Benarkah Kemiskinan Mengancam?
Belajar Arif dari Beberapa Film
Oleh: Ekky Imanjaya,
Redaktur Rumahfilm.org
Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
Seperti para koruptor
(Seperti Para Koruptor, Slank)
Di Kompas (Minggu, 5/10), ada judul menarik: Ketika
Kemiskinan Mengancam. Itulah judul resensi film Doa yang Mengancam,
karya mutakhir Hanung Bramantyo. Benarkah kemiskinan adalah ancaman? Ataukah mentalitas
dan tanggapan masyarakat terhadap
kemiskinan lah, yang justru merupakan ancaman? Saya tergelitik ingin memeriksa
tesa dalam tulisan itu melalui representasi persoalan kemiskinan di film-film
Indonesia lain.
Jelas sekali kemiskinan tergambar dalam Laskar Pelangi
(Riri Riza, 2008). Tapi, apakah ia menjadi sebuah ancaman yang membuat
orang yang mengalaminya bergidik ketakutan? Tidak terlihat ada keluhan apa pun
dari ke-12 anak-anak Belitong, mau pun para guru dan orang tua yang ada di
sana. Itu karena prinsip “Hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya, bukan
meminta sebanyak-banyaknya” benar-benar diterapkan dalam hidup mereka. Dan,
mereka siap berkorban apapun demi cita-cita dan harapan yang jauh lebih mulia
bahkan dari diri mereka sendiri.
Mereka sadar, kemiskinan harus dijalani, dan hanya dengan
pendidikan mereka bisa mengatasinya. Karena itulah, alih alih menjadi buruh
atau nelayan membantu meringankan beban orang tua, mereka (didorong untuk)
terus bersekolah –hal yang aneh pada saat itu. “Buat apa sekolah, kalau
akhirnya jadi buruh juga,” celetuk salah satu dari pegawai PN Timah di awal
film.
Toh, kemiskinan tidak serta
merta membuat hidup mereka jadi ”tak putus dirundung malang” dan serba nelangsa.
Serba kekurangan, banyak halangan dan rintangan, tentu saja hadir senantiasa.
Tapi tampaklah para tokoh utama di Laskar Pelangi tak menyerah,
bersitahan menghadapi kemiskinan itu dengan terus bersekolah. Minimal, dengan
terus percaya bahwa sekolah adalah penting untuk keluar dari kemiskinan itu.
Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993), salah satu contoh film terbaik tentang bagaimana manusia
modern Indonesia menyiasati kemiskinan. Sang tokoh utama, Dedi (Dede Yusuf) dan
Menul (Ayu Azhari), begitu bijak dan sabar dalam menghadapi keserbakekurangan
hidup –termasuk dimarahi Bu Kapten, sang pemilik rumah kontrakan, di depan
banyak orang karena menunggak bayar. Mereka masih memiliki humor. Sang anak
memanggil Dedi dengan “Daddy”, plesetan namanya yang juga kata
Inggris untuk “ayah”. Jika ingin berhubungan badan, Dedi dan Menul memakai
istilah “pusing”.
Dedi jadi badut Ancol, sekadar untuk bertahan hidup. Dia
masih terus berakhlak mulia, bahkan tetap jujur dengan mengembalikan dompet
seorang kaya. Justru kejujuran itu yang membawanya pada pintu rezeki. Yang
menarik adalah sosok filsuf nyentrik, rekannya membadut yang menyatakan dengan
sok merenung dan sok getir bahwa: “Sungguh Keterlaluan! Sungguh keterlaluan
kemiskinan kita!”, tetapi tetap menyatakan bahwa usaha untuk keluar dari
kondisi prihatin itu adalah dengan…tetap
berpikir. Ada humor di situ, seperti di sekujur film, yang membuat mereka kuat
menghadapi kemiskinan.
Humor juga sering jadi jurus sutradara Sjumandjaja dalam
menggambarkan benteng pertahanan terhadap gempuran kemiskinan, seperti lewat
film-film Si Doel-nya. Namun dalam SiMamad (Sjumandjaya, 1973),
terasa suasana lebih serius. Film ini juga bercerita tokoh miskin yang tetap
mempertahankan kejujuran dan nilai-nilai moral. Sebagai pegawai negeri (di masa
awal Orde Baru), Mamad (Mang Udel) adalah satu-satunya orang yang tidak korupsi
di kantornya. Hingga suatu saat istrinya hamil muda, dan ia terpaksa mencuri barang
kecil-kecilan seperti ATK (alat-alat tulis kantor).
