Sunday, 3 January 2016

Sayyid Quthb dan Revolusi Wacana

Sayyid Quthb dan Revolusi Wacana September 17, 2007

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky

Catatan: Kalau tak salah, pertama kali dimuat di Sabili. Diterbitkan ulang oleh Ummahonline.
https://ummahonline.wordpress.com/2007/09/17/sayyid-quthb-dan-revolusi-wacana/#more-621

Sayyid Quthb tidak harus dinafikan sumbangannya dalam menterjemahkan revolusi, khususnya kebangkitan revolusi wacana. Malah, dengan usaha yang sebegini, ia secara muafakat telah dianggap sebagai ideolog kedua al-Ikhwanul Muslimin setelah Imam Hasan Al-Banna dan menghubungkan generasi awal Ikhwan dengan generasi baru 1960-an dan sesudahnya.
Beberapa karyanya, khususnya dalam buku Ma’alim fith Thariq (Petunjuk Jalan), Dirasat al-Islamiyah (Beberapa Studi tentang Islam), dan tafsir Fi Zilalil Qur’an (Di Bawah Naungan al-Qur’an) menunjukkan semangat revolusioner dalam menggali kembali wacana pemurnian akidah yang menjadi world-viewserta rumusan dalam pergerakan Islam global.
Ideologi yang dibentuk pemikir seperti Quthb adalah “ideologi protes”, “ideologi kaum oposisi” untuk melawan kelas penguasa yang dianggap zalim dan menyimpang dari ajaran agama. Walaupun dibawah tekanan dan kesulitan yang besar, tetapi Quthb tak jumud, tidak berhenti berfikir dan menafsirkan realiti, untuk membuat konsep dan pandangan-dunia yang dipakai bagi landasan perjuangan selanjutnya. Yang menarik, Quthb tidak takut untuk tersalah tafsir—bukankah ijtihad yang salah tetap mendapatkan pahala?—sebagaimana dia tidak takut dan malu dalam meralat dan memperbaiki pemikirannya kembali. Sayang sekali, usaha ini, dalam konteks ini tafsir Zilal, hanya boleh dilakukan hingga Juz ke-14, kerana Quthb lebih dahulu dihukum mati.
Pemikiran Quthb inilah yang memancing pemikiran-pemikiran baru generasi selanjutnya, sehingga sosok seperti Yusuf Qardhawi, Salman Audah, dan Muhammad Immarah boleh menafsirkan kembali realiti dengan semangat akademik dan progresif. Bahkan Yusuf Qardhawi merasa perlu menuliskan satu bab dalam bukunya Ijtihad Semasa yang mengkritik pemikiran Sayyid Quthb yang tertuang dalam Tafsirnya Fi Zilal al-Qur’an. Tetapi tidak soal. Bukankah Imam Syafi’i juga mempunyai pemikiran lama (Qaul Qadim) dan baru (Qaul Jadid)? Malah yang harus disoroti adalah keberanian Quthb mengisi kekosongan sebagai penafsir, pemikir, dan ideolog, sehingga revolusi wacana boleh terjadi dan bergulir sehingga dikembangkan—lewat penyebaran, pengembangan dan bahkan kritik—oleh generasi selanjutnya yang situasi sosial politiknya cenderung lebih ‘tenang’ dan ‘nyaman’ untuk melakukan tugas sebagai intelektual.
Sedikit sekali Islamis Barat yang memandang positif pemikirannya. Umumnya, mereka menganggap Quthb adalah ideolog yang menyebarkan semangat ekstrimisme dan fundamentalisme, penganjur kekerasan dan terorisme. Bahkan tidak sedikit yang menyamakannya dengan Jamaah Islam wal Takfir, sesuatu kesimpulan yang sangat gelabah, mengingat Quthb tak pernah menuduh sesama muslim Kafir begitu saja, paling “keras” adalah Thagut” dan “Jahiliyah”, dan juga mengingat semangat intelektual yang tidak ada dalam Jamaah Takfir. Dalam Tafsir Zilal, ia menjelaskan: “Sesungguhnya tugas kita bukan untuk menghukumi manusia, ini kafir ini mukmin. Tapi tugas kita adalah mengenalkan hakikat laa Ilaaha Illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Kerana manusia tidak mengetahui dampak dasar kalimat tersebut iaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan.”
Tapi ada juga yang memandangnya positif atau, paling tidak, neutral dan seimbang. Misalnya Robert D. Lee, Profesor Politik yang menulis bukuOvercoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Authenticity. Menurutnya, dalam sejarah pemikiran, kesejatian diri dan kelompok senantiasa dicari dan diperjuangkan dari masa ke masa. Dalam konteks masyarakat, agenda ummat Islam tidak mahu disetir oleh kepentingan orang lain, tapi dibangun berdasarkan keunikan dan warisan budaya yang murni milik sendiri. Persoalan ini menjadi berkembang dan melimpah ketika bersentuhan dengan moderniti dan pembangunan. Lee lantas membandingkan pemikiran orang yang sudah hafal Qur’an sejak usia 10 tahun ini dengan Ali Shari’ati, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Arkoun. Menurut Lee, Quthb mencari kesejatian dengan menafsirkan Al-Qurán, yang menghasilkan tafsir Zilal. Bagi Quthb, Islam Sejati tidak hanya sekadar ada dalam konsep dan pemikiran, tapi juga dalam tindakan nyata.
Agaknya, anak kedua yang saudara kandung Hamidah, Muhammad, dan Aminah Quthb ini mengambil ikhtisas dalam Aqidah, pemurnian Tauhid. Hal itu tampak jelas dalam ketiga karya yang disebutkan di atas.
