Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir Mac 5, 2007
Posted by ummahonline in Catatan Kaki.trackback
Oleh: Ekky Malaky
Catatan: Dimuat pertama kali di majalah Nebula. Diterbitkanulang oleh Ummahonline.
https://ummahonline.wordpress.com/2007/03/05/allamah-sir-muhammad-iqbal-penyair-yang-pemikir/#more-550
Muhammad Iqbal adalah sosok besar dalam khazanah kebudayaan Islam. Pemikirannya dikemasnya dalam bentuk puisi, dan itu membuatnya abadi. Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877. Dia adalah seorang filsuf, pemikir, cendekiawan, ahli perundangan, reformis, politikus, dan yang terutama: penyair. Dia berjuang untuk kemahuan umat Islam dan menjadi “bapa spiritual” Pakistan.
Iqbal adalah saksi dari zamannya yang saat itu sedang dalam titik terendah kesuraman. Negerinya, sebagaimana negeri Islam lainnya saat itu, sedang dalam keadaan terjajah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Dan Iqbal, dengan kecerdasan intelektual, emosional,dan spiritual yang dianugerahi Tuhan, bergerak dan melesat, khususnya dalam hal penulisan dan pemikiran, bahkan tenaga dan waktu. Dia menulis dan terus menulis, dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggeris. Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.
Iqbal adalah saksi dari zamannya yang saat itu sedang dalam titik terendah kesuraman. Negerinya, sebagaimana negeri Islam lainnya saat itu, sedang dalam keadaan terjajah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Dan Iqbal, dengan kecerdasan intelektual, emosional,dan spiritual yang dianugerahi Tuhan, bergerak dan melesat, khususnya dalam hal penulisan dan pemikiran, bahkan tenaga dan waktu. Dia menulis dan terus menulis, dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggeris. Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.
Iqbal berjuang di All-India Muslim Leage di awal 1930an. Bersama Muhammad Ali Jinnah, dia merumuskan konsep Negara bagi Muslim India, dan tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 kerana sudah wafat pada 1938. Iqbal juga dijuluki Muffakir-e-Pakistan (Pemikir dari Pakistan) dan Shair-i-Mashriq(Penyair dari Timur), dan hari lahirnya dirayakan sebagai hari cuti umum dan dinamai �Iqbal Day� di Pakistan.
Iqbal lahir di Sialkot. Ayahnya, Shaikh Nur Muhammad adalah seorang penjahit yang taat beragama, dan mendalami tasawuf. Ibunya, Imam Bibi, pun seorang muslimah yang taat.
Iqbal menyelesaikan sekolah rendahnya di Sialkot. Bakatnya sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan mulai dirasakan gurunya, Syed Mir Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School pada 1892 dan melanjutkan ke jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) dan lulus ujian pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke Governtment College, Lahore dan mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899. Iqbal turut menerima pingat emas kerana menjadi satu-satunya calon yang sukses di bidang filsafat. Setelah itu, Iqbal mendalami bahasa Arab di Oriental College, Lahore, sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran Filsafat dan Sastera Inggris di Government College, Lahore, pada 1903.
Saat mendapatkan gelaran Master inilah, Iqbal bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk melanjutkan pendidikan di Eropah.
Pada 1905, Iqbal pergi ke Inggeris untuk belajar di Trinity College, Cambridge University, dan juga belajar ilmu hukum di Lincoln Inn. Dia meraih gelar Bachelor of Arts dari Cambridge University tahun 1907, dan meraih gelaran Ph.D. di bidang filsafat dari Fakulti Filsafat di Ludwig-Maximilians University di Munich di tahun yang sama. Gelaran doktoralnya ini diraihnya dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persian dengan bimbingan Prof Dr Friedrich Hommel.
Saat di Eropah inilah, Iqbal mulai menulis puisi dalam bahasa Parsi, kerana boleh dimengerti lebih banyak orang, seperti di Iran dan Afghanistan. Dan, saat di Inggeris, untuk pertama kalinya, Iqbal terjun ke politik. Tahun 1908, ia terpilih menjadi ahli jawatankuasa eksekutif The Muslim League cawangan Inggeris. Bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali, dia ikut membuat konsep perlembagaan Muslim League.
