September 3, 2008
Posted by ummahonline in Catatan Kaki, Kolum.trackback
Oleh: Ekky al-Malaky
catatan: tulisan lama, diterbitkan ulang oleh Ummahonline:
https://ummahonline.wordpress.com/2008/09/03/apresiasi-sastera-dan-semangat-tausyiah/#more-775
Kritik sastera. Wow. Istilah itu, kalau benar-benar diterapkan fungsinya, merupakan tugas “mulia” yang kedudukannya sejajar dengan sang sasterawannya sendiri.
Memang, secara umum, dunia kesusasteraaan setidaknya terdapat empat unsur. Pertama, tentu saja adalah sang pembuat karya alias sasterawan. Setelah karya lahir, maka akan hadir pembaca atau penikmat karya. Setelah itu akan timbul kritik yang merupakan respon para pembaca yang serius dan mendalam. Setelah itu, barulah ada teori oleh kaum akademikus. Jadi, kritikus mempunyai tempat yang tak kalah penting dibanding unsur lainnya.
Kritik bukan sekadar menimbang-nimbang sebuah karya atau mencari-cari kesalahan atau sebaliknya, menyanjung-nyanjung setengah mati sebuah karya. Kritik juga bisa berarti memberikan makna baru dalam sebuah teks atau karya sastera. Misalnya, orang tahun 1960an tentu akan berbeda pandangannya soal novel Layar Terkembang atau Sengsara Membawa Nikmat dengan angkatan 2000. hal itu karena perbedaan sudut pandang, disiplin ilmu yang digeluti, ideologi, jiwa zaman, pandangan-dunia, pendidikan, pekerjaan, latar belakang keluarga, dan masih banyak lagi. Dengan adanya kritik dari berbagai pihak, maka akan banyak penafsiran atau pembaharuan penafsiran tentang sebuah karya. Dan itu akan memperkaya makna dari karya itu sendiri.
Kritik adalah sebuah apreasiasi, penghargaan. Penghargaan yang baik tidak sekadar memperlihatkan kelebihan, tetapi juga mengkritisi karya dengan menunjukkan kelemahan karyanya—atau sebaliknya. Nah , dalam sebuah konteks sastera yang islami, mengandung makna “tausyiah”, saling mengingatkan.
Okelah, jangan dipakai kata “kritik”, kalau dianggap terlalu berat, terlalu ilmiah. Marilah kita pakai kata apresiasi. Mungkin lebih “ringan” bagi kita-kita. Biasanya, apresiasi adalah kritik tapi yang “ringan-ringan” saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Setiap orang bisa menjadi seorang yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap sebuah karya. Walau demikian, seawam apa pun kita, seorang kritikus yang baik haruslah mempertimbangkan dan mempertanggungjawabkan segala ucapan atau tulisannya yang mengkritisi sebuah karya. Tidak bisa kita berkata “cerpenmu jelek”, tanpa menjelaskan jeleknya dimana. Atau menulis “penokohannya tidak berkembang” tetapi tidak menjabarkannya lebih lanjut. Mengapa? Karena kritik seperti ini tidak konstruktif, tidak memberikan masukan apa-apa baik kepada sang penulisnya maupun kepada pembaca kritiknya. Kritik yang seperti itu tidak bernuansa “tausyiah”, saling mengingatkan.
Tausyiah, sekadar penyegaran, setidaknya terdiri dari tiga hal: tausyiah dalam kebenaran (bil-haq), tausyiah dalam kesabaran (bis-shobr). Lantas yang ketiga?
Mari kita tengok surat al-Balad. Di sana tausyiah dalam kesabaran diulang lagi (yang menegaskan pentingnya hal ini) dan ada satu lagi yang disebut: tausyiah dalam kasih sayang (bil-marhamah).
Ini ertinya, dalam mengkritik atau mengapresiasi, kita harus terus dijiwai oleh semangat saling mengingatkan, saling menasehati, saling memberitahu, dalam hal kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang. Konteks tausyiah ini menyatakan bahwa meski pun kita dengan tegas dan terang-terangan mengkritik kekurangan dan kelemahan saudara kita (tausyiah bi-haq), tetapi sebaiknya ada unsur yang menyabarkan hatinya dan teknisnya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Artinya, konstruktif, dengan semangat ingin mengoreksi saudara kita agar berkarya lebih baik lagi; dan bukan sebaliknya: membuat dirinya minder dan patah arang dan akhirnya berhenti menulis. Apalagi dengan niat yang tidak baik, seperti iri hati dan dengki atau sengaja menjatuhkan sang penulis. Naudzubillah.
Oke, setelah kita isi jiwa dan akal kita dengan semangat tausyiah, mari kita kembali ke apreasiasi. Apresiasi sastera, memakai bahasa agak ilmiah, adalah pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastera yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastera itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu
Dalam mengapresiasi sastera, seseorang akan mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam karyanya. Ini terjadi karena adanya daya empati yang membuat pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan menghayati pengalaman pengarang ini dalat menimbulkan kenikmatan bagi pembaca. Mengapa? Karena pembaca merasa mampu memahami pengalaman orang laion, juga merasa pengalamannya bertambah hingga dapat menghadapi kehidupan dengan lebih baik. Pembaca juga merasa kagum akan kemampuan sasterawan dalam memberikan, memadukan, dan memperjelas makna terhadap pengalaman yang diolahnya, serta mampu menemukan nilai-nilai estetik karya itu.
Itu kalau sebuah karyanya bagus, dan pembaca juga sedang mood. Hehehe. Tapi kalau memang dirasakan jelek, katakanlah kebenaran itu walau pun pahit, tentu saja dengan semangat tausyiah ya?
Yang dilihat dalam mengkritik eh mengapreasiasi itu, antara lain:
(1) Tema (pokok pikirian yang dikemukakan pengarang kepada pembaca, gagasan utama). apakah tema cerita? dapatkah tema itu diterima sebagai kebenaran umum?
(2) Sudut pandang. Dari sudut manakah cerita disampaikan? Apakah pengarangnya taat kepada metode itu?
(3) Tokoh dan penokohan. Apakah tokoh disajikan secara langsung? Apakah tokoh-tokoh ini wajar? Apa yang dimaui para tokoh itu dan apa sebabnya? Bagaimana hubungannya tokoh dengan tema.
(4) Alur/plot. Insiden apa yang dipakai untuk melayani tema cerita? Wajar dan hidupkah cara mengungkapkannya?
(5) Gaya bahasa. Gaya bahasa apa yang digunakan? Apakah wajar, tepat, dan hidup?
Demikian sedikit modal. Lain kali akan dilanjutkan lebih dalam.Oke. Selamat berapresiasi. Selamat mengkritik karya.
No comments:
Post a Comment