Sunday, 3 January 2016

Empat Cerita Tentang Bom Bali

Empat Cerita Tentang Bom Bali Ogos 22, 2007

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky
sumber: https://ummahonline.wordpress.com/2007/08/22/empat-cerita-tentang-bom-bali/#more-567

Sebuah peristiwa besar layak dikenang, dipelajari, setelah sebelumnya diabadikan. Tak sedikit pembuat filem yang mengangkat narasi besar ke dalam layar kaca. Dalam tradisi filem narasi, hadir misalnya WTC, Marie Antoinette, atau Tjoet Nyak Dhien dan Pemberontakan G30S PKI. Film-film itu merekonstruksi sejarah. Bagaimana dengan sejarah mutakhir Indonesia? Silakan lihat Long Road to Heaven yang berlatarbelakang Bom Bali 12 Oktober 2002.
Filem berdurasi dua jam arahan Enison Sinaro itu (entah mengapa judul bahasa Indonesianya kurang nendang, Makna di Balik Tragedi) merekonstruksi bagaimana sebuah gerombolan pengganas merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Juga dampaknya, baik bagi orang asing, atau warga Bali sendiri. Walaupun filem ini bagi pembuatnya hanyalah fiksi dan “terinspirasi oleh peristiwa sebenarnya”, tapi tak boleh dihindari rekonstruksi—khususnya berkenaan dengan tokoh-tokoh pengganas—telah terjadi. Paling tidak, Kalyana Shira Film telah berani mengambil langkah. 
Kali ini, gaya multiplot lagi yang digunakan. Ada empat plot besar yang mewakili waktu-waktu penting. Plot pertama adalah saat Hari-H, ketika bom meledak. Plot kedua adalah persiapan Imam Samudra dan anak buahnya. Cerita ketiga mengenai tujuh bulan menjelang pengeboman, saat Hambali, Azahari, Noordin M Top, dan Mukhlas bertemu di Thailand Selatan. Sedangkan yang terakhir berawal dari 8 bulan setelah kejadian, menjelang perbicaraan mahkamah.
Dua plot mereka ulang bagaimana kaum teroris bersatu, berencana, dan kemudian bermuara pada kesimpulan bahawa Bali menjadi sasarannya. Sedangkan dua plot lainnya bercerita tentang orang-orang biasa, baik dari orang bule atau warga Indonesia.
Tentang para pengganas, adegannya sungguh menarik. Baik di tingkat atasalias majlis syura, atau pun di tingkat bawah. Diceritakan tentang keretakan, yang manusiawi, yang terjadi antara mereka. Terbongkar misteri laptop Imam Samudra, misalnya. Atau, alasan mengapa Bali yang menjadi sasaran, dan bukan Singapura yang menjadi sasaran awal. Karakter tokoh-tokohnya juga kuat, khususnya Hambali (Surya Saputra). Dialog juga diatur dengan rapi, misalnya dialek dan sosiolek yang beragam, mulai dari Surabayaan, Malaysia, hingga Thailand. Juga pemilihan diksi semacam antum dan kon.
Sedangkan dua plot tentang sejarah orang kecil, sungguh mengharukan. Ada Hannah Catrelle (Mirrah Foulkes), wanita asal Amerika yang membantu para korban, yang lalu bertemu dengan Haji Ismail (Joshua Pandelaki), pria muslim yang telah lama menetap di Bali. Haji Ismail melambangkan Muslim yang moderat dan ramah, yang berhadapan dengan prasangka buruk para bule yang menganggap Islam sebagai musuh besar, khususnya Tim Dawson (John O’Hare).
Sedangkan wartawati Australia Liz Thompson (Raelee Hill) yang bertugas untuk membuat liputan proses persidangan oleh Wayan Diya (Alex Komang), seorang Bali yang muram dan menyimpan banyak cerita.
Dari judulnya yang berbahasa Inggeris, juga para penulis senarionya yang berkebangsaan Malaysia dan Singapura (Wong Wai Leng dan Andy Logam-Tan) jelas filem itu mengarah pada festival kelas dunia. Apalagi TeleProductions International sebagai produser eksekutif. Tapi mengapa cerita harus digarap orang “luar”?
Yang menarik, awal dan akhir cerita diracik dengan ciamik. Selain cerita yang kuat, tata artistik dari Iri Supit juga hebat. Bandara Curug disulap menjadi Jalan Legian lengkap dengan Sari Club dan Paddy’ Club. Sepertinya, kerja keras Enison dan Nia Dinata, sang produser, akan berbuah.
Dan terngianglah sebuah kalimat dari Haji Ismail: “Adakah jalan pintas ke syurga? Tidak ada. Jalan menuju syurga begitu panjang dan berliku.” Sebuah pernyataan yang menjadi pesan utama filem ini.

No comments:

Post a Comment