Versi editnya dimuat di Majalah Madina Edisi Anniversary, Th II Januari-Februari 2009.
Catatan: tulisan ini dibuat sebelum MUI membuat fatwa "Golput haram" yang kita bisa dibuat berdebat panjang soal definisi "pemimpin yang memenuhi syarat" itu.Setelah terbit fatwa Haram MUI, tulisan ini makin memperkuat dirinya untuk menjadi oposisi fatwa itu.
Alkisah, Hidayat Nurwahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gedung DPR menyatakan perlunya ada fatwa melarang golput bagi umat Islam pada Pemilu nanti. “Saya menyarankan agar dibuat fatwa antara MUI, NU dan Muhammadiyah untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ini perlu dilakukan karena banyak masyarakat yang sekarang apatis terhadap Pemilu nanti,” katanya. Mungkin sang ustadz baru mengevaluasi berbagai pilkada yang baru digelar. Untunglah, (ya, untunglah!) MUI lantas menolaknya. “Sebetulnya, fatwa mengharamkan golput tidak usah dikeluarkan. Karena kan yang golput tidak bisa dikatakan berdosa. Paling-paling, kita hanya bisa memberikan imbauan kalau masyarakat diwajibkan berpartisipasi untuk memikirkan nasib bangsa pada Pemilu nanti. Jadi, istilahnya imbauan saja, bukan fatwa,” kata Ketua MUI Amidhan.
Tiba-tiba saya teringat DR. Kuntowijoyo, pada 1998 ia pernah menulis Enam Alasan Tidak Mendirikan Parpol Islam. Secara sederhana, ke-6 alasan itu adalah:
1. Mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial vertikal ummat Islam yang selama periode a politik Ummat Islam telah menunjukkan tren menaik;
2. Disintegrasi umat yang diakibatkan fanatisme pada partai akibat diprovokasi para jurkam;
3. Umat menjadi miopis yang hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan berorientasi kekuasaan;
4. Pemiskinan perspektif dengan menuntun umat pada satu perspektif saja, yaitu perspektif partai;
5. Runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat, apabila sebelumnya kepemimpinan ummat bisa datang dari berbagai kelompok maka dengan berdirinya partai politik umat hanya akan mengakui pemimpin dari partai politiknya saja;
6. Alienasi di kalangan pemuda karena tercerabutnya mereka dari akar agama yang diakibatkan oleh berbedanya pandangannya dengan apa yang dialaminya.
Saya kira keenam poin di atas masih relevan dengan masa kiwari. Dan tentu saja, semua itu harus ditarik kembali dari pandangan-dunia Kuntowijoyo yang meracik konsep Ilmu Sosial Profetik. Berikut penjelasan a la Kuntowijoyo mengapa keinginan untuk fatwa mengharamkan golput adalah sebuah kemunduran:
1. Bertentangan dengan objektivikasi
salah satu gagasan terpenting Kunto. Objektivikasi (objectivication) berasal dari “objektif” yang berarti membuat sesuatu itu menjadi obyektif, the act of objectifying. Objektivasi artinya adalah menerjemahkan ajaran Islam (termasuk syariat) yang sudah terinternalisasi dalam diri seorang Muslim ke dalam kategori-kategori atau nilai-nilai yang objektif, sehingga ia terkesan tidak hanya milik umat Islam semata, tetapi juga milik semua orang dalam kerangka Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Suatu perbuatan disebut objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang di luar komunitas Islam sebagai sesuatu yang wajar dan bukan sebagai perbuatan keagamaan, walaupun berangkat dari semangat keislaman. Objektivikasi adalah jalan untuk membebaskan umat dari prasangka-prasangka subjektif birokrasi, umat sendiri dan juga non-umat; ia merupakan jalan tengah dari perdebatan panjang tentang negara Islam di satu pihak dan negara sekular di pihak lain. Dengan adanya ide fatwa anti-golput, maka targetnya jelas adalah calon pemilih Muslim saja, dan tentu terperosok dalam berbagai prasangka. Kalau, misalnya, PKS meminta KPU untuk kampanye anti golput, atau menganjurkan diri mereka dan partai (Islam) lain untuk menyebarkan ide anti-golput, tentu akan lain dampaknya.
2. Politik satu dimensi, agama banyak dimensi
Poin ini bagian dari “pemiskinan perspektif” dan “runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat”. Dengan konsentrasi di partai politik-- dengan upaya mempolitisir fatwa dan institusi agama semacam MUI—umat menjadi terfokus pada kepentingan politik. Akibatnya, apa pun niat baik dan perilaku mulia mereka (menolong korban bencana, bakti sosial) akan terlihat sebagai upaya politik dan bukan bagian dari syiar Islam yang murni.
