Cuma Lagu Usang, Meneer Wilders? April 6, 2008
Posted by ummahonline in Catatan Kaki, Kolum.trackback
Oleh: Ekky Imanjaya
catatan: Tulisan lama di Koran Tempo, 3 April 2008.. Diterbitkanulang oleh Ummahonline https://ummahonline.wordpress.com/2008/04/06/cuma-lagu-usang-meneer-wilders/#more-700
Akhirnya film Fitna The Movie karya Geert Wilders (dan Scarlett Pimpernel) beredar juga di internet, satu hari lebih cepat dari rancangannya. DariWikipedia, yang didakwa sebagai web resmi setelah website awal ditutup oleh penyiarnya, filem ini ditonton sebanyak 1.6 juta kali dalam dua jam, dan versi bahasa Inggerisnya sebanyak 800 kali, serta turut disiarkan di televisyen Het Gesprek.
Seperti yang sering diulang-ulang oleh Wilders, isinya berkenaan (katakanlah) pembuktian atau pembenaran ucapannya bahawa al-Quran adalah kitab fasis, seperti Mein Kampf karya Hitler dan mengajarkan terorisme.
Dari segi isi, sama sekali tidak ada yang baru dari filem ini, berkenaan islamophobia dan konsep Jihad dari kelompok Islam garis keras. Tambahannya adalah isu lokal bahawa terjadi Islamisasi di Eropah, khususnya Belanda, dan itu mengancam kebebasan di sana. “Islam telah menyihir Belanda”, “Parlimen: Tidak ada larangan Burqa” kutipan dari filem itu.
Dengan tempoh 18 minit, filem dimuatkan dengan karikatur Nabi Muhammad yang pernah tersiar di Denmark, lantas cuplikan ayat-ayat jihad, berbagai aksi terorisme atas nama Islam, isu-isu semacam Ayaan Hirsi Ali dan Salman Rusdhie, dan penggalan ceramah garis keras. Juga ramalan masa depan Eropah yang penuh darah seandainya Islam berkuasa. Misalnya, ada cuplikan poskad “Selamat Datang di Belanda” dengan gambar berbagai masjid, dan bukan simbol semacam kincir angin (padahal mencari masjid di sana susah sekali, dan hampir tak ada masjid berkubah atau berbentuk masjid pada umumnya di negeri Muslim. Dan aturannya sangat ketat: Tidak boleh terdengar suara azan, tidak boleh ada keluhan dari tetangga sekitar, dll). Tidak ada suara narator, tidak ada suara dari kelompok Islam moderat atau liberal, atau suara yang berseberangan lainnya. Hanya berisi lagu usang bergaya kertas sebaran. Harap maklum, ini propaganda, sebuah “genre” yang sudah sangat kuno, mirip-mirip filem propaganda zaman penjajahan Jerman atau Jepun, kira-kiranya begitu.
Masalahnya, andaian saya berlebihan ternyata, dari segi kualiti juga filem ini tak lebih dari karya amatur pengunggah sebuah video klip rumahan diyoutube. Malah terkesan mombosankan. Beza jauh dengan, ambil contoh film “sejenis”, Submission karya Theo van Gogh. Wilders sangat sedar bahawa filem adalah media ampuh untuk menyebarkan ide, tapi ia gagal memanfaatkan sepenuhnya.
Ada beberapa hal menarik. Pertama, Wilders begitu ketakutan akan bertambahnya pendatang yang majoritinya dari Maghribi dan Turki dan menyimpulkannya sebagai ancaman Islamisasi Eropah (dan melenyapkan identiti kebudayaan Belanda). Masalahnya adalah integrasi, dan bukan agama kaum imigrannya. Mengapa tidak berkutat pada hal hukum dan perundangan? Bukankah Belanda dikenal sebagai negara yang sangat ketat menegakkan hukum?
