Resensi: Sang Murabbi
Mozaik Kehidupan Sang Guru
Oleh: Ekky Imanjaya
Akhirnya, inilah film yang merepresentasikan tarbiyah,
sebuah gerakan dakwah yang jadi cikal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tak
tanggung-tanggung, Sang Murabbi, demikian judulnya, mengusung genre biopic
(film biografi) jalan yang jarang diambil pembuat film Indonesia.
Sang tokoh adalah ustadz Rahmat Abdullah, yang oleh
banyak orang dinilai masuk kriteria ucapan Ali bin Abi Thalib, “sebaik-baik orang, apabila
orang melihatnya, akan mengingatkan pada Allah”. Kalimat itu disitir Tifatul Sembiring,
Presiden PKS, di akhir film. Lewat jalan hidup Rahmat Abdullah, penonton diajak
menapaktilasi jalan dakwah jalur tarbiyah, dari usaha retasan pada 1980-an,
terbentuknya partai, hingga wafatnya pada 15 Juni 2005.
Ada niat untuk mengangkat keteladanan sang ustadz
(diperankan Sutan Reinaldy), dan keharuan segera menyeruak saat melihat beberapa
adegan penuh hikmah. Identifikasi diri dan proyeksi penonton pada sang karakter
menimbulkan rasa simpati yang membuat penonton hanyut dalam perilaku dan untaian kata penuh hikmah.
Khususnya, bagi para aktivis dakwah model tarbiyah. Bagi yang sempat
kenal dengan sang ustadz, mafhum belaka gaya bicara sang ustadz sehari-hari,
yang penuh metafor, perumpamaan, dan nasihat, walau sering tak kekurangan humor
juga.
Misalnya, saat menerima keluhan salah seorang muridnya,
yang risau melihat semangat mengaji kader PKS turun dan lebih sibuk
“berpolitik”. Kata ustadz Rahmat, monyet yang sedang naik pohon dan kena angin
kencang akan memegang kuat-kuat pohonnya, supaya tak jatuh. Tapi, cobalah kena
angin sepoi-sepoi sejuk, mengantuklah si monyet, dan lepaslah pegangannya,
jatuh dari pohon. Atau ketika istrinya (Astri Ivo) melaporkan tak ada lagi
persediaan beras dan ustadz sedang tak punya uang. Ustadz, dengan gaya khas
betawinya, menenangkan si istri: “Kalau sumur kering, berarti sebentar lagi
hujan.”
Sayang, penyutradaraan dan skenario tidak begitu lihai
dalam hal pacing atau birama cerita. Banyak scene yang kendor di
tengah-tengah sehingga emosi penonton tidak terus menerus dibingkai dan digiring,
sehingga berjarak. Sebenarnya, jarak adalah salah satu syarat untuk membuat
film politik penuh kritik a la Brechtian yang dingin. Memang, kritik serta
otokritik juga hadir di sana sini, khususnya lekat pada karakter yang
diperankan Neno Warisman. Ia dengan dramatis memberi monolog otokritik tentang
peran para abi. “Bukankah syeikh al-Banna sekali pun menyiapkan makan
pagi buat anak-anaknya?”
Atau, ini yang menarik, soal aktivis dakwah yang menjadi
anggota parlemen. “Apa yang membuat dunia ini lebih menarik dari dakwah itu
sendiri? Apakah ini yang dikehendaki perjuangan ini?” jerit sang tokoh,
menangisi para aktivis dakwah yang dikalahkan oleh jabatan dan harta. Adegan
akhir memperlihatkan selembar foto mobil mewah dibuang ke tong sampah dan
dibakar, sebuah simbol keberpihakan. Sebenarnya, membaca subjudulnya, “mencari
spirit yang hilang”, penonton sudah disiapkan untuk soal otokritik ini.