3. Miopis
Akibat dari politik yang berdimensi tunggal, maka yang terjadi adalah myopic (kacamata kuda) kepentingan. Karena itu, apapun akan dilakukan untuk meraup sebanyak mungkin pemilih, termasuk fatwa. Dampaknya bisa cukup fatal, otomatis hal itu akan membatasi pemilih pada umat Islam, dan karenanya akan meruntuhkan konsep partai terbuka yang selama ini telah susah payah dibangun PKS. Kacamata kuda membuat pandangan menyempit hanya ke kepentingan politik dan parpol. Dampak lainnya adalah terbengkalainya atau dianaktirikannya dimensi lainnya, sebut saja seni budaya.
4. Dari ilmu kembali ke ideologi
Kuntowijoyo melakukan pemetaan atas sejarah umat Islam di negeri ini: mitos, ideologi, dan ilmu. Sekadar penyegaran, mitos adalah cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan keramat dan irrasional, dan terkait dengan legitimasi kekuasaan; contohnya Tjokroaminoto dari Syarikat Islam adalah Ratu Adil. Pada tahap ideologi, orang menyalurkan kepentingan secara kolektif lewat organisasi modern dan akhirnya parpol-parpol Islam. Kunto menyatakan bahwa saatnya untuk tahapan ketiga, yaitu ilmu. Caranya, dengan objektivikasi (poin pertama). Jika ideologi tertutup, maka ilmu bersikap terbuka. Sifat khas ideologi adalah subjektif dan mempunyai tujuan kolektif tertentu, da dan cenderung kaku menghadapi kenyataan. Sedangkan ilmu lebih obyektif, dan tujuannya menjadi “rahmat semesta alam”.
“Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” tulisnya. Tujuannya jelas: mencegah sekularisasi sekaligus dominasi satu kelompok agama atas kelompok lainnya, dan mencegah konflik dan debat kusir seputar idelogi dan bentuk Negara (Negara Islam, nasionalis, sekular, dll). Nah, dengan mengubah tahap “ideologi” menjadi “ilmu”, tidak perlu lagi sebuah fatwa yang sifatnya memaksa bahkan mengikat dan mengancam kelompok tertentu (jika seorang Muslim tidak dilaksanakan akan berdosa!). dengan menjadi ilmu, maka Islam (atau agama pada umumnya) tidak lagi berwujud identitas atau simbol (dengan kosakata semacam: MUI, fatwa, haram), tetapi ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif, dan konflik pun terhindarkan. Kalau pun ada parpol Islam atau agama lain, sifatnya tidak partisan karena nilai-nilai yang diperjuangkan sudah diterjemahkan (diobjektivikasi) hingga bisa dipahami dan diterima banyak orang. Dengan demikian, PKS atau parpol agama lainnya tidak terkesan egois dan hanya memperjuangkan kelompok Islam tertentu, tetapi juga seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan usulan fatwa haram golput, maka mereka tentu tak membidik pemilih yang berideologi selain Islam, karena fatwa macam itu tidak mempan bagi nasionalis atau sosialis (walau pun di KTP tertulis Islam).
5. Terkesan Mempolitisir Agama
Miopik tadi berakibat (dalam kesan orang luar, wallahua’lam niat sesungguhnya) anggapan PKS mempolitisir agama hanya untuk kepentingan sesaat. Hal-hal yang sifatnya mubah (memilih adalah hak warga negara) menjadi haram (memilih adalah kewajiban warga negara). Hal yang profan (mualamah; semuanya boleh kecuali yang diharamkan) menjadi sakral (ibadah dan diberi muatan “dosa jika tak dilakukan”; semua diharamkan kecuali yang diperintahkan). Hal ini tentu tidak menarik simpati bagi pemilih Muslim non-PKS apalagi yang jelas-jelas non-Muslim atau tidak berideologi Islam. Dalam al-Qur’an ditegaskan:” Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Golput adalah hal biasa. Robert P Clark, peneliti asal University George Mason, Amerika Serikat dalam penelitiannya menyampaikan bahwa di negara-negara berkembang yang telah mengembangkan demokrasi melalui pemilu seperti India, Tanzania, Nigeria, Meksiko, dan Brazil, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 64,5 persen. Bahkan di negara yang demokrasinya sudah maju seperti Amerika Serikat, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 40-50 persen saja (hupelita.com). Yang menarik, Direktur Center for Electoral Reform (Cetro) Jakarta, Haidar N Gumay, menyatakan, dari hasil survei yang dilakukan bulan September lalu 80% responden pemilih menyatakan akan ikut memilih Pemilu legislatif mendatang. ”Jadi gerakan Golput di Indonesia belum merupakan ancaman serius pada Pemilu legislatif 2009,” katanya pada Seminar Nasional Ancaman Golput Pemilu 2009 yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Pemprov Jateng di Vina House Semarang, Rabu (10/12) (Solopos.net). Nah!
