Bagi mahasiswa di luar negeri, bekerja paruh waktu adalah
sebuah pilihan menarik. Bagi yang
hidupnya pas-pasan dan banyak tergantung pada beasiswa, tentu part time job ini bisa untuk menambah
uang saku. Bagi yang sudah berkecukupan, bisa untuk memperkaya pengalaman, CV, dan tabungan buat-jalan-jalan.
Apakah the best
part-time job ever, khususnya buat anak jurusan film? Saya berusaha
menjawabnya berdasarkan pengalaman saya tiga tahun tinggal di Inggris.
Pertama-tama, yang “termudah”,
tentu adalah pekerjaan fisik yang memang banyak dibutuhkan khususnya saat
liburan panjang, khususnya natal dan musim panas. Saat liburan musim dingin dan
panas, banyak orang sibuk bersenang-senang dan bertamasya. Saat itulah, banyak
toko dan institusi yang membuka lowongan paruh waktu, misalnya sebagai kasir,
tukang sortir surat, tukang cuci piring, pelayan, cleaning service dll.
Sebagai mahasiswa jurusan film yang suka nonton, pilihan
pertama saya adalah bekerja di gedung bioskop, atau minimal di sebuah tempat
yang berkaitan dengan seni, budaya, dan media. Tapi saya, entah kenapa selalu gagal.
Pekerjaan “kasar” lainnya, saya pernah coba lamar, tapi
selalu tidak lolos seleksi awal, karena ada ujian online seputar studi kasus.
Misalnya, “kalau anda tugas di kasir, dan ada pembeli yang kesulitan mencari
uang receh hingga bermenit-menit, dan antrian sudah menumpuk dan ada yang mulai
mengeluh, apa yang anda lakukan?”. Contoh lainnya: “kalau anda disuruh manajer
mengambil barang segera, tapi ada calon pembeli yang minta dilayani dan banyak
pertanyaan, sementara tak jauh dari sana banyak barang-barang berserakan dan
tidak ada pegawai lain karena toko baru buka, apa yang anda lakukan?”. Hal-hal
semacam itulah.
Pernah saya bekerja sebagai tukang cuci mobil, dari jam 9
hingga 5 sore di hari jumat dan sabtu, dan hanya boleh istirahat makan siang
selama 10 menit saja. Ini sebuah pekerjaan yang superberat karena mobil-mobil
(yang sangat kotor dan acap penuh dengan lumpur yang lengket dengan ban) tak
pernah berhenti berdatangan. Dan setiap ritme kerja agak santai, selalu ada
teguran “quick! Quick! Quick!”. Masalah lain, saya tidak boleh shalat Jumat, walau masjidnya dekat dari mal itu. (saya
ditegur karena rehat lebih dari sepuluh menit, karena saya jumatan. Saya pikir
waktu rehat sejam). Padahal, Ini adalah jaringan imigran Eropa Timur, yang,
sebenarnya, berlatarbelakang Muslim. Karena kondisi-kondisi ini, saya hanya
tahan 2 hari saja.
Ada juga sih tawaran menjadi “kelinci percobaan” , misalnya
studi perubahan perilaku yang berkaitan dengan ekonomi, seperti yang dilakukan
oleh CBBES (the Centre for Behaviouraland Experimental Social Science). Kita seperti ikut kasus real
life, dan honornya tergantung jawaban kita
(dan tetap dapat uang kehadiran juga, sekitar 2-3 pounds). Pernah saya dapat 15 pounds untuk tes satu
jam, tapi pernah juga hanya dapat kurang dari satu pounds. Atau ikut focus group discussion, memberi masukan
buat tim marketing kampus. Tapi ini kecil juga insentifnya, paling voucher beli buku 10-15
pounds. Dan keduanya tidak rutin, tergantung permintaan.
Sebenarnya, sebagai penulis, saya ingin menjadi penulis lepas di media berbahasa
Inggris. Tapi sepertinya saya tahu diri dengan keterbatasan. Yang belum saya
coba, tapi pernah saya lakukan saat kuliah di Amsterdam dulu, adalah menjadi
koresponden majalah atau suratkabar Indonesia. Mungkin, perlu dijajagi lagi
nih, misalnya liputan drama Harry Potter and the Cursed Child atau konser Coldplay?
Banyak orang berpikir kalau menjadi research assistant, atau teaching
assistant itu sangat keren. Dan memang keren, sih. Tapi ini susah, perlu PD tingkat tinggi dalam
urusan Bahasa, cara mengajar, dan penguasaan materi, dan juga lolos seleksi
yang ketat. Biasanya, pihak jurusan akan memberikan pengumuman kepada para
mahasiswa S3, siapa yang mau jadi asisten dosen. Atau, bisa juga dibuka
lowongan secara terbuka. Bisa juga, sang dosen, yang biasanya adalah
pembimbingnya, menawarinya pekerjaan ini. Honornya juga cukup besar.
Saya juga berupaya melamar posisi asdos ini, tapi gagal.
Pembimbing kedua saya menawarkan untuk menjadi asistennya mengajar mata kuliah
Sinema Asia semester berikutnya, tapi saya sudah keburu pindah ke Bristol. Di
kampus saya, syarat asdos adalah sudah lulus transfer panel (di Inggris, tahun
pertama adalah MPhil, kemudian di antara bulan ke 12 dan 18 ada upgrade panel.
Setelah lulus baru layak disebut PhD Candidate), dan lulus kursus mengajar yang
diadakan kampus atau institusi lain di lingkungan kampus.
