Iran Tanpa Nuklear dan Ahmadinejad Mei 13, 2008
Posted by ummahonline in Catatan Kaki, Kolum.trackback
Oleh: Ekky Imanjaya
catatan: tulisan lama , di : Nebula. Diterbitkanulang oleh Ummahonline https://ummahonline.wordpress.com/2008/05/13/iran-tanpa-nuklear-dan-ahmadinejad/#more-724
Judul asli: Reich des Bösen
Judul Antarabangsa: Empire of Evil.
Sutradara: Mohammad Farokhmanesh,
Penerbit: Jerman, 2007
Temp0h: 90 minit
Judul Antarabangsa: Empire of Evil.
Sutradara: Mohammad Farokhmanesh,
Penerbit: Jerman, 2007
Temp0h: 90 minit
Jangan nilai buku dari sampulnya. Konsep ini sebaiknya diterapkan juga dalam filem ini, sebuah ole-ole dari International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2007. Suatu kali, dalam bukunya, Eep Saifullah Fatahngomel: “bangsa saya yang menyebalkan”. Tapi, mengutip Hikmat Darmawan yang mengulas bukunya, “..adakah bangsa yang tidak menyebalkan?”.
Semua warga bangsa selalu mengeluh tentang negerinya, tapi dalam hatinya, ia selalu mencintai tanah airnya. Demikian pula dengan Mohammad Farokhmanesh, kelahiran Shiraz, Iran, pada 1970, yang lantas mukim di Jerman. Kerana itulah, ia membuat filem dokumentari Reich des Bösen (judul antarabangsanya: Empire of Evil).
Jangan salah, filem tempoh 90 minit ini tidak semuanya bercerita tentang betapa kejam dan sadisnya bangsanya di bawah kekuasaan Wilayah al-Faqih, sistem politik kaum mullah yang dicanangkan Ayatullah Khomeini. Tapi, sebaliknya, justeru menyajikan keseharian dari lima orang karakternya, lima warganegara biasa.
Ada seorang wanita muda yang ingin sekali ikut pertandingan anggar dunia, tapi terhalang oleh fakta bahawa dirinya perempuan. Ada mahasiswi yang selalu dikekang ayahnya yang melarangnya menjadi penyanyi dan pelukis. Ada seorang guru bahasa Inggeris yang sangat nyaman dengan keadaan negerinya—bahkan ia ikut berkempen syariat Islam lewat siaran radio. Ada seorang miskin yang bahagia hanya dengan membetulkan alat-alat elektronik, khususnya komputer. Ada gadis cilik yang punya banyak bakat, sebagai simbol generasi penerus.
Kelimanya bertemu di awal dan akhir. Dan kelimanya disorot oleh Farokhmanesh dengan mendalam. “Saya selalu mendapatkan kesan kalau Iran itu seram, terorisme, nuklear. Saya ingin menunjukkan bahawa masyarakat Iran juga masyarakat yang hidup normal dalam kesehariannya,”ungkap sang sutradara, sesaat setelah pemutaran filemnya di IDFA, dalam sesi First Appearance. “Saya ingin menunjukkan, segala hal yang dilakukan pemerintah, tak selamanya dibenarkan oleh warganya. Saya menyajikan sisi lain dari negeri saya,”ungkap pemenang Gerd-Ruge Prize itu.
Serayesh, misalnya. Atlit anggar berprestasi itu tak boleh melihat suaminya, seorang atlit renang, latihan—demikian pula sebaliknya. Golsa, si gadis kecil pemain piano, bertanya tentang kewajiban berjilbab—sebuah pertanyaan wajar—kepada si penyiar radio yang spiritual. Abbas, pakar komputer yang hidup dengan ayahnya yang pencen dan ibunya yang cacat, juga seorang Basiji, seorang relawan yang ikhlas menjalani hidup untuk sewaktu-waktu dipanggil tugas oleh negara dan mati syahid seperti abangnya.
Filem ini berkisah tentang impian, kenyataan hidup, dan juga liku lima orang warga Iran. Ada banyak perspektif di sana, sebagaimana juga kehidupan. Di sana kita melihat orang bersenang-senang dalam ski, berbelanja kacamata Gucci, masuk ke restoran, dan makan hamburger—di samping juga perayaan asyura atau peringatan Revolusi Islam Iran.
Ini sedikit ole-ole dari IDFA ke-20, 22 November- 2 Disember lalu. “Sebenarnya, filem ini datang ke meja kami. Tapi akhirnya kami loloskan. Mengapa? Silakan saja lihat isinya,” jelas salah satu panitia, mengantarkan diskusi antara sutradara dan penonton, sesaat setelah pemutaran.
No comments:
Post a Comment