Saya dan Yasmin Ahmad
Oleh Ekky Imanjaya
Malaysia terasa berbeda tanpa Yasmin
Ahmad. Tentu banyak orang berpikir saya lebai alias berlebihan. Tapi tidak bagi
saya. Terakhir kali saya ke Kuala Lumpur, pertengahan 2009, seharusnya saya
bertemu dengan Kak Min, panggilan akrabnya, untuk menjajagi kemungkinan
film-filmnya (khususnya Muallaf dan Talentime) diputar di Jakarta
International Film Festival (JIFFEST) dan/atau Festival Film Madani. Tetapi,
apa daya, pada 25 Juli, Yasmin telah berpulang, dan pertemuan itu tak pernah
terjadi.
Mengapa saya merasakan perbedaan ini?
Saya ke Malaysia sudah empat kali, dan semuanya ada hubungannya dengan Kak Min.
Kali pertama, 2006, adalah untuk tugas peliputan. Secara tak sengaja, saya
berjalan ke sebuah bioskop di belakang hotel tempat saya menginap, Palace of Golden
Horses, dan menemukan namanya di bawah judul film Gubra (Cemas). Nama itu pernah saya dengar samar-samar sewaktu Layarperak.com
membuat Kine28, dipimpin Farishad “Echa” Latjuba, dan memutar Sepet, 21 Mei 2005—tapi saya tak sempat
menontonnya. Menonton Gubra, saya
langsung jatuh hati pada cerita yang kuat dan cara bertutur yang mengesankan. Tidak hanya bicara soal kisah perselingkuhan,
tetapi—sebagaimana film Yasmin lainnya—tentang memaafkan. Juga ada dialog
tentang lagu berbahasa Melayu dan Mandarin: “Kalau lagu di negeri ini Cuma
berbahasa Malaysia, lebih baik saya pindah sajalah…”. Walau tak ada terjemahan
bahasa Inggris, saya tetap bisa mengikuti dan secara emosional larut ke dalam
cerita.
Esoknya, langsung saya cari DVD Sepet.
Begitu tiba di Jakarta, sebagaimana layaknya seorang fans, saya cari tahu tentang Yasmin, dan
saya menemukan blognya http://yasminthestoryteller.blogspot.com
. lantas, saya coba untuk mengontaknya.
Ajaib, dia merespons dan bahkan kami bertukar nomor telepon.
Kali kedua, Agustus 2007, sewaktu
transit menuju Amsterdam dan menyambangi istri. Saya sms dia, dengan harapan akan bertemu
dengannya untuk sesi wawancara RumahFilm . Awalnya, di hari-hari pertama, tidak ada jawaban. Begitu beberapa hari pesawat
saya mau lepas landas, ada sms masuk:
“Mau nonton wayang?”. Ah, dari
Yasmin!
Saya bingung? Maksudnya menonton di
bioskop? Film apa?
“Film gue!” terlihat sms masuk. Ah,
yang dimaksud adalah Muallaf!
Merasa perlu mengisi “amunisi”,
saya pun menonton DVD Mukhsin, film
yang sudah lama saya simpan namun tak sempat tertonton. Di sebuah hotel, di
Bukit Bintang, saya meneteskan air mata haru, walau hanya menonton di laptop
dengan teknologi seadanya itu. (Kelak, saya beberapa kali menontonnya, dan
selalu merasakan keharuan, khususnya saat momen Ne Me Quitte Pas http://old.rumahfilm.org/esai/esai_orked.htm). Setelah
itu, saya dan istri pun bergegas menuju ke kantornya,Leo Burnett.Di sana, hanya
ada beberapa orang yang hadir. Dan, saya pun menikmati Muallaf yang mengharukan dan iklan Percintaan Tan Ho Ming yang jenaka dan menang berbagai penghargaan
itu. Dan saya pun mewawancarainya, cukup panjang—plus minta tanda tangan.
Pertemuan berikutnya: Berlinale
2008. Yasmin hadir sebagai juri sesi
film anak. Saya hadir meliput. Saya pun kontak dan kami sepakat untuk minum
kopi di Zoopalast. Dialah yang mengambil
inisiatif bertemu, di tengah padatnya
waktu penjurian. Saya tak menyangka, itulah perjumpaan saya terakhir secara
fisik dengannya.
Pada akhir Agustus 2008, saya
pulang dari negeri Belanda, dan mampir sebentar ke Kuala Lumpur. Karena
miskomunikasi, saya tidak bisa bertemu dengan kak Min. saya menyangka restoran tempat pertemuannya
ada di Bukit Bintang, ternyata ada di luar kota. Awal September itu, beberapa
saat sebelum saya pulang ke Jakarta, tak disangka, Yasmin menyempatkan diri
menelpon saya. Saat itulah saya menawarkan untuk membawa Muallaf, film yang saya tonton setahun sebelumnya dan belum juga diputar di bioskop komersil
Malaysia, ke Festival Film Madani (http://old.rumahfilm.org/kabar/kabar_madani2009.htm)
. Selebihnya, hanya lewat email untuk “merayu” Kak Min membawa film-filmnya ke
Jakarta. “Saya harap kamu bisa menonton Talentime. It is culturally colorful!” ungkapnya penuh kebanggaan. Saya pun
meminta film itu untuk diboyong ke Jakarta, tapi waktu itu belum ada
kesepakatan.
