Sholahuddin al-Ayyubi: Pemimpin Perang Cerdas Nurani Mac 19, 2007
Posted by ummahonline in Catatan Kaki, Kolum.trackback
Oleh: Ekky Malaky
Catatan: dimuat pertama kali di majalah Nebula. Diterbitkan ulang oleh Ummahonline.
https://ummahonline.wordpress.com/2007/03/19/sholahuddin-al-ayyubi-pemimpin-perang-cerdas-nurani/#more-563
Sholahuddin Al-Ayyubi, salah satu pemimpin besar sepanjang masa. FilemKingdom of Heaven karya Sir Ridley Scott merakam kecerdasan nurani panglima tertinggi Islam saat itu, Sholahuddin al-Ayyubi. Bahkan Barat pun menghargainya. Di tenda besar berwarna putih itu, di tengah-tengah Perang Salib yang menghabiskan banyak korban, waktu, dan biaya itu, terdengar dialog bernas antara Saladin dan tangan kanannya.
“Kita harus serang mereka sekarang,” usul sang tangan kanan Saladin.
“Tidak, kita buat perencanaan yang matang dulu,” sanggah Saladin.
“Kita akan menang, kerana ini sudah kehendak Allah,” teriak
“Kita akan menang kerana perencanaan yang matang,” ujar Saladin, sang pemimpin tertinggi pasukan Muslim.”…dan tentu saja kerana kehendak Allah,” segera sang pemimpin itu menambahkan.
Diskusi itu ditutup dengan kalimat Saladin: ”Di setiap pertempuran, aku selalu menang, tentu saja dengan kehendak Allah, kerana matangnya perencanaan perang,” tegasnya.
Dialog di atas mengandung banyak hikmah. Tentang betapa terencananya Saladin, atau yang kita kenal dengan nama Shalahuddin al-Ayyubi. Dan betapa Sholahuddin juga mendengarkan pernyataan anak buahnya. Juga percakapan filosofis tentang takdir dan peranan usaha manusia (ikhtiar). Dialog itu terakam lewat filem Kingdom of Heaven garapan Sir Ridley Scott yang pernah meraih Anugerah Oscar lewat Gladiator.
Sholahuddin di filem garapan Barat itu diperlihatkan sebagai sosok yang agung dan spiritual. Tengok saja adegan penghujung saat dirinya bernegosiasi dengan Balian dari Ibelin, panglima dari kaum Nashrani yang ketakutan dengan kemenangan Islam di Jerusalam kerana akan membalas membantai kaum Nasrani, sebagaimana mereka memperlakukan Muslim seratus tahun sebelumnya. Saladin hanya tersenyum dan menjawab: ”Aku Saladin, bukan mereka. Pergilah ke negeri-negeri Kristian, bawa pasukan dan rakyatmu yang memang ingin pergi. Tak ada pembunuhan,” katanya.
Sholahuddin Yusuf ibn Ayyub memang dikenal dengan toleransi yang tinggi dan penuh dengan rasa peri-kemanusiaan. Dalam setiap pertempuran, pesannya selalu sama: “minimalkan pertumpahan darah, jangan melukai wanita dan anak-anak”. Dia disegani lawan-lawannya, sehingga dalam Perang Salib III, ada istilah ‘Saladin Tithe’ (“Zakat” melawan Saladin). Tapi namanya harum di medan perang yang panjang itu, dan diakui kawan dan lawan. Bersama dengan Raja Baldwin IV, dia menginginkan sebuah kota Yerusalam yang damai bagi ketiga agama besar, sebuah Kingdom of Conscience , Kingdom of Heaven (kerajaan nurani, kerajaan syurga).