Kedua, tentu saja hal ini menjejaskan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang selama ini menjadi citra Belanda. Tidak sedikit yang kesal dengan pemimpin Partij voor de Vrijheid (Partai untuk Kebebasan) itu , entah kerana dia mendominasi siaran televisyen dan/atau idea yang dibawanya. “Aduh, Lagi-Lagi Berita Soal Wilders!”, tulis tabloid gratis berbahasa Inggeris, Amsterdam Weekly, Volume 5 issue 5 (31 Januari-6 Februari) di muka hadapan. Tabloid ini menangkap kegelisahan warga Belanda: ”Sebenarnya, al-Qur’an atau Wilders yang menimbulkan krisis?”; “Baguslah ada orang yang berteriak anti Islamophobia. Saya sudah lelah dengan perilaku Wilders. Semangat anti-Islam ini sudah terlalu melampau, dan saya fikir Geert Wilders menyebabkan lebih banyak masalah untuk masyarakat Belanda dari pada yang pernah dilakukan Islam sendiri” kata beberapa warga Amsterdam saat diwawancara tabloid itu.
Demo anti-Wilders terjadi beberapa kali di Dam Square, Asmterdam. Pada 26 Januari, ribuan orang hadir, dan jumlah ini jauh lebih banyak dari demonstran pro- Wilders yang tampil sebelumnya, tapi bubar beberapa jam sebelum jadwal. “Stop the Witch Hunt against Muslims” tegas mereka. Yang terbesar adalah aksi dari Netherlands Bekent Kleur (“Belanda Mengenal Warna”, semacam jaluran pelangi) pada 21 Mac lalu sekitar tujuh ribu orang, mulai dari kaum gay hingga pembela kemerdekaan Palestin merayakan Hari Anti Rasisme, dan bidikannya sudah pasti Wilders yang pada posternya digambarkan sebagai koboi penyebar semangat peperangan. Saya rasakan, suasana lebih mirip konsert rakyat, dengan gerai pameran dari pelbagai LSM.
Membalikkan teori Wilders, justeru bagi mereka, Wilderslah yang mirip dengan Hitler.
Kelompok itu menyatakan bahwa Muslim sudah menjadi bahagian dari rakyat Belanda dan seharusnya semua pihak menerima mereka sebagaimana menerima pihak lainnya.
Ketiga, alasan kebebasan berekspresi yang selama ini jadi kebanggaan warga Belanda. Itulah hujah mengapa Fitna tidak dilarang. Tapi justeru menjadi paradoks, mengingat Wilders berupaya menghancurkan, dan menyerang kebebasan umat Islam. Harusnya pembela kebebasan adalah seorang pluralis, dan seorang pluralis harus siap bersanding dengan gagasan dari pihak lain, termasuk dari kaum anti-pluralis sekali pun. Bukannya dibalas dengan tindakan yang juga militan, garis keras, dan “fundamentalis”, hingga mengkhianati konsep kebebasan itu sendiri.
Fitna tidak dituntut ke meja hijau kerana dianggap tidak melanggar hukum apa pun. Dan memang demikian juga seharusnya perilaku terhadap pendatang Muslim: tidak dihukum sebelum terbukti bersalah. Untuk membuktikan Wilders bersalah atau tidak, sebaiknya Muslim Belanda menuntut Wilders ke meja hijau untuk diproses hukum, atau paling tidak untuk pasal “perbuatan tidak menyenangkan di depan publik”. Setidaknya itu tidak kontraproduktif dari sekadar marah-marah atau malah bertindak anarkis. Sayang tidak ada hukum yang menyatakan bahwa filem yang terbukti jelek dan tidak bermutu bisa juga dituntut.
Tentu saja filem ini menggambarkan satu sisi dari Muslim (walau Wilders bilang Islam, dan bukan Muslim, yang bermasalah), dan seharusnya kita juga menganggap bahwa Wilders hanyalah satu sisi dari Belanda dan tak perludisamaratakan seperti yang dilakukan Wilders terhadap Islam. Lagi pula, itu cuma lagu usang, dan sepertinya bukan isu kegemaran khalayak di Belanda.
Setelah Fitna, giliran filem animasi, The Life Of Mohammed yang “menggebrak” pada 20 April mendatang, seperti diungkapkan oleh stesen televisyen Netwerk. Isinya, di antaranya tentang Sang Nabi dan persoalan seksual, lagi-lagi lagu lama.
Nota: Ekky Imanjaya merupaka mahasiswa sarjana yang sedang melakukan penyelidikan filem di Universiti Amsterdam, Belanda. Manakala tulisan ini pertama kali dimuat di Koran Tempo pada 3 April 2008.
No comments:
Post a Comment