebudayaan, kesucian hati pribadi , menghormati minoritas (ingat konsep kafir dzimmi?), dll dll. Islam itu kaaffaah, menyeluruh, mencakup semua aspek peradaban, tidak selayaknya direduksi hanya dengan syariat atau fiqih.
Ada satu kalimat yang bisa merumuskan gejala-gejala itu. Kalimat ini berasal dari film pendek Alejandro Innaritu dari omnibus 9/11. Katanya: “Cahaya telah membutakan mereka”. Cahaya, yang harusnya menerangi, justru menutupi. Padahal cahaya harusnya seperti yang dikatakan Rumi dan dijadikan kalimat penutup di film Gubra karya Yasmin Ahmad: “Cahayanya satu, lampunya beragam”. Ada banyak cara untuk menyalakan cahaya ilahiah, dan sudah pasti tujuannya tidak untuk membutakan iman, apalagi membuatnya padam.
Berbicara soal spiritualitas, Sayyid Quthb menyatakan dalam Fi Zilalil Qur’an bahwa hal-hal internal tiga kali lipat lebih berbahaya terhadap iman dari hal-hal eksternal. Karena itulah, dibutuhkan tiga ayat untuk berlindung kepada Allah dari bisikan hati yang membuat waswas (surat an-Nas), sementara hanya satu ayat untuk berlindung kepada kejahatan malam (surat al-Falaq). Dan karena itulah ada prinsip sufi “Siapa yang mengenal jiwanya, akan mengenal tuhannya”. Dan bukankah Islam diawali dari perenungan ke dalam diri sendiri di Gua Hira? Dan setelah itu penguatan Tauhid selama 13 tahun di Mekkah, sebelum akhirnya membangun hukum, ekonomi, dan lainnya di era Madinah? Artinya, Islam tidak langsung hadir dengan hukum-hukum, pelarangan dan pembatasan.
Senada dengan Quthb, aktris Marcia Gray Harden, sang pemeran Mrs Carmody, dalam sebuah wawancara mengenai karakter yang diperankannya, menggarisbawahi: “ Iblis di dalam diri lebih berbahaya dari iblis di luar diri.”.
Semoga tidak ada lagi kekerasan dalam kemasan agama di negeri ini dan di mana pun.
"TERROR" pasca "TERROR".
Setelah ada aksi terorisme, maka terkadang ada saja perilaku tak menyenangkan ditimpakan kepada Muslim (minoritas) yang berada di luar negeri, khususnya Eropa, AS, dan Australia. Maklum, kebodohan, tidak mau verifikasi (tabayun), buruk sangka (suudzon), fitnah dan kabar burung, serta kekerasan ada di mana-mana. Tindakan2 tidak menyenangkan ini khususnya menimpa saudari-saudari yang berjilbab, alias yang secara lahiriah menunjukkan identitas keislaman mereka.
Tapi, "untunglah", kalau di Inggris Raya, sehari setelah kejadian #parisattacks , komunitas muslim setempat menyebarkan informasi bagaimana dan apa yang harus dilakukan jika kita mendapatkan perilaku diskriminasi, ancaman, serangan dll. Di antaranya, selebaran bertajuk " "Tackling Islamophobia Bristol", yang mendefinisikan apa itu "attack" dan ciri-cirinya.
Salah satu kiatnya adalah menyuruh untuk mencatat dan merekamnya. Dan menyertakan beberapa tautan, baik dalam skala lokal dan nasional.
misalnya ke sini:
http://tellmamauk.org/
atau untuk yang di Norwich dan sekitarnya, bisa ke sini:
http://www.hatefreenorfolk.com/
Semoga kami, dan saudara-saudara kami yang Muslim dari negara manapun, terhindar dari kejadian yang tak diinginkan. amin.
Jadi berpikir, apakah lembaga serupa--yang melindungi minoritas dari berbagai ancaman, gangguan, dan hambatan--sudah ada di Indonesia, di tingkat kotamadya atau negara ya? Bisa tolong diinfokan di sini? Trims berats.
Salah satu tempat yang saya kangeni di Norwich
adalah Komunitas Muslim di Masjid Ihsan, yang terletak tak jauh dari pusat
kota, tepatnya di depan Chapelfield Garden, tak jauh dari Royal Theater dan
Intu Chapelfield Mall. Jadi, kalau
sedang main-main ke city center,
tidak sulit untuk numpang shalat.