Sebenarnya, bisa saja keturunan Kurdis (bukan-Arab) ini menyerang Jerusalem, kerana “..200 ribu pasukannya sudah siap tempur…” jelas Tiberias kepada Raja Baldwin. Tapi sang panglima itu tidak melakukannya, kerana sudah berkomitmen untuk tidak menyerang Jerusalem asalkan umat Muslim tidak diganggu. Tapi, seperti terlihat dalam filem itu, perjanjian dilanggar oleh raja baru Guy de Lusignan yang memerintahkan Raynald of Chatillon membunuh sekelompok kafilah Muslim yang sedang berdagang dan akan berhaji di Laut Merah, juga saudari Sholahuddin. Dan perang pun pecah. Pada Julai 1187, Saladin menyerang Kerajaan Jerusalem dan terlibat dalam pertempuran Hattin dan berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy of Lusignan. Dia kembali ke Jerusalem 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah kaum Salib berkuasa.
“Persahabatan”nya dengan musuh terbesarnya, Raja Richard I dari Inggeris—Raja Inggeris yang mengobarkan Perang Salib III yang dijuluki The Lion Heart–juga legendaris. Kepada Richard—satu-satunya raja yang pernah memukul mundur pasukan Muslim– Sholahuddin mengirimkan tabib terbaiknya—dan saat itu memang dunia Islam memimpin dunia sains dan teknologi termasuk kedoktoran. Saat Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor penggantinya. Bahkan, dalam satu pertempuran, saat berhadap-hadapan dengan Richard dari Inggris pada Perang Arsuf tahun 1191, di luar perkiraan kedua pasukan, Saladin dan Richard saling berjabat tangan dan menghormat satu sama lain.
Di medan itu, keduanya sepakat berdamai. Di tahun 1192 keduanya untuk membahagi wilayah pesisir untuk Kaum Kristian dan Jerusalem untuk Kaum Muslim. Perjanjian Ramla itu menyatakan bahawa Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristian. Bahkan, adik Richard dinikahkan dengan saudara Saladin.
Sholahuddin pula yang menghidupkan semangat jihad merebut kota Jerusalem dengan inovasinya yang unik. Dia mengadakan acara menulis riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dalam rangka memperingati maulud nabi. Dan, lahirlah syair Barzanzi yang masih hidup hingga saat ini.
Budi baiknya dikenal tidak di kalangan muslim, tetapi juga lawan-lawannya. Tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar. Pernah, saat berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat.
Kelahiran Tikrit (Irak) pada 532 Hijriah (1138 Masehi) di di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad ) dekat sungai Tigrisini begitu cerdas nurani dan emosinya. Mungkin kerana dia menghayati ilmu-ilmu yang didapatnya dari guru-gurunya—seperti ayahnya Najamuddin al-Ayyubi, Nuruddin Zangi dan pamannya Asaddin Shirkuh yang pejabat Dinasti Seljuk dan dekat dengan raja Suriah, Nuruddin Mahmud —di antaranya menguasai ilmu kalam, fikih, ilmu-ilmu al-Qur’an, dan juga hadits, di samping ketenteraan. Bahkan, ia memberikan catatan kaki (syarah) dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Berbeza dengan sultan kebanyakan, dia tidak membuat istana megah untuk dirinya. Tetapi, justeru masjid, hospital, dan universiti yang dibangunnya untuk publik, di Kaherah, Mesir.
Setahun setelah Perjanjian Ramla, setelah pulangnya Richard ke Inggeris, tepatnya 4 Mac 1193, Sholahuddin meninggal di Damsyik tidak lama setelah jatuh sakit. Ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, wang sebanyak satu dinar dan 36 dirham miliknya. Rupanya hartanya lebih banyak mengalir kepada golongan fakir miskin.
Saladin, begitu lidah Barat menyebutnya, sudah wafat. Tapi perilaku dan kecerdasan nuraninya akan terus dikenang, bahkan oleh Barat. Kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastera Eropah, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott. “Di Eropah” tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi mahupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria,”
Kini makamnya menjadi salah satu destinasi kunjungan popular di Syria.
No comments:
Post a Comment