Sayyid Quthblah yang dipandang menghubungkan Ikhwan antara Imam Al-Banna yang gugur terbunuh dengan Ikhwan muda lainnya ditahun 1960-an. Boleh dibilang, dialah ideolog kedua dalam Ikhwan. Dibawah tekanan yang keras dari penguasa, ia membenihkan pemikirannya tentang “Masyarakat Jahiliyah Moden”, dan dalam siksaan penjara ia melahirkan karya besarnya, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an. Baginya, moderniti menolak kedaulatan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan. Lalu dia dihukum mati kerana bukunya Ma’alim Fi ath-Thariq yang dianggap subversif ekoran menuduh penguasa waktu itu sebagai Masyarakat Jahiliyah dan Thaghut, bahkan ia dituduh ingin mengadakan makar untuk meruntuhkan regim.
Dirasat al-Islamiyah, terbit tahun 1952, diberi julukan “Buku Tahun Ini”. Buku ini terbit sebelum Thariq dan Tafsir Zilal, tetapi nuansa kedua buku itu sudah kental terasa di buku ini.Agaknya, di buku itu, dia berusaha memaksimunkan fungsinya sebagai budayawan, sasterawan, pengamat sosial, filsuf, dan ideolog gerakan Islam secara serentak. Penafsirannya begitu dalam dan wawasannya begitu luas. Pemikiran murid Mahmud Abbas Akkad yang begitu keras dan revolusioner terasa begitu indah dan mengalir dengan mudah, berkat kepiawaiannya dalam gaya bahasa.
Dalam “Pemusnah Berhala” dia menulis:”Risalah Muhammad SAW adalah revolusi membebaskan manusia secara total yang mencakup segala segi kehidupan manusia, dan menghancurkan berhala-berhala, terlepas dari apapun juga namanya, yang terdapat dalam segi-segi kehidupan manusia itu.” Lantas diuraikanlah, berhala apa saja yang wajib dihancurkan, antara lain, berhala kefanatikan agama, rasialisme, perbedaan kemasyarakat dan sistem kelas, dan kesewenangan penguasa.
Kerasnya pemikiran revolusinya, khususnya tentang Islam Kaffah, membuatnya menulis “Ambil Islam seluruhnya atau Tinggalkan Sama Sekali!”. Bahkan dalam “Satu Jalan”, dia menulis:”Kita amat terpaksa memilih satu jalan saja” seraya mengumandangkan “‘Mode’ nasionalisme setempat telah berakhir”.
Pemikiran tentang “revolusi Islam” yang mendobrak dominasi berhala, dalam ertian yang seluas-luasnya, ini kemudian dikembangkan lagi dalam Thariq. Quthb menulis:”Seluruh dunia ini sekarang dalam suatu ‘kejahiliahan’ dipandang dari segi asal yang menjadi sumber unsur-unsur kehidupan dan sistem-sistemnya.”
Dia juga menulis:”Kejahiliahan ini berdasarkan pelanggaran terhadap kekuasan Allah diatas bumi, terutama hak-hak khusus ke-Tuhanan.” Quthb menyatakan, sistem Jahiliyah berpendapat bahawa manusialah yang berkuasa. Bererti, dalam berbagai tafsir, manusia masih menyembah sesuatu diluar Tuhan, apakah itu kekuasaan, atau apapun.
“Hanya dalam metode Islam sajalah, manusia seluruhnya bebas dari saling menyembah. Mereka hanya menyembah Allah. Menerima perintah dari Allah saja. Tunduk kepada Allah saja,” tulisnya. Pemikiran Quthb ini senada dengan Abul Hasan al-Maududi dari Pakistan dan Muhammad Natsir dari Indonesia.
Tetapi, seekstrim apapun pemikirannya, tidak ada ajakan untuk mengkafirkan sesama muslim lainnya, atau bergerak melakukan perlawanan bersenjata, misalnya. Agaknya, Quthb masih tetap dalam koridor yang ditetapkan Hasan Hudaibi, mursyidul ’am ketika itu, bahawa “Kita Da’i (penyeru) dan bukan Hakim!”.
Di penjara, Quthb mencuba menafsirkan al-Qur’an secara lengkap. Tentu saja keadaan zaman saat itu, di bawah tekanan, fitnah, siksaan, dan penganiayaan membuatnya berfikir tentang ideologi yang terbaik pada waktu itu. Banyak orang yang kagum dengan tafsir Zilal ini, yang kental dengan nilai sastera yang tinggi. Lagipula, inilah tafsir al-Qur’an paling mutakhir yang dikaji dengan kacamata masyarakat Islam yang hidup di masa moden.
Tentu saja, dalam suasana tersiksa dan serba terbatas, Quthb tidak luput dari kekhilafan dan juga penafsiran yang ketika dibaca kembali di zaman yang berbeza, begitu ‘tidak lazim’. Hal ini diakuinya sendiri. Misalnya dalam Sajdah ayat 4, al-Furqon ayat 9, Thaha ayat 5, ar-Rad ayat 2, Yunus ayat 3, dan al-Hadiid ayat 4. Quthb pun menilai pandangannya kembali, tetapi syahid telah lebih dulu menjemputnya ketika usaha tersebut baru menyentuh juz 14. Hasil tafsirnya dijelaskan dalam tafsir surah al-A’raf.
Tetapi semangat jiwa besar dan autokritik yang sedemikian hanya ada pada pemikir yang sudah matang dan mau mengakui kekeliruannya. Dan jiwa ini hadir dalam hati Sayyid Quthb. Beliau tak takut melakukan salah tafsir, dan tak takut untuk meralatnya kembali bila dianggapnya kurang tepat. Dan kritik terhadap tafsirnya boleh dibilang melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Yang jelas, Quthb telah melakukan revolusi wacana.

No comments:

Post a Comment