Sunday, 3 January 2016

Dan, Rafly Pun Bercerita…

Dan, Rafly Pun Bercerita… Februari 16, 2008

Posted by ummahonline in Catatan KakiKolum
trackback

Oleh: Ekky Malaky
Aceh adalah gudangnya pencerita. Dari mulai Hamzah Fansuri, Tengku Pante Kulu yang melahirkan Hikayat Prang Sabihingga Agus Nur Amal yang moden lahir dari sana. Dan Rafly, yang sudah sangat popular di sana, adalah tukang cerita hebat di jalur muzik.
Semak saja kisah tentang kegetiran rakyat Aceh, tempat asalnya. Tentang GAM dan tsunami tergambar dalam Yatim. Kali ini Rafly memanifestasi keuniversalan muzik. Walau kita tak memahami maknanya, yang dilafazkan dalam bahasa Aceh, namun mampu mengetuk hati.
Dalam Ampuni, ia menyentak lagi.
Dari semua tanah ini, tanah ini yang Kau pilih
Cinta-Mu kepada kami, Kau panggil ingatkan kami
Tak layak kau tanya mengapa atau alasannya
Dan tiba-tiba ia melengking, membuat bulu kuduk berdiri.
Kau yang empunya semua, milik-Mu segala…
Dan diakhiri dengan munajat:
Ampuni kami, maafkan kami
Mampukan kami untuk mengerti
Rafly berdiri satu deret dengan Bimbo dan Haddad Alwy. Ia bicara dengan bahasa muzik dan langsung menghujam nurani, sehingga pendengar mudah tersentuh, dan kemudian berurai air mata.
Yang sudah akrabnya adalah Ya Rabbana, yang kerapkali didengarkan dalam latihan Mission StatementKali ini dalam versi bahasa Indonesia saja, dan ada tambahan perkusi di tengah.
Kasih Ibu, adalah calon hangat berikutnya. Senada dengan Ya Rabbana, nuansa tembang ini sendu dan langsung ke sasaran. Siapa yang tak tergugah bila mengenang kebaikan dan jasa seorang ibu?
Juga dengan Ridha yang merupakan adaptasi penulis lirik Maskirbi terhadap syair Rabiah al-Adawiyah (dan kerananya senafas dengan Jika Surga dan Neraka tak Pernah Ada gubahan Ahmad Dani yang dinyanyikan Chrisye).
Bila sujudku pada-Mu kerana takut neraka
Bakar aku dengan apinya
Bila sujudku pada-Mu kerana dapat surga
Tutup untukku surga itu
Namun bila sujudku demi Kau semata
Jangan palingkan wajah-Mu
Aku rindu menatap keindahanMu.
Tapi tak semua lagunya melankolik. Tak sedikit berirama “riang” namun sarat nasihat. Suara Hati, misalnya, yang mengkritik negeri ini yang banyak khianat dan dengki. Namun sayang, keprakan rebana yang biasa dieksporasi oleh kelompok Kande dkurangkan. Mungkin inilah kompromi seorang Rafly, yang menyebabkan irama pop ala Sakha lebih menyeruak dibandingkan gaya lokal genius Acehnya.
Dalam Nurul Qalbi yang upbeat sebenarnya mengasyikkan. Namun sungguh lebih dashyat bila ada permainan perkusi dan rebana yang harmonis dan saling bersahutan. Nilai etniknya tergerus. Atau pada Muara Teduh.
Lagu lain yang mengajak kita menghentakkan kaki dan tangan adalahMungkar Nangkir. Dengan perlahan, Rafly berkisah tentang dunia kubur.
Kenali dirimu hai anak adam
Akhirnya, sang pencerita kelas wahid itu menjadi nasional Sudah saatnya, memang. Saat penulis membuat liputan ke Lhokseumawe, di pertengahan 2005, banyak sekali album Rafly, bahkan hingga VCD karaokenya. Kini ia menjadi nasional. Bahkan dalam “Konsert Menembus Batas” tahun lalu, ia mencuri perhatian penonton dan pengamat muzik saat berduet dengan Dwiki Dharmawan lewat Meukondroe.
Sayang sekali, walau pun cengkok khas Rafly masih terdengar jernih dan asli, namun lagu latar yang mengiringinya begitu hangat. Nuansa etniknya kian lenyap, walau masih ada. Dan hentakan rebana yang berkurang menguatkan lagi hal ini. Inilah harga yang dibayar Rafly, yang kali ini tanpa kumpulan Kande.

No comments:

Post a Comment