Tapi, rupanya ada efek sampingnya juga. Beberapa teman saya
menyatakan bahwa, jika uang yang kita cari, maka itu tidak sebanding dengan
beban kerja. Umumnya, dalam satu modul,
akan ada kuliah umum yang melibatkan semua mahasiswa (kelas besar) yang diisi
oleh dosen utama. Setelah itu, pertemuan berikutnya adalah pemutaran film. Dan,
lanjut dengan kelas seminar, yang isinya Cuma belasan mahasiswa saja, pendalaman
kuliah umum tadi. Asdos tugasnya ada di seminar ini, tapi dia juga wajib hadir
dalam kuliah umum setiap minggu. Juga menyiapkan materi (karena, umumnya, asdos
mendapatkan tugas mengajar yang acap tak sesuai dengan topik risetnya, atau
sesuatu yang belum ia kuasai sama sekali). Jangan lupa, asdos harus memberikan
feedback di setiap tugas, dan, yang paling memakan waktu, adalah memberikan
nilai pada masing-masing mahasiswanya untuk tugas akhir. Mengapa ini berat?
Kalau tugas asdos adalah hanya menjadi asdos, tentu ini pekerjaan sehari-hari.
Tapi kalau asdosnya tugas utamanya adalah menulis tesis doktoralnya, tentu ia
akan kewalahan dalam membagi waktu. Semua teman saya yang S3 yang menjadi
asdos, menyatakan tak sempat menulis bab dalam tesisnya. Jadi, kata mereka, kalau uang yang dicari,
kurang cocok. Tapi kalau untuk mencari pengalaman mengajar, mendalami bagaimana
kurikulum dan silabus diaplikasi, atau tercantum dalam curriculum vitae, kata
mereka, baru itu alasan yang lebih tepat.
Untuk research assistant,
saya belum mengeksplorasinya lebih lanjut. Lebih ke persoalan kesempatan dan
lowongan kerja saja, sih.
Jadi, apa dong pekerjaan paruh waktu paling oke untuk
mahasiswa S3, khususnya jurusan film? Begini. Di atas sudah saya singgung kalau
ada sesi pemutaran film, untuk setiap module (atau mata kuliah). Nah, mereka membutuhkan screener atau screening boy. Dan biasanya, semua lowongan kerja untuk mahasiswa diumumkan secara terbuka. Khusus untuk pekerjaan yang satu ini, tugasnya sangat mudah: ambil DVD ke dosen (atau, dalam kasus tertentu, ke
perpustakaan), putar, ikut menonton untuk memastikan DVD tidak bermasalah (sekitar 3 jam, biasanya jauh lebih cepat kelarnya), dan
kembalikan DVD ke dosen (atau perpustakaan).
Kita suka menonton, dan dibayar, bagaimana itu tidak menyenangkan? Yang
paling sial adalah kalau kita tidak suka dengan filmnya, maka akan mati gaya
dan mati kutu, tapi itu hal yang jarang terjadi.
Dan, lebih dari itu, saya juga belajar bagaimana sebuah
kurikulum dan silabus disusun dan dijalankan. Karena, saya selalu diberikan
daftar film, dan sekaligus silabusnya, dan pertanyaannya tiap pemutaran film.
Dan saya boleh memilih modul apa yang mau saya bantu! Juga, memilih hari dan jam yang saya bisa.
Premier "Jazz Singer" |
episode perdana Doctor Who (1963): An Unearthly Child) |
Di semester yang sama, saya juga pegang 2 module dari
pembimbing kedua saya, Rayna Denison. Dia pakar anime dan film jepang. Saya bertugas
mengurusi putar film “Asian Cinema” dan “Japanese Cinema”. Film-filmnya? Dari Rashomon, Hard Boiled, Akira, hingga Crouching Tiger. Saya menonton lagi film semacam Tokyo
Story, In the Mood for Love, Ringu,
OldBoy, dengan perspektif baru. Film yang baru saya tonton: Pater Pancali, Godzilla (yang asli), The Hidden Fortress, The Life of Oharu. Sejauh ini, hanya Tokyo Drifter yang membosankan, walau ada embel-embel cult movies.
Kalau ditilik,
film-film yang disajikan itu tidak hanya yang “film festival” atau “film seni”,
tapi macam-macam. Tergantung dari tema yang sedang dibahas. Kalau bahasnya
adalah genre dan film Bollywood, yang diputar Ghajini. Ringu diputar sebagai
bahan untuk international branding. Untuk
sci-fi, memang filmnya popular rata2 (kecuali Altered States atau A Scanner
Darkly yang mungkin dianggap agak nge-art
). Tapi temanya keren-keren. Misalnya, Robocop dan The Six Million Dollar
Man, dipakai sebagai contoh dari topik Techno-Fusion and the Masculine Subject in US Science Fiction Film and Television. sementara itu Alien Others: Representation and Race in US Science Fiction Film and Television memakai kasus serial TV Planet of the Apes dan Matrix Revolution. Hmmm, saya jadi belajar menyusun silabus dan kurikulum keren, nih.
Man, dipakai sebagai contoh dari topik Techno-Fusion and the Masculine Subject in US Science Fiction Film and Television. sementara itu Alien Others: Representation and Race in US Science Fiction Film and Television memakai kasus serial TV Planet of the Apes dan Matrix Revolution. Hmmm, saya jadi belajar menyusun silabus dan kurikulum keren, nih.
Begitulah, di semester itu, persis setahun silam, dalam sepekan
saya menonton 3 film. Tidak perlu persiapan secara serius (kecuali beberapa
kasus ketika sang dosen tak punya filmnya dan saya diminta cari di perpustakaan,
tapi bukan hal besar), dan dapat uang saku. Tidak sebanyak honor mengajar,
memang, tapi lebih dari lumayanlah. Dan, banyak bonusnya. Termasuk, memaksakan diri untuk menonton film, dan istirahat dari memikiran tesis.
No comments:
Post a Comment