Wallahua’lam bisshawab.
Alkisah, Hidayat Nurwahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gedung DPR menyatakan perlunya ada fatwa melarang golput bagi umat Islam pada Pemilu nanti. “Saya menyarankan agar dibuat fatwa antara MUI, NU dan Muhammadiyah untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ini perlu dilakukan karena banyak masyarakat yang sekarang apatis terhadap Pemilu nanti,” katanya. Mungkin sang ustadz baru mengevaluasi berbagai pilkada yang baru digelar. Untunglah, (ya, untunglah!) MUI lantas menolaknya. “Sebetulnya, fatwa mengharamkan golput tidak usah dikeluarkan. Karena kan yang golput tidak bisa dikatakan berdosa. Paling-paling, kita hanya bisa memberikan imbauan kalau masyarakat diwajibkan berpartisipasi untuk memikirkan nasib bangsa pada Pemilu nanti. Jadi, istilahnya imbauan saja, bukan fatwa,” kata Ketua MUI Amidhan.
Tiba-tiba saya teringat DR. Kuntowijoyo, pada 1998 ia pernah menulis Enam Alasan Tidak Mendirikan Parpol Islam. Secara sederhana, ke-6 alasan itu adalah:
1. Mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial vertikal ummat Islam yang selama periode a politik Ummat Islam telah menunjukkan tren menaik;
2. Disintegrasi umat yang diakibatkan fanatisme pada partai akibat diprovokasi para jurkam;
3. Umat menjadi miopis yang hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan berorientasi kekuasaan;
4. Pemiskinan perspektif dengan menuntun umat pada satu perspektif saja, yaitu perspektif partai;
5. Runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat, apabila sebelumnya kepemimpinan ummat bisa datang dari berbagai kelompok maka dengan berdirinya partai politik umat hanya akan mengakui pemimpin dari partai politiknya saja;
6. Alienasi di kalangan pemuda karena tercerabutnya mereka dari akar agama yang diakibatkan oleh berbedanya pandangannya dengan apa yang dialaminya.
Saya kira keenam poin di atas masih relevan dengan masa kiwari. Dan tentu saja, semua itu harus ditarik kembali dari pandangan-dunia Kuntowijoyo yang meracik konsep Ilmu Sosial Profetik. Berikut penjelasan a la Kuntowijoyo mengapa keinginan untuk fatwa mengharamkan golput adalah sebuah kemunduran:
1. Bertentangan dengan objektivikasi
salah satu gagasan terpenting Kunto. Objektivikasi (objectivication) berasal dari “objektif” yang berarti membuat sesuatu itu menjadi obyektif, the act of objectifying. Objektivasi artinya adalah menerjemahkan ajaran Islam (termasuk syariat) yang sudah terinternalisasi dalam diri seorang Muslim ke dalam kategori-kategori atau nilai-nilai yang objektif, sehingga ia terkesan tidak hanya milik umat Islam semata, tetapi juga milik semua orang dalam kerangka Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Suatu perbuatan disebut objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang di luar komunitas Islam sebagai sesuatu yang wajar dan bukan sebagai perbuatan keagamaan, walaupun berangkat dari semangat keislaman. Objektivikasi adalah jalan untuk membebaskan umat dari prasangka-prasangka subjektif birokrasi, umat sendiri dan juga non-umat; ia merupakan jalan tengah dari perdebatan panjang tentang negara Islam di satu pihak dan negara sekular di pihak lain. Dengan adanya ide fatwa anti-golput, maka targetnya jelas adalah calon pemilih Muslim saja, dan tentu terperosok dalam berbagai prasangka. Kalau, misalnya, PKS meminta KPU untuk kampanye anti golput, atau menganjurkan diri mereka dan partai (Islam) lain untuk menyebarkan ide anti-golput, tentu akan lain dampaknya.
2. Politik satu dimensi, agama banyak dimensi
Poin ini bagian dari “pemiskinan perspektif” dan “runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat”. Dengan konsentrasi di partai politik-- dengan upaya mempolitisir fatwa dan institusi agama semacam MUI—umat menjadi terfokus pada kepentingan politik. Akibatnya, apa pun niat baik dan perilaku mulia mereka (menolong korban bencana, bakti sosial) akan terlihat sebagai upaya politik dan bukan bagian dari syiar Islam yang murni.
