Sunday 3 January 2016

Zionisme Kuasai Hollywood?

Zionisme Kuasai Hollywood? Disember 13, 2007

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky
sumber: https://ummahonline.wordpress.com/2007/12/13/zionisme-kuasai-hollywood/#more-592

Moment Magazine terbitan Amerika pada edisi Ogos 1996 menulis headline: “Jews run Hollywood – So What.” Majalah itu memakai moto “The Jews Magazine for the 90’s”. Penulis laporan utamanya seorang Yahudi, Michael Medved.
Ia menulis: “It makes no sense at all to try to deny the reality of Jewish power and prominence in popular culture. Any list of the most influential production executives at each of the major movie studios will produce a heavy majority of recognizably Jewish names.” Lantas, Medved menguraikan nama-nama Yahudi seperti Michael Eisner (Pemimpin Walt Disney Studio) yang “hanya memakai Yahudi kelas tinggi seperti Jeffrey Katzenberg, Michael Ovitz, Joe Roth (former head of 20th Century Fox). Ada juga Rupert Murdoch.
Di tahun yang sama, Marlon Branto protes terhadap Larry King Show 5 April 1996, yang menyatakan bahawa “Hollywood is run by Jews – it is owned by Jews!”. Akibatnya, ia dituduh Anti-Semit dan dipaksa untuk minta maaf kepada kaum zionisme itu di Simon Wiesenthal Holocaust Tourist Center, Los Angeles.
Kita juga dibeberkan fakta bahawa pemilik studio besar di Hollywood, termasuk Miramax, adalah kaum Yahudi. Bahkan pendiri Hollywood sendiri adalah Yahudi. Tepatnya: Gerakan Zionisme. Beberapa pekan lalu, hadir pula buku Zion Hollywoodisme, Membongkar Industri Perfileman Amerika, keluaran Penerbit Citra. Penulisnya, Dr Majid Shafa Taj, penganalisis politik asal Iran dan penulis buku The Adventures of “Holocaust”. Setebal, 90 halaman, Majid mengulas dengan dalam soal pengaruh Zionisme dalam industri perfileman terbesar itu.
Setidaknya, Zionisme hadir dalam beberapa cara:
1. Isi ataucerita di filem. Misalnya mengambil simpati dunia lewat tragedi Holocaust. Contoh: Life is Beautiful, The Pianist, dan Schindler’s list. Atau sejak dulu mitos “kaum sengsara” sudah ada, menurut Majid, sejak Walt Disney merilis karakter Mickey Mouse, lantas Tom and Jerry, hingga Home Alone dan Lion King. Juga dalam pemujaan syaitan dan konsep akhir dunia dan pemimpin akhir seperti tertuang dalam Matrix.
2. Penguasaan media, demi pembentukan pandangan dunia. Caranya, dengan menduduki posisi-posisi penting. Misalnya, hadirnya tokoh Rupert Murdoch, Steven Spielberg, Woody Allen, Marilyn Monroe, Tim Burton, Robert Redford, dan masih banyak lagi.
3. Penyaluran dana untuk gerakan rasis Zionisme untiuk mendirikan Negara Israel yang secara rasmi ditolak oleh Pemerintahan Indonesia hingga kini.
Sebagai contoh: Dukungan Chase Manhattan Bank berupa pinjaman lunak $3 billion kepada perusahaan milik Spielberg. Pada 1995, komuniti zionis AS merilis pernyataan yang berisi himbauan kepada seluruh perusahaan Yahudi untuk mendukung Spielberg secara spiritual maupun ekonomi, dalam usahanya merealisasikan tujuan kaum Yahudi. Besarnya dukungan yang diperoleh Spielberg, membuatnya dinobatkan sebagai seniman Hollywood terkaya masa itu.
Setelah Schindler’s List meraih sukse besar, para tokoh zionis membentuk Jawatankuasa Tertinggi Pawangan yang tugasnya memproduksi filem-filem propaganda. Jawatankuasa itu diketuai langsung oleh mantan Presiden Israel saat itu, Ezer Weizman. Anggotanya adalah PM Israel, sejumlah pejabat tinggi Mossad, para pemilik saham perusahaan Cannon dan ATV dan Spielberg. Jawatankuasa ini akan menentukan artis Hollywood yang diperbolehkan ikut serta dalam festival tayangan apapun. Komisi itu juga akan mencegah keikutsertaan para artis penentang dasar Israel dalam festival monumental tayangan apapun. Banyak artis yang menjadi korban kesewenang-wenangan komisi ini, termasuk di antaranya Kevin Costner, Alain Delon, Jean Paul Belmondo, Marlon Brando, dan Isabelle Adjani. Bahkan anugerah yang diraih Adjani di Festival Cannes 1994 ditarik balik dan diserahkan kepada orang lain “hanya” kerana ia tak mahu menyangkal bahawa ia keturunan Arab. Dan jauh sebelumnya Charlie Chaplin pun terpaksa hijrah ke Eropah kerana dituduh komunis, kerana tak mahu tetap pada garis Zionisme, iaitu memainkan karakter orang nelangsa.
