Friday, 1 January 2016

Sang Murabbi: Mozaik Kehidupan Sang Guru

Resensi: Sang Murabbi
Mozaik Kehidupan Sang Guru
Oleh: Ekky Imanjaya
Akhirnya, inilah film yang merepresentasikan tarbiyah, sebuah gerakan dakwah yang jadi cikal Partai  Keadilan Sejahtera (PKS). Tak tanggung-tanggung, Sang Murabbi, demikian judulnya, mengusung genre biopic (film biografi) jalan yang jarang diambil pembuat film Indonesia.
Sang tokoh adalah ustadz Rahmat Abdullah, yang oleh banyak orang dinilai masuk kriteria  ucapan Ali  bin Abi Thalib, “sebaik-baik orang, apabila orang melihatnya, akan mengingatkan pada Allah”. Kalimat itu disitir Tifatul Sembiring, Presiden PKS, di akhir film. Lewat jalan hidup Rahmat Abdullah, penonton diajak menapaktilasi jalan dakwah jalur tarbiyah, dari usaha retasan pada 1980-an, terbentuknya partai, hingga wafatnya pada 15 Juni 2005.
Ada niat untuk mengangkat keteladanan sang ustadz (diperankan Sutan Reinaldy), dan keharuan segera menyeruak saat melihat beberapa adegan penuh hikmah. Identifikasi diri dan proyeksi penonton pada sang karakter menimbulkan rasa simpati yang membuat penonton hanyut dalam  perilaku dan untaian kata penuh hikmah. Khususnya, bagi para aktivis dakwah model tarbiyah. Bagi yang sempat kenal dengan sang ustadz, mafhum belaka gaya bicara sang ustadz sehari-hari, yang penuh metafor, perumpamaan, dan nasihat, walau sering tak kekurangan humor juga.
Misalnya, saat menerima keluhan salah seorang muridnya, yang risau melihat semangat mengaji kader PKS turun dan lebih sibuk “berpolitik”. Kata ustadz Rahmat, monyet yang sedang naik pohon dan kena angin kencang akan memegang kuat-kuat pohonnya, supaya tak jatuh. Tapi, cobalah kena angin sepoi-sepoi sejuk, mengantuklah si monyet, dan lepaslah pegangannya, jatuh dari pohon. Atau ketika istrinya (Astri Ivo) melaporkan tak ada lagi persediaan beras dan ustadz sedang tak punya uang. Ustadz, dengan gaya khas betawinya, menenangkan si istri: “Kalau sumur kering, berarti sebentar lagi hujan.”
Sayang, penyutradaraan dan skenario tidak begitu lihai dalam hal pacing atau birama cerita. Banyak scene yang kendor di tengah-tengah sehingga emosi penonton tidak terus menerus dibingkai dan digiring, sehingga berjarak. Sebenarnya, jarak adalah salah satu syarat untuk membuat film politik penuh kritik a la Brechtian yang dingin. Memang, kritik serta otokritik juga hadir di sana sini, khususnya lekat pada karakter yang diperankan Neno Warisman. Ia dengan dramatis memberi monolog otokritik tentang peran para abi. “Bukankah syeikh al-Banna sekali pun menyiapkan makan pagi buat anak-anaknya?”
Atau, ini yang menarik, soal aktivis dakwah yang menjadi anggota parlemen. “Apa yang membuat dunia ini lebih menarik dari dakwah itu sendiri? Apakah ini yang dikehendaki perjuangan ini?” jerit sang tokoh, menangisi para aktivis dakwah yang dikalahkan oleh jabatan dan harta. Adegan akhir memperlihatkan selembar foto mobil mewah dibuang ke tong sampah dan dibakar, sebuah simbol keberpihakan.  Sebenarnya, membaca subjudulnya, “mencari spirit yang hilang”, penonton sudah disiapkan untuk soal otokritik ini.
