Sunday, 3 January 2016

Saya dan Yasmin Ahmad

Saya dan Yasmin Ahmad
Oleh Ekky Imanjaya


Catatan: Tulisan lama, 2009. beberapa saat setelah ia wafat.

Malaysia terasa berbeda tanpa Yasmin Ahmad. Tentu banyak orang berpikir saya lebai alias berlebihan. Tapi tidak bagi saya. Terakhir kali saya ke Kuala Lumpur, pertengahan 2009, seharusnya saya bertemu dengan Kak Min, panggilan akrabnya, untuk menjajagi kemungkinan film-filmnya (khususnya Muallaf  dan Talentime) diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFEST) dan/atau Festival Film Madani. Tetapi, apa daya, pada 25 Juli, Yasmin telah berpulang, dan pertemuan itu tak pernah terjadi.
Mengapa saya merasakan perbedaan ini? Saya ke Malaysia sudah empat kali, dan semuanya ada hubungannya dengan Kak Min. Kali pertama, 2006, adalah untuk tugas peliputan. Secara tak sengaja, saya berjalan ke sebuah bioskop di belakang hotel tempat saya menginap, Palace of Golden Horses, dan menemukan namanya di bawah judul film Gubra (Cemas). Nama itu pernah saya dengar samar-samar sewaktu Layarperak.com membuat Kine28, dipimpin Farishad “Echa” Latjuba, dan memutar Sepet, 21 Mei 2005—tapi saya tak sempat menontonnya. Menonton Gubra, saya langsung jatuh hati pada cerita yang kuat dan cara bertutur yang mengesankan.  Tidak hanya bicara soal kisah perselingkuhan, tetapi—sebagaimana film Yasmin lainnya—tentang memaafkan. Juga ada dialog tentang lagu berbahasa Melayu dan Mandarin: “Kalau lagu di negeri ini Cuma berbahasa Malaysia, lebih baik saya pindah sajalah…”. Walau tak ada terjemahan bahasa Inggris, saya tetap bisa mengikuti dan secara emosional larut ke dalam cerita.
Esoknya, langsung saya cari DVD Sepet.  Begitu tiba di Jakarta, sebagaimana layaknya seorang fans, saya cari tahu tentang Yasmin, dan saya menemukan blognya http://yasminthestoryteller.blogspot.com .  lantas, saya coba untuk mengontaknya. Ajaib, dia merespons dan bahkan kami bertukar nomor telepon.
Kali kedua, Agustus 2007, sewaktu transit menuju Amsterdam dan menyambangi istri.  Saya sms dia, dengan harapan akan bertemu dengannya untuk sesi wawancara RumahFilm  . Awalnya, di hari-hari pertama, tidak ada jawaban. Begitu beberapa hari pesawat saya mau lepas landas, ada sms masuk:
“Mau nonton wayang?”. Ah, dari Yasmin!
Saya bingung? Maksudnya menonton di bioskop? Film apa?
“Film gue!” terlihat sms masuk. Ah, yang dimaksud adalah Muallaf!
Merasa perlu mengisi “amunisi”, saya pun menonton DVD Mukhsin, film yang sudah lama saya simpan namun tak sempat tertonton. Di sebuah hotel, di Bukit Bintang, saya meneteskan air mata haru, walau hanya menonton di laptop dengan teknologi seadanya itu. (Kelak, saya beberapa kali menontonnya, dan selalu merasakan keharuan, khususnya saat momen Ne Me Quitte Pas http://old.rumahfilm.org/esai/esai_orked.htm). Setelah itu, saya dan istri pun bergegas menuju ke kantornya,Leo Burnett.Di sana, hanya ada beberapa orang yang hadir. Dan, saya pun menikmati Muallaf yang mengharukan dan iklan Percintaan Tan Ho Ming yang jenaka dan menang berbagai penghargaan itu. Dan saya pun mewawancarainya, cukup panjang—plus minta tanda tangan.
Pertemuan berikutnya: Berlinale 2008. Yasmin hadir sebagai juri  sesi film anak. Saya hadir meliput. Saya pun kontak dan kami sepakat untuk minum kopi di Zoopalast.  Dialah yang mengambil inisiatif bertemu, di  tengah padatnya waktu penjurian. Saya tak menyangka, itulah perjumpaan saya terakhir secara fisik dengannya.
Pada akhir Agustus 2008, saya pulang dari negeri Belanda, dan mampir sebentar ke Kuala Lumpur. Karena miskomunikasi, saya tidak bisa bertemu dengan kak Min.  saya menyangka restoran tempat pertemuannya ada di Bukit Bintang, ternyata ada di luar kota. Awal September itu, beberapa saat sebelum saya pulang ke Jakarta, tak disangka, Yasmin menyempatkan diri menelpon saya. Saat itulah saya menawarkan untuk membawa Muallaf, film yang saya tonton setahun sebelumnya  dan belum juga diputar di bioskop komersil Malaysia, ke Festival Film Madani (http://old.rumahfilm.org/kabar/kabar_madani2009.htm) . Selebihnya, hanya lewat email untuk “merayu” Kak Min membawa film-filmnya ke Jakarta.  “Saya harap kamu bisa menonton Talentime. It is culturally colorful!” ungkapnya penuh kebanggaan. Saya pun meminta film itu untuk diboyong ke Jakarta, tapi waktu itu belum ada kesepakatan.