Kali terakhir saya hadir di Kuala
Lumpur adalah pertengahan Agustus 2009, saat menghadiri konvokesyen alias wisuda istri saya. Kali itu tak ada Yasmin. Saya
berhasil mengontak Amir Muhammad untuk menemani ke Chow Kit, mencari dua film
Usmar Ismail produksi negeri jiran, Korban
Fitnah dan Bajangan di Waktu Fajar.
Sepanjang perjalanan, Amir bercerita banyak hal, termasuk tentang hari-hari
terakhir Yasmin. “Waktu dia meninggal, saya tidak di sampingnya, karena
sebelumnya sudah membesuk. Yuhang yang ada di sana…” terangnya. Ah, banyak
sekali orang yang saying pada Kak Min, rupanya. Tak lupa, Amir mengajak saya
menyusuri sungai, melihat seni grafis jalanan tentang Yasmin dengan tulisan: “We, Anak-Anak Malaysia, will miss you dearly”. Tapi saat itu,
kami belum berhasil menemukannya.
Dan, ah, ternyata Talentime diputar lagi, atas permintaan
banyak orang. Di televisi, ada iklan soal ini. Duka masih menyelimuti Malaysia
walau sebulan sudah Kak Min wafat. Dikompori Amir—yang berjanji akan mengantar
saya pulang--saya nekad menonton Talentime
menjelang tengah malam, padahal besok subuh harus bangun untuk wisuda istri—tujuan
utama saya ke negeri ini. Untunglah saya bisa bangun pagi dan semuanya berjalan
sesuai rencana.
Talentime,
film terakhirnya itu, makin mempertegas representasi keluarga yang dianggap
disfungsi, tapi justru menjadi keluarga yang paling normal di lingkungannya.
Lihat saja, sang nenek adalah “orang putih” alias bule seratus persen!
Dan tibalah tanggal itu: 25 Juli.
Beberapa hari sebelumnya, saya membaca
berita bahwa dirinya tak sadarkan diri saat rapat di TV3. Dan belakangan,
dirinya sudah membaik. Tapi, tiba-tiba, hari itu, Joko Anwar menelpon dengan
suara lirih: “Yasmin Ahmad meninggal, ky…”. Saya seperti kesambar petir di
siang bolong. “Gue tahu dari Jajang C Noer yang di-sms keluarganya…” imbuh
Joko. Saya tak kuasa menahan titik-titik air mata.
Mengapa kepergiannya adalah sebuah
kehilangan? Karena saya sangat sadar bahwa dia tidak akan membuat film lagi,
dan saya akan kehilangan semangat optimistik dan idealistik seorang sutradara
yang tidak terjebak dikotomi dunia “film seni” dan “film komersil”. Sepet adalah film terlaris berbujet
rendah, mengalahkan Putri Gunung Ledang yang
ongkosnya termegah se-Asia Tenggara. Mukhsin
laris manis. Tetapi tidak mengurangi bobot mutu keindahan dan kecerdasan
sinematisnya. Dan Malaysia pun berbeda tanpanya.
Saya teringat Yockie Suryoprajogo
yang membuat album : Musik Saya adalah
Saya. Dan itu pulalah Kak Min: Filmnya
adalah Dirinya. Yasmin pernah bilang ke saya bahwa sosok Orked pada trilogi Sepet-Gubra-Mukhsin adalah gabungan
kisah dirinya, sang ibu (Mak Inom), dan adiknya yang memang bernama Orked. Adalah
Orked Ahmad, sang adik, yang menyatakan bahwa film Yasmin seluruhnya adalah
adaptasi hidupnya. Misalnya, Gubra,
itu berkisah tentang perceraiannya dengan suami pertama yang beretnis India.
Pada Muallaf, ada adegan sang kakak
mengajarkan adiknya sebuah ritual memaafkan orang lain sebelum tidur,
lantas al-Fatihah dan Ayat Kursi. “Saya
diajarkan Kak Min. Itu wajib dilakukan tiap malam!” ungkap Orked.
Akhlak, alias perilaku mulai
terpancar pada kesehariannya. Kepada siapapun ia tampak ramah dan supel, walau
tetap mempertahankan prinsip. Spiritualitasnya begitu tinggi. Saya bisa
merasakan kejujuran dalam setiap karyanya. Dan semua filmnya diawali dengan
kalimat “Dengan Nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang”, termasuk dalam
bahasa Arab (Basmalah), Cina, dan Tamil. “Siapa saja merasa dekat dengan
Yasmin,” ungkap Amir Muhammad saat peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films. Dan saya pun mengamininya.
Desember 2009, adalah hari yang berbahagia.
Di ajang JIFFEST, termasuk sesi Madani Film Festival, semua film Yasmin diputar.
Muallaf dan Talentime dijadikan premiere. Rabun,
film pertamanya, pun diputar. Di peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films, saya menjadi moderator, mendampingi Amir sang
penulisnya.
Mbak Yasmin, begitu saya
menyebutnya. Begitu banyak penghargaan internasional yang ia dapatkan. Bagaimana
kah ia ingin dikenang (http://old.rumahfilm.org/wawancara/wawancara_sharifah.htm)?
Berikut pernyataannya: “Tidak begitu
penting bagi saya untuk diingat. Ego dan arogansi adalah hal-hal yang tidak
disetujui Tuhan. Saya suka orang mengenang cinta dan kasih sayang yang begitu lazim
di film-film saya. Beberapa orang memilih untuk tidak melihatnya. Mereka
melihat hal lain”.
Terakhir, mengikuti tradisi rekan-rekan dari Malaysia: Al-Fatihah!
No comments:
Post a Comment