Tapi, kritikan di film ini masih setengah hati. Mungkin ini karena masih banyak hal yang terasa tak diungkapkan.  Misalnya, tidak begitu dijelaskan alasan dan momen Ustadz Rahmat bergerak dalam harakah, juga mengapa memilih metode amniah (gerakan rahasia, bawah tanah). Tak tergambar pula dengan gesekan politik dengan rezim Orde Baru. “Tragedi Berdarah Tanjung Priok”, yang sepertinya berpengaruh besar pada dakwah ustadz dan kawan-kawan, juga dikisahkan sambil lalu.
“Mengapa yang itu yang ditonjolkan, dan bukan yang ini?” ungkap beberapa penonton. Pertanyaan wajar, sebagaimana Adam Malik memrotes Max Havelaar karya Frons Rademaker dengan alasan “saya kenal asisten residen Lebak, dan dia tidak seperti itu!”  Tapi, itulah pilihan sutradara dan penulis skenario untuk memilih beberapa realita sebagai representasi Sang Murabbi. Bagaimana pun, film fiktif, walau diangkat dari kisah nyata, adalah rekonstruksi. Pilihan itu prerogatif dan otonom. Sebagaimana para penonton secara otonom juga berhak menafsirkannya.
Ada upaya mendekatkan diri ke genre realisme. Misalnya dengan mengambil beberapa elemen neorealisme, seperti penggunaan aktor non-profesional yang sebagian besar keseharian mereka tidak jauh dari cerita nyata sang ustadz. Bahkan sosok seperti Mabruri dan Muhammad Yulius bermain sebagai diri mereka sendiri, sebagai jurnalis majalah Islami. Belum lagi beberapa foto dan footages dokumenter, dan testimoni para petingi partai.
Di beberapa adegan, kamera sengaja mengambil pantulan cermin, sebagai simbol bahwa film ini cermin realitas. Tapi, sekali lagi,  film adalah representasi, rekonstruksi kreasi dan seleksi sang pembuat film.  Bahkan, terkesan bahwa film karya Zul Ardhia itu hanya mozaik-mozaik kehidupan belaka. Setiap menit tertentu ada stop motion, lantas fade out. Memang tak mudah membuat sinema biografis seorang tokoh yang menggambarkan secara utuh kepribadiannya.
Setidaknya, sudah ada usaha kongkret dari gerakan tarbiyah untuk wilayah budaya pop macam begini. Mereka tidak lagi sibuk menjadi hakim yang sedikit-sedikit “Prit Halal! Prit haram!” dan berkutat pada soal fikih atau pembuatan film yang “syar’i” (“sesuai syariah”), daripada berjibaku soal skenario atau urusan estetika dan sinematografi.
Film ini bukan sekadar ajang kangenan, seperti pernyataan dalam dialog beberapa karakter di sana,  tapi sebuah optimisme bahwa membangun sosok inspiratif seperti KH Rahmat Abdullah bukan sesuatu yang mustahil di negeri ini. Sebuah sosok yang bijak, bersih, tegas, idealis, sekaligus jenaka a la orang Betawi.  Sekaligus, film ini, menyitir tagline-nya, sedang mencari spirit panutan yang hilang –atau paling tidak, ketelingsut entah di mana.
Hilang, tapi bukan tidak mungkin ditemukan dan dibentuk lagi. Syaratnya, seperti yang diulang-ulang sang ustadz: Shobron ‘ala shobron, sabar di atas sabar.***
Penulis adalah redaktur rumahfilm.org.
Judul: Sang Murabbi
Pemain: Sutan Reinaldy, Astrie Ivo, Aty Cancer, Neno Warisman, Jerrio Jeffry, Benny Riswandi
Sutradara: Zul Ardhia
Produksi: Majelis Budaya Rakyat. 2008
Penata  musik : Embie C. Noer

Skenario: Imank Chia, Zul,  Muhammad Yulius

No comments:

Post a Comment