Di situlah tragedi terjadi. Dirundung rasa bersalah yang
amat sangat, Mamad tak peduli lagi dengan kebutuhan hidup keluarganya, bahkan
ia mengaku ke atasannya bahwa dia korupsi dan minta dihukum. Baginya,
nilai-nilai moralitas dan spiritualitas dijunjung di atas nilai materialistik
–walau dunia seolah tak peduli.
Gambaran lain yang sangat menarik tentang kemiskinan di
kota, bisa kita lihat pada Rindu Kami Pada-Mu (Garin Nugroho, 2004).
Film ini dengan jelas menegaskan bahwa masyarakat urban di perkampungan tidak saja mencoba menjalani hidup apa adanya
dengan berbagai usaha tanpa kenal lelah dan keluh, tetapi juga meninggikan
semangat solidaritas dan gotong royong. Misalnya, para tetangga yang mau mudik
menitipkan kunci rumah dan bahkan ayam kepada pemilik warung dan penjaga
masjid.
Alih-alih saling menjegal dan menyikut, mereka saling
bantu membantu dan tolong menolong. Dan
sentilan-sentilan kritik sosial juga hadir. Misalnya, celetukan bahwa
orang-orang lebih suka menyepuh emas dan berbelanja baju baru untuk berlebaran
daripada mengeluarkan uang untuk sumbangan pembangunan masjid. Kemiskinan tidak
membuat mereka nafsi-nafsi (egois), saling menginjak, atau mengubah
watak idealisme mereka menjadi makhluk pencari untung semata.
*
Nah, bagaimana dengan
gambaran kemiskinan dalam Doa yang Mengancam? Benarkah, di film terbaru
Aming ini, kemiskinan itu sungguh mengancam dan menjadi alasan untuk melakukan
hal-hal yang mengubah seseorang menjadi murtad, penyembah setan, atau menjadi kriminal,
menghalalkan segala cara, pendek kata: menjadi jahat dan berlaku buruk?
Jika kita melihat separuh jalan pertama, jawabannya: iya.
Bagi Madrim, sang tokoh utama, ia harus menjadi kaya raya agar bisa mendapatkan
cinta Leha, istrinya, kembali –juga menjadi solusi bagi seluruh persoalannya.
Tetapi, setelah kemiskinan menjadi kekayaan, dan uang berlimpah, apakah ia
mendapatkan kebahagiaan yang didapat? Apakah persoalannya terselesaikan?
Ternyata, di paruh terakhir, penonton disuguhi sebuah
hikmah bahwa kebahagiaan spiritual lebih baik dari kebahagiaan material (uang,
kekayaan), bahkan emosional (cinta, dihormati, dihargai). Ternyata, di film
itu, bukan kemiskinan yang menjadi ancaman yang sebenarnya. Saat Madrim kaya
raya, ternyata ia merasa hampa.
Uang bukan jawaban, rupanya. Justru perenungan Madrim
terhadap kemiskinan, dan kejadian-kejadian aneh yang menimpanya, membuatnya
melakukan semacam perjalanan spiritual untuk meraih kebahagiaan yang lebih dari
sekadar kekayaan dan kekuasaan. Sebenarnya, ia rindu akan istrinya, yang justru
menjadi sumber awal segala cerita.
Ternyata, masalahnya bukan terletak pada kondisi objektif
kemiskinan itu sendiri. Masalahnya ada pada respons, perilaku, dan
pandangan-dunia sang manusia terhadap fenomena bernama kemiskinan. Jika manusianya punya visi dan misi yang mulia
yang ingin dicapai, ingin mempertahankan nilai-nilai luhur seperti kejujuran
dan pengorbanan (altruisme), dan mencari kebahagiaan hakiki, maka kemiskinan
bukan sebuah ancaman. Atau jika sang pejalan kehidupan itu bisa memaknai hidup (seperti diajarkan Victor
Frankl –silakan baca!), atau lewat nilai-nilai seperti yang terpapar dalam
film-film kita di atas.
Ini sejalan dengan ide KH Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Meraih
Kebahagiaan. Intinya: bahagia atau
menderita itu pilihan. Musibah, seperti kehilangan anak, kebakaran rumah, penyakit,
kecelakaan, kemelaratan, penghinaan, pengkhianatan, berasal dari luar dan sebuah
keniscayaan atau realitas objektif. Sementara, kebahagiaan bersifat subjektif. Orang
miskin bisa memilih apakah dia merasa tertekan atau bergembira dalam kondisi
yang sama.
Kita bisa belajar dari Dedi, Mamad, atau Ikal dan Lintang
serta Pak Harfan dan Ibu Mus untuk soal ini. (*)
No comments:
Post a Comment