Friday 1 January 2016

BENARKAH KEMISKINAN MENGANCAM? Belajar Arif dari Beberapa Film

Benarkah Kemiskinan Mengancam?
Belajar Arif dari Beberapa Film


Oleh: Ekky Imanjaya,
Redaktur Rumahfilm.org


Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
Seperti para koruptor

(Seperti Para Koruptor, Slank)



Di Kompas (Minggu, 5/10), ada judul menarik: Ketika Kemiskinan Mengancam. Itulah judul resensi film Doa yang Mengancam, karya mutakhir Hanung Bramantyo. Benarkah kemiskinan adalah ancaman? Ataukah mentalitas dan tanggapan  masyarakat terhadap kemiskinan lah, yang justru merupakan ancaman? Saya tergelitik ingin memeriksa tesa dalam tulisan itu melalui representasi persoalan kemiskinan di film-film Indonesia lain.

Jelas sekali kemiskinan tergambar dalam Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008). Tapi, apakah ia menjadi sebuah ancaman yang membuat orang yang mengalaminya bergidik ketakutan? Tidak terlihat ada keluhan apa pun dari ke-12 anak-anak Belitong, mau pun para guru dan orang tua yang ada di sana. Itu karena prinsip “Hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya, bukan meminta sebanyak-banyaknya” benar-benar diterapkan dalam hidup mereka. Dan, mereka siap berkorban apapun demi cita-cita dan harapan yang jauh lebih mulia bahkan dari diri mereka sendiri.

Mereka sadar, kemiskinan harus dijalani, dan hanya dengan pendidikan mereka bisa mengatasinya. Karena itulah, alih alih menjadi buruh atau nelayan membantu meringankan beban orang tua, mereka (didorong untuk) terus bersekolah –hal yang aneh pada saat itu. “Buat apa sekolah, kalau akhirnya jadi buruh juga,” celetuk salah satu dari pegawai PN Timah di awal film.

Toh, kemiskinan tidak serta merta membuat hidup mereka jadi ”tak putus dirundung malang” dan serba nelangsa. Serba kekurangan, banyak halangan dan rintangan, tentu saja hadir senantiasa. Tapi tampaklah para tokoh utama di Laskar Pelangi tak menyerah, bersitahan menghadapi kemiskinan itu dengan terus bersekolah. Minimal, dengan terus percaya bahwa sekolah adalah penting untuk keluar dari kemiskinan itu.

Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993), salah satu contoh film terbaik tentang bagaimana manusia modern Indonesia menyiasati kemiskinan. Sang tokoh utama, Dedi (Dede Yusuf) dan Menul (Ayu Azhari), begitu bijak dan sabar dalam menghadapi keserbakekurangan hidup –termasuk dimarahi Bu Kapten, sang pemilik rumah kontrakan, di depan banyak orang karena menunggak bayar. Mereka masih memiliki humor. Sang anak memanggil Dedi dengan “Daddy”, plesetan namanya yang juga kata Inggris untuk “ayah”. Jika ingin berhubungan badan, Dedi dan Menul memakai istilah “pusing”. 

Dedi jadi badut Ancol, sekadar untuk bertahan hidup. Dia masih terus berakhlak mulia, bahkan tetap jujur dengan mengembalikan dompet seorang kaya. Justru kejujuran itu yang membawanya pada pintu rezeki. Yang menarik adalah sosok filsuf nyentrik, rekannya membadut yang menyatakan dengan sok merenung dan sok getir bahwa: “Sungguh Keterlaluan! Sungguh keterlaluan kemiskinan kita!”, tetapi tetap menyatakan bahwa usaha untuk keluar dari kondisi prihatin itu  adalah dengan…tetap berpikir. Ada humor di situ, seperti di sekujur film, yang membuat mereka kuat menghadapi kemiskinan.

Humor juga sering jadi jurus sutradara Sjumandjaja dalam menggambarkan benteng pertahanan terhadap gempuran kemiskinan, seperti lewat film-film Si Doel-nya. Namun dalam SiMamad (Sjumandjaya, 1973), terasa suasana lebih serius. Film ini juga bercerita tokoh miskin yang tetap mempertahankan kejujuran dan nilai-nilai moral. Sebagai pegawai negeri (di masa awal Orde Baru), Mamad (Mang Udel) adalah satu-satunya orang yang tidak korupsi di kantornya. Hingga suatu saat istrinya hamil muda, dan ia terpaksa mencuri barang kecil-kecilan seperti ATK (alat-alat tulis kantor).