Iqbal memang sedang ingin berjuang untuk martabat bangsa dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada dalam kemunduran dan penjajahan Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu, salah satunya dengan pembaharuan pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa zaman saat itu. “Sesungguhnya sudah masanya bagi kita saat ini untuk memelihara asas-asas Islam,” serunya. Dengarlah semangatnya:
Bangunlah, hai Muslim, hembuskan hidup yang baru Pada segenap jiwa yang hidup Bangkitlah dan nyalakan semangat Orang yang bernyawa Bangkitlah dan letakkan kakimu di jalan lain
Pada 1908, Iqbal pulang, dan sejak itu dia meniti karier di bidang akademik, perundangan, dan, yang paling didalaminya: puisi. Dia bekerja sebagai penolong profesor di Government College, Lahore, yang kemudian dilepaskannya pada 1909 kerana niatnya untuk memberi tumpuan penuh sebagai peguam. Tapi, dalam perjalanannya, Iqbal tidak dapat memberikan fokus sebagai seorang peguam, tetapi membahagi waktunya untuk perundangan dan perkembangan intelektual serta spiritualnya.
Tahun 1911, Iqbal membacakan pusinya Shikvah (Keluhan) pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman Himayat-e-Islam, Lahore. Dan, pada 1913 puisinya Javab-e-Shikyah (Jawaban dari Keluhan) dibacakan di Mochi Gate, Lahore.
Asrar-i-Khudi (Rahsia Diri) terbit pada 1915. Inilah antologi puisi pertama Iqbal, dan ditulis dalam bahasa Parsi. Bukan sekadar puisi, tapi terkandung filsafat agama. Isinya berisi tentang pentingnya Ego. Bagi Iqbal, jawapan atas pertanyaan-pertanyaan esensial berkenaan dengan Ego sangatlah penting untuk persoalan moral, baik untuk individual ataupun masyarakat.
Rumuz-i-Bekhudi (Rahsia Kedirian), dibuat dalam bahasa Parsi tahun 1918. Tema utamanya berisi tentang masyarakat ideal, etika dan prinsip sosial dalam Islam, dan hubungan antara individu dan masyarakat. Di sini, Iqbal juga menjelaskan aspek-aspek penting dari agama lain. Iqbal melihat bahawa individu dan masyarakatnya sebenarnya saling mencerminkan satu dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa yang kuat sebelum bersatu dengan masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya,Ego belajar menerima batas-batasan kebebasannya dan makna cinta.
Pada 1919, dia terpilih sebagai Setiausaha Agung Anjuman Himayat-e-Islam. Dan tahun 1923, sebagai penyair terkenal, Iqbal menerima gelar bangsawan dari Kerajaan Hindia-Belanda kerana antologi puisi Asrar-i-Khudi.
Pada 1931, Mohammad Ali (Jauhar) wafat, dan Muhammad Ali Jinnah hijrah ke London untuk memimpin organisasi di sana, maka secara automatik Iqbal memimpin umatnya, setidaknya sampai kepulangan Ali Jinnah pada 1935. Tak berlama-lama, pada 1931 dan 1932, Iqbal mengadakan diskusi dalam bentuk Persidangan Meja Bulat di Inggeris untuk membincangkan nasib India.
Bahkan, pada 1930, Iqbal sebenarnya sudah memperkenalkan konsep sebuah negara Muslim yang terpisah dari India, yang menjadi asas kepada pembentukan Pakistan. Tepatnya, pada 29 Disember 1930, pada sebuah acara All-India Muslim League, di Allahabad. Hal serupa, khususnya soal nasionalisme Muslim di India, dipertegas lagi saat pertemuan tahunan pada 21 Mac 1932.
Selama di Inggeris itu, Iqbal merenung dan menulis. Javid Nama adalah salah satu karyanya yang terkenal yang dibuat tahun 1932, dan dianggap sebagaiDivine Comedia dari Timur. Iqbal terpengaruh Ibnu Arabi, Marri, dan Dante. Iqbal, dipandu oleh Rumi sang guru, berjalan menembus langit menuju Sang Maha Tinggi. Ada berbagai permasalahan hidup yang dibahas, dan dijawab. Pada karya ini, si “aku” melakukan perjalanan ke langit, melewati langit demi langit sampai ke tangga tertinggi. Pada masing-masing langit, Iqbal menempatkan sejumlah tokoh (Barat dan Timur) yang menpengaruhi pemikirannya, mereka “ditempatkan” sesuai pencapaian pemikirannya dalam ehwal manusia bereksistensi penuh.