3. Miopis
Akibat dari politik yang berdimensi tunggal, maka yang terjadi adalah myopic (kacamata kuda) kepentingan. Karena itu, apapun akan dilakukan untuk meraup sebanyak mungkin pemilih, termasuk fatwa. Dampaknya bisa cukup fatal, otomatis hal itu akan membatasi pemilih pada umat Islam, dan karenanya akan meruntuhkan konsep partai terbuka yang selama ini telah susah payah dibangun PKS. Kacamata kuda membuat pandangan menyempit hanya ke kepentingan politik dan parpol. Dampak lainnya adalah terbengkalainya atau dianaktirikannya dimensi lainnya, sebut saja seni budaya.
4. Dari ilmu kembali ke ideologi
Kuntowijoyo melakukan pemetaan atas sejarah umat Islam di negeri ini: mitos, ideologi, dan ilmu. Sekadar penyegaran, mitos adalah cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan keramat dan irrasional, dan terkait dengan legitimasi kekuasaan; contohnya Tjokroaminoto dari Syarikat Islam adalah Ratu Adil. Pada tahap ideologi, orang menyalurkan kepentingan secara kolektif lewat organisasi modern dan akhirnya parpol-parpol Islam. Kunto menyatakan bahwa saatnya untuk tahapan ketiga, yaitu ilmu. Caranya, dengan objektivikasi (poin pertama). Jika ideologi tertutup, maka ilmu bersikap terbuka. Sifat khas ideologi adalah subjektif dan mempunyai tujuan kolektif tertentu, da dan cenderung kaku menghadapi kenyataan. Sedangkan ilmu lebih obyektif, dan tujuannya menjadi “rahmat semesta alam”.
“Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” tulisnya. Tujuannya jelas: mencegah sekularisasi sekaligus dominasi satu kelompok agama atas kelompok lainnya, dan mencegah konflik dan debat kusir seputar idelogi dan bentuk Negara (Negara Islam, nasionalis, sekular, dll). Nah, dengan mengubah tahap “ideologi” menjadi “ilmu”, tidak perlu lagi sebuah fatwa yang sifatnya memaksa bahkan mengikat dan mengancam kelompok tertentu (jika seorang Muslim tidak dilaksanakan akan berdosa!). dengan menjadi ilmu, maka Islam (atau agama pada umumnya) tidak lagi berwujud identitas atau simbol (dengan kosakata semacam: MUI, fatwa, haram), tetapi ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif, dan konflik pun terhindarkan. Kalau pun ada parpol Islam atau agama lain, sifatnya tidak partisan karena nilai-nilai yang diperjuangkan sudah diterjemahkan (diobjektivikasi) hingga bisa dipahami dan diterima banyak orang. Dengan demikian, PKS atau parpol agama lainnya tidak terkesan egois dan hanya memperjuangkan kelompok Islam tertentu, tetapi juga seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan usulan fatwa haram golput, maka mereka tentu tak membidik pemilih yang berideologi selain Islam, karena fatwa macam itu tidak mempan bagi nasionalis atau sosialis (walau pun di KTP tertulis Islam).
5. Terkesan Mempolitisir Agama
Miopik tadi berakibat (dalam kesan orang luar, wallahua’lam niat sesungguhnya) anggapan PKS mempolitisir agama hanya untuk kepentingan sesaat. Hal-hal yang sifatnya mubah (memilih adalah hak warga negara) menjadi haram (memilih adalah kewajiban warga negara). Hal yang profan (mualamah; semuanya boleh kecuali yang diharamkan) menjadi sakral (ibadah dan diberi muatan “dosa jika tak dilakukan”; semua diharamkan kecuali yang diperintahkan). Hal ini tentu tidak menarik simpati bagi pemilih Muslim non-PKS apalagi yang jelas-jelas non-Muslim atau tidak berideologi Islam. Dalam al-Qur’an ditegaskan:” Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Golput adalah hal biasa. Robert P Clark, peneliti asal University George Mason, Amerika Serikat dalam penelitiannya menyampaikan bahwa di negara-negara berkembang yang telah mengembangkan demokrasi melalui pemilu seperti India, Tanzania, Nigeria, Meksiko, dan Brazil, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 64,5 persen. Bahkan di negara yang demokrasinya sudah maju seperti Amerika Serikat, tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai 40-50 persen saja (hupelita.com). Yang menarik, Direktur Center for Electoral Reform (Cetro) Jakarta, Haidar N Gumay, menyatakan, dari hasil survei yang dilakukan bulan September lalu 80% responden pemilih menyatakan akan ikut memilih Pemilu legislatif mendatang. ”Jadi gerakan Golput di Indonesia belum merupakan ancaman serius pada Pemilu legislatif 2009,” katanya pada Seminar Nasional Ancaman Golput Pemilu 2009 yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Pemprov Jateng di Vina House Semarang, Rabu (10/12) (Solopos.net). Nah!
Wallahua’lam bisshawab.