Dominasi
Konglomerat media terbesar saat ini adalah Walt Disney Company, di mana pimpinan eksekutifnya, Michael Eisner seorang Yahudi. Disney ini diketuai oleh seseorang yang oleh salah satu penganalisis media disebutkan sebagai “tukang kawal”, termasuk beberapa perusahaan produksi televisyen (Walt Disney Television, Touchstone Television, Buena Vista Television), jaringan televisyen kabelnya, termasuk di Indonesia, meliputi 14 juta pelanggan, dan dua perusahaan yang memproduksi video.
Dalam hal produksi filem, The Walt Disney Pictures Group yang dikepalai oleh Joe Roth (juga seorang Yahudi), meliputi Touchstone Pictures, Hollywood Pictures, dan Caravan Pictures. Disney juga menguasai Miramax Filems yang dipimpin oleh Weinstein bersaudara, orang Yahudi. Ketika Disney Company masih dipimpin oleh orang-orang bukan-Yahudi sebelum diambil alih oleh Eisner pada 948, filem-filemnya lebih mengedepankan hiburan keluarga yang sihat. Meskipun masih memegang hak-cipta atas filem-filem semacam Snow White, tetapi di bawah Eisner filem-filem Disney memperluas produksinya pada filem-filem kekerasan dan seks bebas. Sebagai tambahan terhadap televisyen dan filem, perusahaan itu menguasai juga Disneyland, Disney World, Epcot Center, Tokyo Disneyland, dan Euro Disney.
Dua perusahaan produksi filem terbesar di dunia, MCA dan Universal Pictures, keduanya dimiliki oleh satu perusahaan, Seagram Co. Ltd. Pemilik Seagram adalah juga raksasa menghasilkan minuman keras, Edgar Bronman, yang menduduki jabatan sebagai ketua “World Jewish Congress” (Konggres Yahudi Sedunia). Perusahaan yang pernah merajai dunia perfileman seperti Melvyn, Goodwyn, Meyer (MGM), yang diambil dari nama tiga-serangkai Yahudi. Meski tidak sebesar MCA, Universal atau MGM, tetapi perusahaan filem ‘Dreamworks’ yang dikuasai oleh David Geffen, Steven Spielberg, dan Jeffry Killwnberg, dikenal dengan filem-filem mereka yang menggunakan ‘kesan teknik’ yang memukau para penggemarnya di seluruh dunia.
Tokoh-tokohnya pun tidak sembarangan. Di antaranya Stuart Bloomberg (Kepala Divisi Hiburan ABC), Peter Chernin dan Barry Diller (CEO 20th Century Fox), Martin S Davis (CEO Paramount), Victor Kaufman (CEO Columbia Pictures).
Namun, mengutip laporan majalah MomentSo What?
Fungsi Filem
Filem adalah kesenian ketujuh, merangkumi seluruh kesenian lainnya, ditambah teknologi. Ia juga adalah sebuah media ekspresi, penyampai pesan. Ia juga mampu menjadi rakaman sosial, yang menangkap jiwa zaman masyarakatnya, atau sebagai cermin. Pendek kata, banyak sekali fungsi dan guna filem.
Dalam Dasar Penghasilan Filem dan Drama Indonesia (1995) dijelaskan bahawa filem mempunyai fungsi yang amat mulia. “Filem dan drama televisyen bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membinanation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.”
Dari awal, secara sadar filem sudah digunakan sebagai propaganda. Usmar Ismail sejak awal menyatakan “bahaya”nya filem Hollywood (saat itu belum begitu dikenal Zionisme, tapi “pengaruh buruk propaganda Barat”). Bahkan lebih menyeramkan daripada filem-filem Soviet Union. “…filem adalah alat yang ampuh sekali di tangan orang yang mempergunakannya secara efektif untuk sesuatu maksud terutama sekali terhadap rakyat banyak yang memang lebih banyak bicara dengna hati daripada dengan akal. Itulah rahasia kejayaan sebuah filem yang sanggup mendobrak pertahanan akal dan langsung bicara ke dalam hati sanubari penonton dengan secara meyakinkan, khusususnya itulah rahsia kejayaan filem Hollywood” tulis Usmar dalam Filem dan Revolusi Indonesia. Bahkan lebih menyeramkan daripada filem-filem Soviet Union. “Pada hakikatnya kedua-duanya adalah propaganda tentang kehebatan masing-masing, tetapi orang-orang di Hollywood lebih mengerti tentang jiwa penontonnya daripada di Mosfilem”, imbuh Usmar.