Tokoh-tokoh itu tak sekadar dihadirkan dan ditempatkan, melainkan juga dikritik dan dipelajari tingkat “kesalahannya” dalam menempuh jalan kemanusiaan. Nietzsche, misalnya, sebagai manusia Barat yang hanya sampai pada “penolakan”, namun disayangkan tak sempat mengenyam “penemuan”. Nietzsche hanya menyatakan kematian Tuhan, tanpa merumuskan gagasan baru mengenai Tuhan. Terakhir, dia berbicara untuk kaum muda dan semacam membimbing generasi baru.
Semaklah puisinya:
Apakah kau sekadar debu?
Kencangkan simpul pribadimu
Pegang selalu wujudmu yang alit
Betapa keagungan memulas pribadi seseorang
Dan menguji cahayanya di kehadiran suria
Kencangkan simpul pribadimu
Pegang selalu wujudmu yang alit
Betapa keagungan memulas pribadi seseorang
Dan menguji cahayanya di kehadiran suria
Lalu pahatkan kembali rangka lama kepunyaanmu
Dan bangunlah wujud yang baru Wujud yang bukan semu
Atau pribadimu cuma lingkaran asap
Dan bangunlah wujud yang baru Wujud yang bukan semu
Atau pribadimu cuma lingkaran asap
Dia juga bertemu dengan filsuf Perancis, Henri Louis Bergson dan diktator Itali, Benito Mussolini. Dan, kedatangannya ke Sepanyol membuatnya menulis tiga puisi indah, yang terkumpul dalam Bal-i-Jibril (Sayap Jibril) terbitan 1935.
The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah karya bukan-fiksinya yang ketiga setelah Ilm Al-Iqtisad (Ilmu Ekonomi, 1903) dan disertasinya. Buku kumpulan ceramahnya dari Madras, Hyderabad, dan Aligargh ini adalahMagnum Opus-nya di bidang filsafat dan menjadi pegangan bagi pemikir Islam hingga saat ini. Isinya adalah “Pengetahuan dan Pengalaman Keagamaan”, “Konsep Tuhan dan Makna Doa”, “Manusia-Ego”, “Pradestinasi dan Kehendak Bebas”, “Semangat Kebudayaan Muslim”, dan “Prinsip Gerakan dalam Islam (Ijtihad)”. Iqbal meracik pengetahuan Islam tradisional dengan filsafat Barat dengan gaya dan fikirannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh bangsa Barat.
Sekembalinya dari perjalanan ke Afghanistan tahun 1933, kesihatan Iqbal menurun, namun pemikiran keagamaan dan politiknya makin cemerlang, dan popularitinya berada dalam puncaknya. Salah satunya adalah idea mendirikan Idara Dar-ul-Islam, sebuah institusi tempat pendidikan khusus Ilmu Sosial Mutakhir dan Islam Klasik. Tampaknya, Iqbal ingin sekali menjadi jambatan bagi filsafat dan pengetahuan popular dengan ajaran Islam.
Iqbal berhenti dari pengamal perundangan pada tahun 1934, kerana kesihatannya menurun. Dan, akhirnya Iqbal wafat pada 21 April 1938 di Lahore�yang kemudian menjadi bahagian dari Pakistan. Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak:
Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, Apa yang ia katakan Siapa yang ia ajak bicara Dan darimana ia datang.
Namanya diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi. Kerana, Iqbal begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan. Dan, yang patut dicatat, Iqbal anti dengan konsep “Seni untuk seni”.
Rabindranath Tagore, setelah mendengar kematiannya, berkata bahawa kematian Iqbal menimbulkan keekosongan dalam kesusasteraan, yang seperti luka parah dan memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. “India yang tempatnya di dunia begitu sempit, boleh menanggung derita akibat hilangnya seorang penyair yang sajak-sajaknya mengandung imbauan universal”, ujarnya.
Seorang kritikus sastera ternama, A.K. Brohi mengulas: “Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor bermakna kejayaan dan martabat bagi mahkota Inggeris, maka Iqbal, kalau perlu, menjadi penghias dari halaman puitis setiap negeri.”
Sementara ideolog Ali Shari’ati menyatakan bahawa: “Nasihat terbesar Iqbal kepada kemanusiaan adalah: Mempunyai hati seperti Isa, fikiran seperti Sokrates, dan tangan seperti tangan Caesar, tapi semuanya berada dalam satu diri manusia, dalam satu makhluk kemanusiaan, berdasarkan satu semangat, untuk mencapai tujuan. Itulah, menjadi seperti Iqbal.”
No comments:
Post a Comment