warung kopi, hal baru di masjid ini
Masjid ini berbeda dengan masjid lainnya (khususnya di
kampus UEA yang didominasi mahasiswa dari Timur Tengah) karena pendekatannya yang
sufistik dan intelektual. Masjid ini
multikultural dan didominasi "mualaf" , warga asli UK dan juga kulit
hitam. mereka ada tarekatnya--selain "tahlilan"/shalawat dengan suara
yang dikeraskan--yang sifatnya agak tertutup, dengan alasan tidak mau
menimbulkan fitnah dan perdebatan. juga punya lingkaran studi yang ilmiah,
salah satunya tentang sejarah semacam "Early Madinah" dan juga fiat money dan pentingnya kebangkitan
dinar dan dirham (saya agak awam soal ekonomi Islam, karena itu konsep fiat money ini baru dan sangat menarik
bagi saya). dan kadang, kalau nongkrong besama mereka sehabis shalat Jumat,
diskusinya sangat menarik. kalau bahas musik, misalnya, mereka malas bahas
nasyid (karena acapella mengingatkan
mereka pada gospel, yang dekat dengan agama lama mereka), tapi malah bahas Jack
White dan Neil Young. karena kedua musisi itu, menurut mereka, mencari
spiritualitas dalam musik mereka yang "raw". Di lain kesempatan, sang Imam memposting link
film They Live (film cult, yang
menceritakan bahwa penonton bisa melihat "maksud sebenarnya" dari
dialog/pidato para karakternya atau iklan/media lainnya yang terpampang.
Masjid ini beberapa waktu lalu, sempat jadi pusat
perhatian karena ada yang merusak jendela masjid, dan justru malah menimbulkan
simpati warga Norwich.
Dan yang menarik,
sempat masuk televisi acara A Very
British Ramadhan, silahkan cek di sini kalau mau "masuk" ke
masjid Ihsan secara virtual: https://vimeo.com/87527304
menunya British banget, sup kentang, roti, mentega.
Buka puasa di sini menarik karena sangat
"British". Begitu adzan, tidak ada yang makan, semua menunggu adzan
selesai. dan gayanya mengikuti Inggris: makanan pembuka (sop kentang dan roti),
makanan utama, makanan penutup. buka puasa musim panas di sini agak panjang.
buka puasa sekitar pukul 10an, dan subuh sekitar pukul 2.30. jadi, tarawihnya
tengah malam(saya cari fatwa tentang waktu
puasa yang mengikuti negara muslim terdekat, tidak ada satu pun yang ikut fatwa
itu. dan kalau pun ada, negara muslim terdekat itu Turki, bedanya
"cuma" 3 jam-an kl tak salah).
pintu masuknya yang berwarna hijau
Ramadhan lalu, untuk kedua kalinya, saya sempatkan
beberapa kali buka puasa dan shalat tarawih berjamaah di sana. Masya Allah,
rupanya imammnya bukan lagi syeikh Abdassamad, tetapi dua anak ABG yang hafiz
quran. Jika yang satu bertugas, yang lain membuka quran di belakangnya dan siap
mengoreksi jika sang imam salah baca. Jika waktu berbuka menjelang, mereka juga
yang repot mempersiapkan makanan dan berbagai perlengkapan makanan, serta
menyajikan makanan.
musim panas, halaman belakang dibuat tempat nongkrong
Dan ada tambahan lain: ada warung
yang buka antara maghrib dan isya. Dengan begitu, jamaah tidak bingung menunggu
(karena semua toko dan fasilitas umum seperti perpustakaan tutup pukul 18.00).
ada berbagai jenis kopi dan minuman dingin, dan, kue-kue kering dan basah. Dan kita
bisa membayar dengan dirham atau dinar
Soal
fiat money, yang saya tangkap dari khotbah Jumat sang syeikh. dinar dan dirham
nilainya tetap sedangkan uang yang kita pakai sekarang berubah2. mereka punya
kursus soal ini, tapi saya tidak ikut karena
bayar agak mahal.
Ah ya, 2 tahun lalu, saat saya di masjid Ihsan, ada rombongan dari Birmingham.
mereka membahas dinar dan dirham (diEhsan ada tempat jual beli Dinar/Dirham juga). saat tahu
saya dari Indonesia, salah satu dari mereka bilang:"Indonesia? Bukannya
negaramu perintis wacana soal Dinar, ya? Kamu pasti bangga!"
Hal menarik lainnya,
soal Ihsan adalah penggunaan atau penterjemahan istilah2 keagamaan ke
dalam bahasa Inggris. karena mereka native speaker, mereka bisa menggunakan
diksi2 yang tepat untuk menggambarkan ekspresi keagamaan.
Tiap tahun mereka
mengundang non-muslim untuk hadir dalam Islam Awareness Week termasuk
dalam Pasar Kaget. bbrp pekan sebelumnya, sehabis jumatan, jamaah diingatkan
untuk membawa sahabat2 non-Muslim ke masjid. atau, dalam pekan itu, mereka
mendatangi sekolah2 di sekitar Norfolk untuk membahas tentang Islam.