Usmar Ismail pun mengetengahkan dua jenis pendekatan ini kepada Presiden Soekarno. “Jalan apa sebaiknya yang harus ditempuh oleh filem Indonesia dalam mengabdikan diri kepada Revolusi?”Bung Karno lantas memberikan jalan tengah: Neo Realisme Itali (yang kini diadopsi oleh para sutradara Iran). Dari dialog Usmar dengan Bung Karno itu, menjelaskan bahawa kedua setuju ada nilai-nilai yang disusupkan pada filem-filem popular itu.
Bahkan seorang Pramoedya Ananta Toer pun merasakan hal yang sama. “Kalau kawan-kawan punya waktu, masukilah kamar-kamar pemuda-pemudi borjuis kita. Dinding-dinding kamarnja penuhlah dengan dewa-dewi tjinta dari Amerika Serikat. Dan pemuda atau pemudi ini setiap kali memetik gitar sambil memandangi gambar-gambar itu. Tampak tidak sesuatu pun jang terdjadi. Tetapi sesuatu telah terdjadi, jaitu: djiwa pemuda atau pemudi itu sambil memetik gitar melakukan pertjabulan dengan gambar-gambar bintang-bintang filem itu”, ujarnya dalam pidato berjudul “Kenapa Kebudajaan Imperialis Amerika Serikat jang Harus Didjebol?” sewaktu acara penutupan Sidang Pleno Lekra di Palembang dimuat Harian Rakjat, Minggu, 15 Mac 1964.
Tapi, tiba-tiba saya teringat dengan seorang ustadh di pertengahan 1990an, saat Perang Balkan sedang marak, dan Bosnia sedang diperangi habis-habisan. “Jangan salahkan Serbia. Itu memang tugas mereka menghabiskan etnik Muslim Bosnia. Salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita mendiamkan saudara-saudara kita di Bosnia dibantai?”
Saya mengambil pernyataan sang ustadh untuk tidak ambil pusing (bahkan membesar-besarkan) bahawa segala keburukan dan kejahatan adalah berpunca dari Zionisme Antarabangsa. Mungkin saja benar. So what?
Sebaiknya, kita mulai merenung, adakah yang salah dengan diri kita, baik sebagai Muslim atau bangsa Indonesia? Mengapa kita kalah dari sebuah kaum yang minoriti itu? Setidaknya, ada dua hal:
Pertama, kritik filem. Kritik filem yang baik berguna untuk membongkar mitos-mitos seperti ini. Salah satunya adalah buku Zion Hollywoodisme ini. Misal lainnnya, bagaimana The Pianist dari Roman Polanski yang mengambil latar Poland, padahal faktanya tak ada seorang Poland pun yang menjadi korban perang saat itu, tapi mengetahui dan menyedari saja tidak cukup.
Harus adalah langkah konkrit. Tidak cukup kita ketakutan dan menunjuk Zionisme atau Yahudi sebagai biang keladi segala kebobrokan moral seperti dadah, seks bebas, dan banyak lagi. Kalau pertahanan iman seseorang sudah kuat, tentu informasi apa pun dari luar akan tersaring dengan baik.
Kedua, kesedaran untuk “menguasai” media. Jangankan filem yang dianggap hanya sebagai hiburan sambil lalu dan sama sekali tidak dianggap sebagai “media dakwah” (bukan sekadar anak tiri, tapi anak yang dibuang), berapa banyak akhbar, majalah, radio, stesen televisyen, yang boleh menjadi “corong” umat?
Ketiga, melawan karya dengan karya. Harus ada alternatif filem yang “sihat” yang menjadi budaya-tanding. Dan kualitinya harus menyaingi Hollywood, baik dari segi cerita, estetika, profesionaliti dll. Iran telah melakukannya, dan terbukti menang di berbagai festival antarabangsa dan juga laris di dalam negaranya juga. Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak sekali cerita yang harus diangkat. Tapi mana? Kalau idealis, mungkin harus diangkat tragedi Hebron atau Shabra-Shatilla, atau Intifadha. Tapi, kalau mencuba realisti, gali saja cerita dalam negara. Dari berbagai bencana alam, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir lumpur, hampir-hampir tidak ada yang mengangkatnya. Dari tragedi umat Islam, seperti peristiwa Tanjung Priok, atau berbagai kerusuhan, juga tidak ada.
Jadi salah siapa? Zionisme telah melakukan tugasnya, merealisasikan Protocol of Zionnya, dengan baik sekali. Baik kita percaya atau tidak dengan teori konspirasi, mereka terus berkerja keras. Bagaimana dengan kita?

No comments:

Post a Comment