Tapi, kritikan di film ini masih setengah hati. Mungkin
ini karena masih banyak hal yang terasa tak diungkapkan. Misalnya, tidak begitu dijelaskan alasan dan
momen Ustadz Rahmat bergerak dalam harakah, juga mengapa memilih metode amniah
(gerakan rahasia, bawah tanah). Tak tergambar pula dengan gesekan politik
dengan rezim Orde Baru. “Tragedi Berdarah Tanjung Priok”, yang sepertinya
berpengaruh besar pada dakwah ustadz dan kawan-kawan, juga dikisahkan sambil
lalu.
“Mengapa yang itu yang ditonjolkan, dan bukan yang ini?”
ungkap beberapa penonton. Pertanyaan wajar, sebagaimana Adam Malik memrotes Max
Havelaar karya Frons Rademaker dengan alasan “saya kenal asisten residen
Lebak, dan dia tidak seperti itu!” Tapi,
itulah pilihan sutradara dan penulis skenario untuk memilih beberapa realita
sebagai representasi Sang Murabbi. Bagaimana pun, film fiktif, walau
diangkat dari kisah nyata, adalah rekonstruksi. Pilihan itu prerogatif dan
otonom. Sebagaimana para penonton secara otonom juga berhak menafsirkannya.
Ada upaya mendekatkan diri ke genre realisme. Misalnya
dengan mengambil beberapa elemen neorealisme, seperti penggunaan aktor
non-profesional yang sebagian besar keseharian mereka tidak jauh dari cerita
nyata sang ustadz. Bahkan sosok seperti Mabruri dan Muhammad Yulius bermain
sebagai diri mereka sendiri, sebagai jurnalis majalah Islami. Belum lagi
beberapa foto dan footages dokumenter, dan testimoni para petingi
partai.
Di beberapa adegan, kamera sengaja mengambil pantulan
cermin, sebagai simbol bahwa film ini cermin realitas. Tapi, sekali lagi, film adalah representasi, rekonstruksi kreasi
dan seleksi sang pembuat film. Bahkan,
terkesan bahwa film karya Zul Ardhia itu hanya mozaik-mozaik kehidupan belaka.
Setiap menit tertentu ada stop motion, lantas fade out. Memang
tak mudah membuat sinema biografis seorang tokoh yang menggambarkan secara utuh
kepribadiannya.
Setidaknya, sudah ada usaha kongkret dari gerakan tarbiyah
untuk wilayah budaya pop macam begini. Mereka tidak lagi sibuk menjadi hakim
yang sedikit-sedikit “Prit Halal! Prit haram!” dan berkutat pada soal fikih
atau pembuatan film yang “syar’i” (“sesuai syariah”), daripada berjibaku
soal skenario atau urusan estetika dan sinematografi.
Film ini bukan sekadar ajang kangenan, seperti pernyataan
dalam dialog beberapa karakter di sana, tapi sebuah optimisme bahwa membangun sosok inspiratif
seperti KH Rahmat Abdullah bukan sesuatu yang mustahil di negeri ini. Sebuah
sosok yang bijak, bersih, tegas, idealis, sekaligus jenaka a la orang Betawi. Sekaligus, film ini, menyitir tagline-nya,
sedang mencari spirit panutan yang hilang –atau paling tidak, ketelingsut
entah di mana.
Hilang, tapi bukan tidak mungkin ditemukan dan dibentuk
lagi. Syaratnya, seperti yang diulang-ulang sang ustadz: Shobron ‘ala
shobron, sabar di atas sabar.***
Penulis adalah redaktur rumahfilm.org.
Judul: Sang
Murabbi
Pemain: Sutan
Reinaldy, Astrie Ivo, Aty Cancer, Neno Warisman, Jerrio Jeffry, Benny Riswandi
Sutradara: Zul
Ardhia
Produksi: Majelis
Budaya Rakyat. 2008
Penata musik : Embie C. Noer
Skenario:
Imank Chia, Zul, Muhammad Yulius
No comments:
Post a Comment