Kali terakhir saya hadir di Kuala Lumpur adalah pertengahan Agustus 2009, saat menghadiri konvokesyen alias wisuda istri saya. Kali itu tak ada Yasmin. Saya berhasil mengontak Amir Muhammad untuk menemani ke Chow Kit, mencari dua film Usmar Ismail produksi negeri jiran, Korban Fitnah dan Bajangan di Waktu Fajar. Sepanjang perjalanan, Amir bercerita banyak hal, termasuk tentang hari-hari terakhir Yasmin. “Waktu dia meninggal, saya tidak di sampingnya, karena sebelumnya sudah membesuk. Yuhang yang ada di sana…” terangnya. Ah, banyak sekali orang yang saying pada Kak Min, rupanya. Tak lupa, Amir mengajak saya menyusuri sungai, melihat seni grafis jalanan tentang Yasmin dengan tulisan: “We, Anak-Anak Malaysia, will miss you dearly”. Tapi saat itu, kami belum berhasil menemukannya.
Dan, ah, ternyata Talentime diputar lagi, atas permintaan banyak orang. Di televisi, ada iklan soal ini. Duka masih menyelimuti Malaysia walau sebulan sudah Kak Min wafat.  Dikompori Amir—yang berjanji akan mengantar saya pulang--saya nekad menonton Talentime menjelang tengah malam, padahal besok subuh harus bangun untuk wisuda istri—tujuan utama saya ke negeri ini. Untunglah saya bisa bangun pagi dan semuanya berjalan sesuai rencana.
Talentime, film terakhirnya itu, makin mempertegas representasi keluarga yang dianggap disfungsi, tapi justru menjadi keluarga yang paling normal di lingkungannya. Lihat saja, sang nenek adalah “orang putih” alias bule seratus persen!
Dan tibalah tanggal itu: 25 Juli. Beberapa hari sebelumnya, saya  membaca berita bahwa dirinya tak sadarkan diri saat rapat di TV3. Dan belakangan, dirinya sudah membaik. Tapi, tiba-tiba, hari itu, Joko Anwar menelpon dengan suara lirih: “Yasmin Ahmad meninggal, ky…”. Saya seperti kesambar petir di siang bolong. “Gue tahu dari Jajang C Noer yang di-sms keluarganya…” imbuh Joko. Saya tak kuasa menahan titik-titik air mata.
Mengapa kepergiannya adalah sebuah kehilangan? Karena saya sangat sadar bahwa dia tidak akan membuat film lagi, dan saya akan kehilangan semangat optimistik dan idealistik seorang sutradara yang tidak terjebak dikotomi dunia “film seni” dan “film komersil”. Sepet adalah film terlaris berbujet rendah, mengalahkan Putri Gunung Ledang yang ongkosnya termegah se-Asia Tenggara. Mukhsin laris manis. Tetapi tidak mengurangi bobot mutu keindahan dan kecerdasan sinematisnya. Dan Malaysia pun berbeda tanpanya.
Saya teringat Yockie Suryoprajogo yang membuat album : Musik Saya adalah Saya. Dan itu pulalah Kak Min:  Filmnya adalah Dirinya. Yasmin pernah bilang ke saya bahwa sosok Orked pada trilogi Sepet-Gubra-Mukhsin adalah gabungan kisah dirinya, sang ibu (Mak Inom), dan adiknya yang memang bernama Orked. Adalah Orked Ahmad, sang adik, yang menyatakan bahwa film Yasmin seluruhnya adalah adaptasi hidupnya. Misalnya, Gubra, itu berkisah tentang perceraiannya dengan suami pertama yang beretnis India. Pada Muallaf, ada adegan sang kakak mengajarkan adiknya  sebuah  ritual memaafkan orang lain sebelum tidur, lantas  al-Fatihah dan Ayat Kursi. “Saya diajarkan Kak Min. Itu wajib dilakukan tiap malam!” ungkap Orked.
Akhlak, alias perilaku mulai terpancar pada kesehariannya. Kepada siapapun ia tampak ramah dan supel, walau tetap mempertahankan prinsip. Spiritualitasnya begitu tinggi. Saya bisa merasakan kejujuran dalam setiap karyanya. Dan semua filmnya diawali dengan kalimat “Dengan Nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang”, termasuk dalam bahasa Arab (Basmalah), Cina, dan Tamil. “Siapa saja merasa dekat dengan Yasmin,” ungkap Amir Muhammad saat peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films. Dan saya pun mengamininya.
Desember 2009, adalah hari yang berbahagia. Di ajang JIFFEST, termasuk sesi Madani Film Festival, semua film Yasmin diputar. Muallaf dan Talentime dijadikan premiere. Rabun, film pertamanya, pun diputar. Di peluncuran buku Yasmin Ahmad’s Films, saya menjadi moderator, mendampingi Amir sang penulisnya.
Mbak Yasmin, begitu saya menyebutnya. Begitu banyak penghargaan internasional yang ia dapatkan. Bagaimana kah ia ingin dikenang (http://old.rumahfilm.org/wawancara/wawancara_sharifah.htm)? Berikut pernyataannya:  “Tidak begitu penting bagi saya untuk diingat. Ego dan arogansi adalah hal-hal yang tidak disetujui Tuhan. Saya suka orang mengenang cinta dan kasih sayang yang begitu lazim di film-film saya. Beberapa orang memilih untuk tidak melihatnya. Mereka melihat hal lain”.
Terakhir, mengikuti tradisi rekan-rekan dari Malaysia: Al-Fatihah!


No comments:

Post a Comment