Di situlah tragedi terjadi. Dirundung rasa bersalah yang amat sangat, Mamad tak peduli lagi dengan kebutuhan hidup keluarganya, bahkan ia mengaku ke atasannya bahwa dia korupsi dan minta dihukum. Baginya, nilai-nilai moralitas dan spiritualitas dijunjung di atas nilai materialistik –walau dunia seolah tak peduli.

Gambaran lain yang sangat menarik tentang kemiskinan di kota, bisa kita lihat pada Rindu Kami Pada-Mu (Garin Nugroho, 2004). Film ini dengan jelas menegaskan bahwa masyarakat urban di perkampungan  tidak saja mencoba menjalani hidup apa adanya dengan berbagai usaha tanpa kenal lelah dan keluh, tetapi juga meninggikan semangat solidaritas dan gotong royong. Misalnya, para tetangga yang mau mudik menitipkan kunci rumah dan bahkan ayam kepada pemilik warung dan penjaga masjid.

Alih-alih saling menjegal dan menyikut, mereka saling bantu membantu dan tolong menolong.  Dan sentilan-sentilan kritik sosial juga hadir. Misalnya, celetukan bahwa orang-orang lebih suka menyepuh emas dan berbelanja baju baru untuk berlebaran daripada mengeluarkan uang untuk sumbangan pembangunan masjid. Kemiskinan tidak membuat mereka nafsi-nafsi (egois), saling menginjak, atau mengubah watak idealisme mereka menjadi makhluk pencari untung semata.

*

Nah, bagaimana dengan gambaran kemiskinan dalam Doa yang Mengancam? Benarkah, di film terbaru Aming ini, kemiskinan itu sungguh mengancam dan menjadi alasan untuk melakukan hal-hal yang mengubah seseorang menjadi murtad, penyembah setan, atau menjadi kriminal, menghalalkan segala cara, pendek kata: menjadi jahat dan berlaku buruk?

Jika kita melihat separuh jalan pertama, jawabannya: iya. Bagi Madrim, sang tokoh utama, ia harus menjadi kaya raya agar bisa mendapatkan cinta Leha, istrinya, kembali –juga menjadi solusi bagi seluruh persoalannya. Tetapi, setelah kemiskinan menjadi kekayaan, dan uang berlimpah, apakah ia mendapatkan kebahagiaan yang didapat? Apakah persoalannya terselesaikan?

Ternyata, di paruh terakhir, penonton disuguhi sebuah hikmah bahwa kebahagiaan spiritual lebih baik dari kebahagiaan material (uang, kekayaan), bahkan emosional (cinta, dihormati, dihargai). Ternyata, di film itu, bukan kemiskinan yang menjadi ancaman yang sebenarnya. Saat Madrim kaya raya, ternyata ia merasa hampa.

Uang bukan jawaban, rupanya. Justru perenungan Madrim terhadap kemiskinan, dan kejadian-kejadian aneh yang menimpanya, membuatnya melakukan semacam perjalanan spiritual untuk meraih kebahagiaan yang lebih dari sekadar kekayaan dan kekuasaan. Sebenarnya, ia rindu akan istrinya, yang justru menjadi sumber awal segala cerita.

Ternyata, masalahnya bukan terletak pada kondisi objektif kemiskinan itu sendiri. Masalahnya ada pada respons, perilaku, dan pandangan-dunia sang manusia terhadap fenomena bernama kemiskinan.  Jika manusianya punya visi dan misi yang mulia yang ingin dicapai, ingin mempertahankan nilai-nilai luhur seperti kejujuran dan pengorbanan (altruisme), dan mencari kebahagiaan hakiki, maka kemiskinan bukan sebuah ancaman. Atau jika sang pejalan kehidupan itu  bisa memaknai hidup (seperti diajarkan Victor Frankl –silakan baca!), atau lewat nilai-nilai seperti yang terpapar dalam film-film kita di atas.

Ini sejalan dengan ide  KH Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Meraih Kebahagiaan. Intinya:  bahagia atau menderita itu pilihan. Musibah, seperti  kehilangan anak, kebakaran rumah, penyakit, kecelakaan, kemelaratan, penghinaan, pengkhianatan, berasal dari luar dan sebuah keniscayaan atau realitas objektif. Sementara, kebahagiaan bersifat subjektif. Orang miskin bisa memilih apakah dia merasa tertekan atau bergembira dalam kondisi yang sama.

Kita bisa belajar dari Dedi, Mamad, atau Ikal dan Lintang serta Pak Harfan dan Ibu Mus untuk soal ini. (*)


No comments:

Post a Comment